BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini perempuan menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu
permasalahan yang dihadapi seorang perempuan adalah gangguan haid.
Gangguan haid ini mempunyai manifestasi klinis yang bermacam-macam
tergantung kondisi serta penyakit yang dialami seorang perempuan.
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal
jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan
banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan.
Perdarahan uterus abnormal adalah penyebab anemia defisiensi besi
paling umum di negara maju dan penyebab paling umum bagi penyakit
kronis di negara berkembang. Prevalensi perdarahan uterus abnormal
dalam kelompok usia reproduksi berkisar antara 9% sampai 30%.
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO),
terdapat 9 kategori utama pendarahan uterus abnormal yang disusun
sesuai dengan akronim PALM COEIN yakni polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan
hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial,
iatrogenik,
dan not yet classified. Perdarahan uterus abnormal adalah
diagnosis eksklusi. Riwayat menstruasi dan pemeriksaan fisik digunakan
sebagai evaluasi pertama. Tes laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan
histologis dapat juga diindikasikan.
Penanganan dari perdarahan uterus abnormal sesuai dengan etiologi yang
mendasari terjadinya gangguan ini. Diperlukan penanganan yang
komperehensif untuk mencegah perburukan dari pasien dengan perdarahan
uterus abnormal.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama pasien : Ny. I
Usia : 30 tahun
Alamat : Nerangan, Kajoran, Magelang
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Nama suami : Tn. S
Usia : 29 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Tukang pijat
Agama : Islam
Tanggal MRS : 12 Februari 2018
B. Anamnesis (12 Februari 2018 pukul 13.30 WIB)
Keluhan Utama:
menstruasi hampir sebulan dan banyak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dalam keadaan sadar datang ke Poliklinik Kebidanan dengan keluhan menstruasi lama, sejak tanggal 14 Januari 2018 sampai
sekarang (±1 bulan). Pada hari-hari pertama menstruasi, pasien mengaku
mengganti pembalut 4-6 kali dalam sehari. Pasien bahkan mendapatkan
transfusi darah sebanyak 4 kantong di RSIA, dikarenakan Hb pasien yang
turun (6gr/dl). Dalam seminggu terakhir, pasien mengaku perdarahan
mulai berkurang, pasien mengganti pembalut 2-3 kali dalam sehari.
Keluhan demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-),
keputihan (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Menstruasi
Menarche : usia 11 tahun
Lama haid : 6-7 hari
Siklus : tidak teratur sejak kelahiran anak pertama
Banyaknya : 3-4 pembalut per hari
Haid disertai rasa sakit : (-)
Hari pertama menstruasi terakhir: 14 Januari 2018
Riwayat Perkawinan
Pasien menikah sekali saat usia 22 tahun dengan suami berusia 21 tahun,
selama 8 tahun.
Riwayat Kehamilan
No.
|
Keadaan kehamilan, persalinan, keguguran dan nifas
|
Umur sekarang
|
Keadaan anak
|
Tempat perawatan
|
1.
|
Hamil aterm, spontan, perempuan, BBL: 3000 gram, lahir
langsung menangis, nifas baik
|
6,5 tahun
|
Sehat
|
Bidan
|
2.
|
Abortus: usia kehamilan 6 bulan (Maret 2017)
|
dr. Narko
|
||
3.
|
Mola hidatidosa: kuretase usia kehamilan 1 bulan (Mei
2017)
|
dr. Narko
|
||
4.
|
Abortus: kuretase usia kehamilan 1 bulan (September
2017)
|
BR
|
Riwayat KB
Riwayat menggunakan KB suntik per 3 bulan sejak kelahiran anak pertama,
selama 5 tahun, kemudian berhenti.
Saat ini, pasien menggunakan KB suntik per 3 bulan sejak kuretase bulan
September 2017.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit DM (-), hipertensi (-), asma (-), alergi makanan atau
obat (-).
Riwayat operasi (+), 2x kuretase (mola hidatidosa dan abortus
incomplete).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit DM (-), hipertensi (-), asma (-), alergi makanan atau
obat (-).
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
TD : 110/60 mmHg
S : 36.6°C
N : 77x/menit
RR : 19x/menit
Berat badan : 58 kg
Tinggi badan : 159 cm
BMI : 22,9kg/m2
Mata
:
conjungtiva anemis (-/-)
Hidung
:
deviasi (-), discharge (-), pendarahan (-), nafas cuping hidung (-)
Leher
:
pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung
§ Inspeksi : ictus cordis tak tampak pada sela iga V
§ Palpasi : ictus cordis teraba pada sela iga V
§ Perkusi : pekak
§ Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
Paru-paru
§ Inspeksi : simetris, retraksi (-), bantuan otot pernafasan (-)
§ Palpasi : vokal fremitus kanan kiri sama, daya kembang paru simetris,
ketinggalan gerak nafas (-)
§ Perkusi : sonor (+/+)
§ Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
§ Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut, scar (-)
§ Auskultasi : bising usus (+), normal
§ Perkusi : timpani (+)
§ Palpasi : supel (+), NT (-), hepar lien tidak teraba membesar
Ektremitas
§ Superior : Akral hangat (+/+), nadi kuat (+ /+), edema (-/-)
§ Inferior : Akral hangat (+/+), nadi kuat (+ /), edema (-/-)
Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan Inspekulo : tidak dilakukan
Pemeriksaan Vaginal Toucher: fluxus (+), fluor (-),
vulva/uretra/vagina tak ada kelainan, portio: sebesar jempol tangan,
OUE tertutup, corpus uteri sebesar telur ayam,
adneksa/parametrium/cavum douglas dalam batas normal.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Ultrasonografi
Penebalan dinding endometrium
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
|
Hasil
|
Nilai normal
|
|
Darah Lengkap | |||
Hb
|
12.6
|
11.5-16.5 g/dl
|
|
AL
|
9300
|
4.00-11.00 ribu/ml
|
|
Eritrosit
|
4700000
|
3.8-5.8 juta/ml
|
|
AT
|
440000
|
150-450 ribu/ml
|
|
Hmt
|
36.9 (L)
|
37.0-47.0%
|
|
Hitung Jenis | |||
Eosinofil
|
1
|
1-6%
|
|
Basofil
|
0
|
0-1%
|
|
Netrofil Segmen
|
77 (H)
|
40-75%
|
|
Limfosit
|
17 (L)
|
20-45%
|
|
Monosit
|
5
|
2-10%
|
|
Koagulasi | |||
Kontrol PT
|
10.1
|
9.4-12.8 detik
|
|
Kontrol APTT
|
24.4
|
22.3-30.1 detik
|
|
PT
|
9.3 (L)
|
9.9-11.8 detik
|
|
INR
|
0.85
|
0.81-1.21
|
|
APTT
|
27.1
|
23.9-34.9 detik
|
|
Seroimunologi | |||
HbsAg
|
Negatif
|
Negatif
|
|
Kimia Klinik | |||
Gula darah sewaktu
|
78
|
70-140 mg/dl
|
|
Tes kehamilan
|
Negatif
|
E. Diagnosis
Diagnosis Utama : Wanita P1A3 Abnormal Uterine Bleeding e.c.
Hiperplasia Endometrium
F. Penatalaksanaan
§ Masuk Rumah Sakit
§ Pro kuretase diagnosis dan terapi
§ Kalnex 3x500mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau
sedikit dan haid yang memanjang atau tidak beraturan.
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO), terdapat 9 kategori utama pendarahan uterus abnormal yang disusun
sesuai dengan akronim PALM COEIN yakni polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan
hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial,
iatrogenik,
dan not yet classified. Kelompok PALM merupakan kelainan struktur
yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan
histopatologi. Kelompok COEIN merupakan kelainan non strruktural yang tidak
dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi.
Hiperplasia endometrium merupakan salah satu penyebab tersering dari
perdarahan uterus abnormal. Hiperplasi endometrium didefinisikan sebagai
proliferasi abnormal dari kelenjar endometrium dengan peningkatan stroma
kelenjar dibandingkan dengan proliferasi endometrium (Kurman RJ, 2014).
Tebal endometrium lebih dari 14 mm pada wanita premenopause dan lebih dari
5 mm pada wanita post menopause dikatakan telah terjadi hyperplasia
endometrium.
2. Epidemiologi
Perdarahan uterus abnormal adalah salah satu alasan paling umum bagi
perempuan untuk mencari perawatan. Sekitar setengah dari wanita dengan
perdarahan uterus abnormal berada pada usia reproduksi. Prevalensi
perdarahan uterus abnormal dalam kelompok usia reproduksi berkisar antara
9% sampai 30%. Riwayat menstruasi dan pemeriksaan fisik digunakan sebagai
evaluasi pertama. Tes laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan histologis
dapat juga diindikasikan (Munro, 2012).
Penelitian di India menyatakan bahwa perdarahan uterus abnormal paling
sering terjadi pada wanita multipara pada dekade ke-4 dan ke-5. Pola
perdarahan yang paling umum adalah menoragia. Kelainan endometrium
ditemukan pada 53% kasus. Hiperplasia endometrium (27%), pola campuran
endometrium (19%), endometritis (4%), polip endometrium (2%) dan karsinoma
endometrium (1%). Frekuensi hiperplasia endometrium tertinggi di multipara
dan perempuan dalam dekade ke-4. Gejala yang paling umum didapati pada
hiperplasia adalah menoragia (35%) dan menometroragia (30%). Empat puluh
satu persen pasien dengan menometroragia memiliki kejadian hiperplasia
endometrium.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Hiperplasia endometrium berkembang saat estrogen tidak berlawanan dengan
progesteron merangsang pertumbuhan sel endometrial dengan mengikat reseptor
estrogen pada nukleus dari sel ensometrial. Faktor resiko dari terjadinya
hiperplasia endometrium adalah peningkatan BMI/indeks masa tubuh dengan
konversi androgen perifer berlebihan pada jaringan adiposa ke estrogen,
anovulasi berkaitan dengan perimenopause atau polycystic ovary syndrome
(PCOS), sekresi estrogen dari tumor ovarium misal tumor sel granulosa,
stimulasi endometrial akibat penggunaan obat-obatan misal terapi pengganti
estrogen sistemik atau tamoxifen jangka panjang (RCOG, 2016).
Stimulasi estrogen endogen dapat berupa faktor menstruasi, seperti halnya
menarche dini (<12 tahun), menopause lambat (>52 tahun) dan
nuliparitas diperkirakan terjadi peningkatan paparan kumulatif estrogen
oleh karena total jumlah siklus menstruasi yang lebih banyak sepanjang
hidupnya dan perlu dinilai adanya haid yang teratur berupa siklus haid
sebelum adanya perdarahan (minimal 3 siklus terakhir) memiliki interval
21-35 hari dengan lama 2-8 hari dan dapat diperkirakan untuk haid tanggal
berikutnya.
4. Klasifikasi
WHO (2014) mengklasifikasikan hiperplasia endometrium menjadi dua kelompok,
yakni hiperplasia non atipi dan hiperplasia atipik.
a. Hiperplasia atipik
Proliferasi dari kelenjar endometrium yang berbentuk ireguler,
menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih sering
berkembang menjadi karsinoma endometrium.
b. Hiperplasia non atipik
Proliferasi jinak dari kelenjar endometrium yang berbentuk reguler dan juga
berdilatasi, tetapi tidak menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling
tumpang tindih, cenderung mengalami regresi secara spontan.
5. Patogenesis
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya
stimulasi unopposed estrogen
(estrogen tanpa pendamping progesteron/estrogen tanpa hambatan). Kadar
estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin (feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap pertumbuhan
folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan.
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar
sehingga terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga
estrogen tidak diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah
terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma
endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang menyebabkan
proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia pada endometrium. Juga
terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali mendapatkan terapi
hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun estrogen saja.
Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogen) akan
menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh
adanya kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih.
6. Manifestasi Klinis
Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama
(amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia).
Selain itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala,
mudah lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah
penderita bisa mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat.
Hubungan suami-istri pun terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang
cukup parah.
7. Diagnosis
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnos
is hyperplasia endometrium dengan cara USG, dilatasi dan kuretase,
pemeriksaan Hysteroscopy dan juga pengambilan sampel untuk
pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.
a. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal kira kira <4 mm. Untuk dapat melihat keadaan
dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan
hysterosonografi dengan memasukkan cairan kedalam uterus.
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
biopsi yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan
mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan diagnosa keganasan uterus.
c. Dilatasi dan Kuretase
Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan
uterus.
d. Histeroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil ke
dalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain
melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi. Histeroskopi secara umum telah disepakati
sebagai “gold standard” untuk mengevaluasi kavitas uterus. Polip
endometrium dan mioma submukosa dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan
sensitivitas 92% dan 82%. Walaupun begitu, histeroskopi sendiri untuk
mendeteksi hiperplasia dan atau karsinoma endometrium meghasilkan angka
false-positive yang tinggi dan membutuhkan penggunaan dilatasi dan kuret
untuk diagnosis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas
95%, PPV 96%dan NPV 98% bila dibandingkan dengan diagnosis hasil
pemeriksaan jaringaan setelah histerektomi.
8. Penatalaksanaan
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai
berikut:
a. Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai
terapi untuk menghentikan perdarahan.
b. Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon
di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa
terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing dan sebagainya. Rata-rata dengan
pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim
sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati
hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk
hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone
asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan
terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa
atipik. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40
mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk
pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks Terapi dilanjutkan selama
2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi
selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan.
c. Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan perbaikan,
biasanya akan diganti dengan obat-obatan lain.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali
normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan diri
untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih
dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi
endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan
sebagainya.
d. Histerektomi
Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus
abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang
terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi
pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan angka kepuasan pasien dengan
terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan sudah mencoba terapi
konservatif dengan hasil yang tidak memuaskan, histerektomi merupakan
pilihan yang terbaik. Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan
momok bagi kaum perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang
sering terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan
pencegahan yang efektif.
9. Komplikasi
Hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi kanker, 3%
progresi menjadi hiperplasia kompleks, 8% progresi menjadi hiperplasia
sederhana atipik. Sementara hiperplasia kompleks atipik, 29% akan progresi
menjadi kanker.
10. Prognosis
Respon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah diprediksi.
Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia
Beberapa wanita, khususnya usia remaja biasanya angka keberhasilan
penanganan dengan hormon cukup besar (terutama dengan oral kontrasepsi).
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi
progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika
terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien
dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga
mengalami karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien
dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5%
diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial.
11. Pencegahan
a. Melakukan pemeriksaan USG dan/atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk
deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding
rahim.
b. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar
menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak
ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama.
c. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan
pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
d. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi
progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi
terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
e. Mengubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
BAB IV
ANALISIS KASUS
1. Definisi
Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau
sedikit dan haid yang memanjang atau tidak beraturan. Pada kasus ini,
pasien mengatakan telah mengalami menstruasi selama 30 hari (14 Januari-12
Februari 2018), dengan jumlah perdarahan pada awal menstruasi yang banyak
(4-6 kali ganti pembalut dalam sehari).
2. Epidemiologi
Sekitar setengah dari wanita dengan perdarahan uterus abnormal berada pada
usia reproduksi. Prevalensi perdarahan uterus abnormal dalam kelompok usia
reproduksi berkisar antara 9-30%. Kelainan endometrium ditemukan pada 53%
kasus dengan kejadian hiperplasia endometrium sekitar 27%. Frekuensi
hiperplasia endometrium tertinggi di multipara dan perempuan dalam dekade
ke-4. Pada kasus ini, pasien P1A3 usia 30 tahun, termasuk dalam kelompok
usia reproduksi, di mana prevalensi PUA berkisar antara 9-30%.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Hiperplasia endometrium berkembang saat estrogen tidak berlawanan dengan
progesteron merangsang pertumbuhan sel endometrial dengan mengikat reseptor
estrogen pada nukleus dari sel ensometrial. Faktor risiko dari terjadinya
hiperplasia endometrium adalah peningkatan BMI/indeks masa tubuh, anovulasi
berkaitan dengan perimenopause atau polycystic ovary syndrome (PCOS),
sekresi estrogen dari tumor ovarium misal tumor sel granulosa, stimulasi
endometrial akibat penggunaan obat-obatan misal terapi pengganti estrogen
sistemik atau tamoxifen jangka panjang. Pada pasien tidak didapatkan faktor
risiko seperti di atas, BMI pasien yaitu 22,9kg/m2 (ideal).
Faktor risiko lain yang bisa memicu hiperplasi endometrium antara lain
stimulasi estrogen endogen seperti faktor menstruasi, misalnya menarche
dini (<12 tahun), menopause lambat (>52 tahun) dan nuliparitas. Pada
pasien diketahui menarche terjadi pada usia 11 tahun (menarche dini). Hal
ini diperkirakan akan meningkatkan paparan kumulatif estrogen oleh karena
total jumlah siklus menstruasi yang lebih banyak sepanjang hidupnya.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hiperpalsi endometrium antara lain siklus menstruasi
tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama (amenorrhoe) ataupun
menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia). Pada pasien dijumpai
manifestasi klinis berupa menstruasi terus-menerus dan banyak. Manifestasi
klinis lainnya yaitu akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan
sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari
penyakit ini, adalah penderita bisa mengalami kesulitan hamil dan terserang
anemia berat. Hubungan suami-istri pun terganggu karena biasanya terjadi
perdarahan yang cukup parah. Pasien mengalami anemia berat pada awal
menstruasi (Hb 6gr/dl) yang menyebabkan gangguan sakit kepala, mudah lelah
dan terganggunya hubungan suami-istri.
5. Diagnosis
Pemeriksaan gold standard hiperplasia endometrium adalah
pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi endometrium atau dilatasi dan
kuretase, sedangkan pemeriksaan penunjang noninvasif yang dapat dilakukan
adalah ultrasonografi transvaginal, namun pemeriksaan ini belum dapat
menggantikan pemeriksaan patologi anatomi. USG transvaginal yang memberikan
gambaran ketidakteraturan endometrium atau ukuran ketebalan endometrium
yang tidak normal pada wanita dengan perdarahan postmenopause harus
dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi endometrium. Sebuah sistematik
review memberikan batasan 3 mm atau 4 mm untuk mengesampingkan kanker
endometrium dan probabilitas kanker menjadi kurang dari 1% bila ketebalan
endometrium kurang dari batas tersebut. Peran USG untuk wanita premenopause
terbatas untuk mengidentifikasi kelainan struktur, karena tampaknya ada
tumpang tindih antara ketebalan endometrium normal dengan yang disebabkan
oleh penyakit endometrium. Pada pasien premenopause, ketebalan endometrium
normal tergantung pada siklus menstruasi: menstruasi (2-4 mm), early
proliferative phase (hari 6-14): 5-7 mm, late proliferative/preovulatory
phase: 11 mm, secretory phase: 7-15 mm.
Pada pasien diagnosis hiperplasia endometrium berdasarkan USG
trans-abdominal. Pada pasien juga telah dilakukan kuretase untuk kemudian
dilakukan pemeriksaan patologi anatomi.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bagi penderita hiperplasia, antara lain kuretase,
progesteron dan histerektomi. Tindakan kuratase selain untuk menegakkan
diagnosis sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan. Pada
pasien, tindakan kuretase sudah dilakukan. Selanjutnya adalah terapi
progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh. Rata-rata
dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding
rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati
hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk
hiperplasia dengan atipi. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan
biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi
respon pengobatan. Sedangkan histerektomi merupakan solusi permanen untuk
terapi perdarahan uterus abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia
kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya
adalah menjalani operasi pengangkatan rahim.
7. Prognosis
Respon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah diprediksi.
Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia
Beberapa wanita, khususnya usia remaja biasanya angka keberhasilan
penanganan dengan hormon cukup besar (terutama dengan oral kontrasepsi).
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi
progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika
terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Pada pasien prognosis dapat ditentukan setelah didapatkan hasil pemeriksaan
patologi anatomi.
8. Komplikasi
Hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi kanker, 3%
progresi menjadi hiperplasia kompleks, 8% progresi menjadi hiperplasia
sederhana atipik. Sementara hiperplasia kompleks atipik, 29% akan progresi
menjadi kanker. Komplikasi pada pasien tergantung hasil pemeriksaan
patologi anatomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI)
& Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2014. Konsensus
Tatalaksana Pendarahan Uterus Abnormal Karena Efek Samping Kontrasepsi.
2. Kurman RJ, Carcangiu ML, Herrington CS, Young RH, editors. WHO
Classification of Tumours of Female Reproductive Organs. 4th ed. [Lyon]:
IARC; 2014.
3. Munro MG, Critchley HO, Fraser IS. The FIGO system for nomenclature and
classification of causes of abnormal uterine bleeding in the reproductive
years: who needs them. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2012;:
p. 259-65.
4. Royal College of Obstetricians & Gynaecologists; Management of
Endometrial Hypperplasia. Green-top Guideline No 67; February 2016.
5. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Frequently
Asked Questions FAQ 147, Gynecologic Problems: Endometrial Hyperplasia.
2012.
No comments:
Post a Comment