• IDENTITAS
• Nama : Ny. E
• Umur : 50 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Agama : Islam
• Alamat : Mertoyudan
• ANAMNESIS
• Keluhan utama
Hidung gatal dan keluar cairan.
• Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke Poli THT RSUD dengan keluhan hidung
gatal, keluar cairan bening cair dan bersin kambuhan sejak 2 tahun yang
lalu. Keluhan semakin berat ketika pasien akan tidur, bangun tidur dan
cuaca dingin. Pasien juga merasakan gatal pada kedua mata. Batuk-pilek 3
hari terakhir.
• Riwayat penyakit dahulu
Keluhan yang sama seperti sekarang sering kambuh sejak 2 tahun yang lalu.
• Riwayat penyakit lain
Pasien menderita hipertensi dan hiperkolesterolemia.
• Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit serupa dalam keluarga disangkal.
• Riwayat personal sosial
Ny. E bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ny. E tidak memiliki hewan
peliharaan di rumah.
• PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Baik
Kepala : Tidak diperiksa
Leher : Tidak diperiksa
Thoraks : Tidak diperiksa
Abdomen : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
• STATUS LOKALIS
• Hidung
Dextra | Sinistra | |
Deformitas | (-) | (-) |
Disharge | Cairan (+) bening, cair | Cairan (+) bening, cair |
Mukosa | Warna pucat, biru-keabuan | Warna pucat, biru-keabuan |
Tumor | (-) | (-) |
Dextra | Sinistra | |
Palatum | Massa (-), luka (-), bercak putih (-), simetris | Massa (-), luka (-), bercak putih (-), simetris |
Uvula | Hiperemis (-), deviasi (-) | Hiperemis (-), deviasi (-) |
Tonsila palatine | Hiperemis (-) | Hiperemis (-) |
Tonsila lingualis | Hiperemis (-) | Hiperemis (-) |
Dinding belakang | Granuler dan edema | Granuler dan edema |
• PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes alergi
Pemeriksaan darah lengkap
• DIAGNOSIS BANDING
• Rinitis vasomotor
• Rinitis akut
• DIAGNOSIS KERJA
Rinitis alergi
• PENATALAKSANAAN
• Menghindari alergen spesifik
• Antihistamin oral: Cetirizine
• Dekongestan intranasal: Oksimetazoline
• EDUKASI
• Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin.
• Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).
• Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani.
• PROGNOSIS
Ad vitam
: Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
• Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang
sama serta dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2012, rinitis alergi
adalah kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang dipicu oleh reaksi
hipersensitivitas tipe 1.
• Anatomi dan Fisiologi Hidung
• Anatomi Hidung Luar
Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir
atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas:
kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2)
batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Gambar Anatomi Hidung Luar
• Anatomi Hidung Dalam
Gambar Anatomi Hidung Dalam
• Vaskularisasi Rongga Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang
dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena
hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach merupakan anyaman pembuluh
darah pada septum nasi bagian anterior. Pembuluh darah yang membentuknya
adalah arteri nasalis septum anterior & posterior, arteri palatina
mayor, dan arteri labialis superior.
• Persarafan Rongga Hidung
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris darinervus nasalis anterior cabang darinervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis
rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior &
superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek
persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan
vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau
yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki
rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.
• Fisiologi Hidung dan sinus paranasal
• Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan meknisme imunologik
lokal.
• Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu.
• Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,
• Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
• Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan
napas berhenti, rangsang bau tertentu juga akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas.
• Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan
allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell
/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas
II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th 1 dan Th 2.
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding
sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain
histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin.
(IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF ( Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang
disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel
mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi
sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti
sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8
jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan
ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembapan udara yang tinggi.
Gambar Mekanisme Imunologik pada Rinitis Alergi
• Mekanisme Terjadinya Nasal Allergy Syndrome pada Rinitis Alergi
Nasal Allergy Syndrome
terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea. Histamin
akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan
bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung
dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf
sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris
menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan
refleks parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular.
Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
• Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah ( vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk
mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane
basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
• Penegakan Diagnosis
• Anamnesis
• Keluhan
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea),
bersin, hidung tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias alergi). Bersin
merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang, terutama pada pagi hari.
Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai
adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala
lain berupa mata gatal dan banyak air mata.
• Faktor Risiko
• Adanya riwayat atopi.
• Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk
untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.
• Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu
yang tinggi.
• Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana
• Pemeriksaan Fisik
• Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien
menggosok hidung dengan tangannya karena gatal.
• Wajah:
• Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan
berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
• Nasal crease yaitu lipatan horizontal ( horizontal crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung
akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.
• Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid
).
• Faring: dinding posterior faring tampak granuler dan edema ( cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
• Rinoskopi anterior:
• Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide),
disertai adanya sekret encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen
biasanya berhubungan dengan sinusitis.
• Pada rinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat
adanya deviasi atau perforasi septum.
• Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor, atau
dapat juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa edema atau
hipertropik. Dengan dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konka tidak
akan menyusut, sedangkan edema konka akan menyusut.
• Pada kulit kemungkinan terdapat tanda dermatitis atopi.
• Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan
• Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
• Pemeriksaan Ig E total serum
• Klasifikasi
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA ( Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma), 2012, rinitis alergi
dibagi berdasarkan frekuensinya gejala menjadi:
• Intermiten : < 4 hari dalam seminggu atau < 4 minggu
berturut-turut.
• Persisten : > 4 hari dalam seminggu dan > 4 minggu berturut-turut.
Sedangkan berdasarkan karakteristik gejalanya, rinitis alergi dibagi
menjadi:
• Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
sehari-hari, berolahraga, berekreasi, belajar, bekerja dan tidak ada gejala
yang berat.
• Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut di atas.
• Penatalaksanaan
• Menghindari alergen spesifik
• Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani untuk menurunkan gejala
alergis
• Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot
hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin,
namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai beberapa hari (<2
minggu) untuk menghindari rinitis medikamentosa.
• Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.
• Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang
bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.
• Terapi oral sistemik
• Antihistamin
• Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.
• Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
• Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
• Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan
anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi
• Edukasi: Memberitahu individu dan keluarga untuk:
• Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).
• Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin.
• Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani. Hal ini dapat menurunkan
gejala alergi.
DAFTAR PUSTAKA
Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) Workshop Report. ARIA at
A Glance Pocket Reference. Edisi ke-1: 2012.
Arifputera, A. & Irawati, N. Rinitis Alergi dalam Kapita
Selekta Kedokoteran edisi IV, jilid 2. Media Aesculapius FKUI Jakarta:
2014. p. 1054-1056.
Ikatan Dokter Indonesia. (2013). Rinitis Alergi dalam Panduan
Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. IDI
Jakarta: 2013. p 344-348.
Irawati, N., Kasakeyan, E., & Rusmono, N. Rinitis Alergi dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi
Keenam. FK UI Jakarta: 2007. p: 128-134
No comments:
Post a Comment