Friday, November 30, 2018

Obsgyn-ABNORMAL UTERINE BLEEDING E.C. HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

BAB I

PENDAHULUAN
Dewasa ini perempuan menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu permasalahan yang dihadapi seorang perempuan adalah gangguan haid. Gangguan haid ini mempunyai manifestasi klinis yang bermacam-macam tergantung kondisi serta penyakit yang dialami seorang perempuan.
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan.
Perdarahan uterus abnormal adalah penyebab anemia defisiensi besi paling umum di negara maju dan penyebab paling umum bagi penyakit kronis di negara berkembang. Prevalensi perdarahan uterus abnormal dalam kelompok usia reproduksi berkisar antara 9% sampai 30%.
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), terdapat 9 kategori utama pendarahan uterus abnormal yang disusun sesuai dengan akronim PALM COEIN yakni polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan not yet classified. Perdarahan uterus abnormal adalah diagnosis eksklusi. Riwayat menstruasi dan pemeriksaan fisik digunakan sebagai evaluasi pertama. Tes laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan histologis dapat juga diindikasikan.
Penanganan dari perdarahan uterus abnormal sesuai dengan etiologi yang mendasari terjadinya gangguan ini. Diperlukan penanganan yang komperehensif untuk mencegah perburukan dari pasien dengan perdarahan uterus abnormal.

BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama pasien : Ny. I
Usia : 30 tahun
Alamat : Nerangan, Kajoran, Magelang
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Nama suami : Tn. S
Usia : 29 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Tukang pijat
Agama : Islam
Tanggal MRS : 12 Februari 2018

B. Anamnesis (12 Februari 2018 pukul 13.30 WIB)

Keluhan Utama: menstruasi hampir sebulan dan banyak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dalam keadaan sadar datang ke Poliklinik Kebidanan dengan keluhan menstruasi lama, sejak tanggal 14 Januari 2018 sampai sekarang (±1 bulan). Pada hari-hari pertama menstruasi, pasien mengaku mengganti pembalut 4-6 kali dalam sehari. Pasien bahkan mendapatkan transfusi darah sebanyak 4 kantong di RSIA, dikarenakan Hb pasien yang turun (6gr/dl). Dalam seminggu terakhir, pasien mengaku perdarahan mulai berkurang, pasien mengganti pembalut 2-3 kali dalam sehari. Keluhan demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), keputihan (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Menstruasi
Menarche : usia 11 tahun
Lama haid : 6-7 hari
Siklus : tidak teratur sejak kelahiran anak pertama
Banyaknya : 3-4 pembalut per hari
Haid disertai rasa sakit : (-)
Hari pertama menstruasi terakhir: 14 Januari 2018
Riwayat Perkawinan
Pasien menikah sekali saat usia 22 tahun dengan suami berusia 21 tahun, selama 8 tahun.
Riwayat Kehamilan
No.
Keadaan kehamilan, persalinan, keguguran dan nifas
Umur sekarang
Keadaan anak
Tempat perawatan
1.
Hamil aterm, spontan, perempuan, BBL: 3000 gram, lahir langsung menangis, nifas baik
6,5 tahun
Sehat
Bidan
2.
Abortus: usia kehamilan 6 bulan (Maret 2017)
dr. Narko
3.
Mola hidatidosa: kuretase usia kehamilan 1 bulan (Mei 2017)
dr. Narko
4.
Abortus: kuretase usia kehamilan 1 bulan (September 2017)
BR
Riwayat KB
Riwayat menggunakan KB suntik per 3 bulan sejak kelahiran anak pertama, selama 5 tahun, kemudian berhenti.
Saat ini, pasien menggunakan KB suntik per 3 bulan sejak kuretase bulan September 2017.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit DM (-), hipertensi (-), asma (-), alergi makanan atau obat (-).
Riwayat operasi (+), 2x kuretase (mola hidatidosa dan abortus incomplete).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit DM (-), hipertensi (-), asma (-), alergi makanan atau obat (-).

C. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign

TD : 110/60 mmHg
S : 36.6°C
N : 77x/menit
RR : 19x/menit
Berat badan : 58 kg
Tinggi badan : 159 cm
BMI : 22,9kg/m2

Mata : conjungtiva anemis (-/-)
Hidung : deviasi (-), discharge (-), pendarahan (-), nafas cuping hidung (-)
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung
§ Inspeksi : ictus cordis tak tampak pada sela iga V
§ Palpasi : ictus cordis teraba pada sela iga V
§ Perkusi : pekak
§ Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
Paru-paru
§ Inspeksi : simetris, retraksi (-), bantuan otot pernafasan (-)
§ Palpasi : vokal fremitus kanan kiri sama, daya kembang paru simetris, ketinggalan gerak nafas (-)
§ Perkusi : sonor (+/+)
§ Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
§ Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut, scar (-)
§ Auskultasi : bising usus (+), normal
§ Perkusi : timpani (+)
§ Palpasi : supel (+), NT (-), hepar lien tidak teraba membesar
Ektremitas
§ Superior : Akral hangat (+/+), nadi kuat (+ /+), edema (-/-)
§ Inferior : Akral hangat (+/+), nadi kuat (+ /), edema (-/-)
Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan Inspekulo : tidak dilakukan
Pemeriksaan Vaginal Toucher: fluxus (+), fluor (-), vulva/uretra/vagina tak ada kelainan, portio: sebesar jempol tangan, OUE tertutup, corpus uteri sebesar telur ayam, adneksa/parametrium/cavum douglas dalam batas normal.

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Ultrasonografi
 
Penebalan dinding endometrium
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
Hasil
Nilai normal
Darah Lengkap
Hb
12.6
11.5-16.5 g/dl
AL
9300
4.00-11.00 ribu/ml
Eritrosit
4700000
3.8-5.8 juta/ml
AT
440000
150-450 ribu/ml
Hmt
36.9 (L)
37.0-47.0%
Hitung Jenis
Eosinofil
1
1-6%
Basofil
0
0-1%
Netrofil Segmen
77 (H)
40-75%
Limfosit
17 (L)
20-45%
Monosit
5
2-10%
Koagulasi
Kontrol PT
10.1
9.4-12.8 detik
Kontrol APTT
24.4
22.3-30.1 detik
PT
9.3 (L)
9.9-11.8 detik
INR
0.85
0.81-1.21
APTT
27.1
23.9-34.9 detik
Seroimunologi
HbsAg
Negatif
Negatif
Kimia Klinik
Gula darah sewaktu
78
70-140 mg/dl
Tes kehamilan
Negatif

E. Diagnosis

Diagnosis Utama : Wanita P1A3 Abnormal Uterine Bleeding e.c. Hiperplasia Endometrium

F. Penatalaksanaan

§ Masuk Rumah Sakit
§ Pro kuretase diagnosis dan terapi
§ Kalnex 3x500mg

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau sedikit dan haid yang memanjang atau tidak beraturan.
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO), terdapat 9 kategori utama pendarahan uterus abnormal yang disusun sesuai dengan akronim PALM COEIN yakni polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy dan hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan not yet classified. Kelompok PALM merupakan kelainan struktur yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi. Kelompok COEIN merupakan kelainan non strruktural yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau histopatologi.
Hiperplasia endometrium merupakan salah satu penyebab tersering dari perdarahan uterus abnormal. Hiperplasi endometrium didefinisikan sebagai proliferasi abnormal dari kelenjar endometrium dengan peningkatan stroma kelenjar dibandingkan dengan proliferasi endometrium (Kurman RJ, 2014). Tebal endometrium lebih dari 14 mm pada wanita premenopause dan lebih dari 5 mm pada wanita post menopause dikatakan telah terjadi hyperplasia endometrium. 

2. Epidemiologi

Perdarahan uterus abnormal adalah salah satu alasan paling umum bagi perempuan untuk mencari perawatan. Sekitar setengah dari wanita dengan perdarahan uterus abnormal berada pada usia reproduksi. Prevalensi perdarahan uterus abnormal dalam kelompok usia reproduksi berkisar antara 9% sampai 30%. Riwayat menstruasi dan pemeriksaan fisik digunakan sebagai evaluasi pertama. Tes laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan histologis dapat juga diindikasikan (Munro, 2012).
Penelitian di India menyatakan bahwa perdarahan uterus abnormal paling sering terjadi pada wanita multipara pada dekade ke-4 dan ke-5. Pola perdarahan yang paling umum adalah menoragia. Kelainan endometrium ditemukan pada 53% kasus. Hiperplasia endometrium (27%), pola campuran endometrium (19%), endometritis (4%), polip endometrium (2%) dan karsinoma endometrium (1%). Frekuensi hiperplasia endometrium tertinggi di multipara dan perempuan dalam dekade ke-4. Gejala yang paling umum didapati pada hiperplasia adalah menoragia (35%) dan menometroragia (30%). Empat puluh satu persen pasien dengan menometroragia memiliki kejadian hiperplasia endometrium.

3. Etiologi dan Faktor Risiko

Hiperplasia endometrium berkembang saat estrogen tidak berlawanan dengan progesteron merangsang pertumbuhan sel endometrial dengan mengikat reseptor estrogen pada nukleus dari sel ensometrial. Faktor resiko dari terjadinya hiperplasia endometrium adalah peningkatan BMI/indeks masa tubuh dengan konversi androgen perifer berlebihan pada jaringan adiposa ke estrogen, anovulasi berkaitan dengan perimenopause atau polycystic ovary syndrome (PCOS), sekresi estrogen dari tumor ovarium misal tumor sel granulosa, stimulasi endometrial akibat penggunaan obat-obatan misal terapi pengganti estrogen sistemik atau tamoxifen jangka panjang (RCOG, 2016).
Stimulasi estrogen endogen dapat berupa faktor menstruasi, seperti halnya menarche dini (<12 tahun), menopause lambat (>52 tahun) dan nuliparitas diperkirakan terjadi peningkatan paparan kumulatif estrogen oleh karena total jumlah siklus menstruasi yang lebih banyak sepanjang hidupnya dan perlu dinilai adanya haid yang teratur berupa siklus haid sebelum adanya perdarahan (minimal 3 siklus terakhir) memiliki interval 21-35 hari dengan lama 2-8 hari dan dapat diperkirakan untuk haid tanggal berikutnya.

4. Klasifikasi

WHO (2014) mengklasifikasikan hiperplasia endometrium menjadi dua kelompok, yakni hiperplasia non atipi dan hiperplasia atipik.
a. Hiperplasia atipik
Proliferasi dari kelenjar endometrium yang berbentuk ireguler, menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih sering berkembang menjadi karsinoma endometrium.
b. Hiperplasia non atipik
Proliferasi jinak dari kelenjar endometrium yang berbentuk reguler dan juga berdilatasi, tetapi tidak menggambarkan adanya tumpukan sel yang saling tumpang tindih, cenderung mengalami regresi secara spontan. 

5. Patogenesis

Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya stimulasi unopposed estrogen (estrogen tanpa pendamping progesteron/estrogen tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin (feedback mechanism). Akibatnya rangsangan terhadap pertumbuhan folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan.
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang menyebabkan proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun estrogen saja.
Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogen) akan menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih.

6. Manifestasi Klinis

Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama (amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia).
Selain itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah penderita bisa mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan suami-istri pun terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah.

7. Diagnosis

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnos is hyperplasia endometrium dengan cara USG, dilatasi dan kuretase, pemeriksaan Hysteroscopy dan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns.
a. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal kira kira <4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan memasukkan cairan kedalam uterus. 

b. Biopsy
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan diagnosa keganasan uterus.
c. Dilatasi dan Kuretase
Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus.
d. Histeroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil ke dalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Histeroskopi secara umum telah disepakati sebagai “gold standard” untuk mengevaluasi kavitas uterus. Polip endometrium dan mioma submukosa dapat dideteksi dengan histeroskopi dengan sensitivitas 92% dan 82%. Walaupun begitu, histeroskopi sendiri untuk mendeteksi hiperplasia dan atau karsinoma endometrium meghasilkan angka false-positive yang tinggi dan membutuhkan penggunaan dilatasi dan kuret untuk diagnosis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 98%, spesifisitas 95%, PPV 96%dan NPV 98% bila dibandingkan dengan diagnosis hasil pemeriksaan jaringaan setelah histerektomi.

8. Penatalaksanaan

Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut:
a. Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan.
b. Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan.
c. Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan perbaikan, biasanya akan diganti dengan obat-obatan lain.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya.
d. Histerektomi
Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan angka kepuasan pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang tidak memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik. Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif. 

9. Komplikasi

Hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi kanker, 3% progresi menjadi hiperplasia kompleks, 8% progresi menjadi hiperplasia sederhana atipik. Sementara hiperplasia kompleks atipik, 29% akan progresi menjadi kanker.

10. Prognosis

Respon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah diprediksi. Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia Beberapa wanita, khususnya usia remaja biasanya angka keberhasilan penanganan dengan hormon cukup besar (terutama dengan oral kontrasepsi). Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial.

11. Pencegahan

a. Melakukan pemeriksaan USG dan/atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim.
b. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama.
c. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
d. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
e. Mengubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.


BAB IV

ANALISIS KASUS
1. Definisi
Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau sedikit dan haid yang memanjang atau tidak beraturan. Pada kasus ini, pasien mengatakan telah mengalami menstruasi selama 30 hari (14 Januari-12 Februari 2018), dengan jumlah perdarahan pada awal menstruasi yang banyak (4-6 kali ganti pembalut dalam sehari).
2. Epidemiologi
Sekitar setengah dari wanita dengan perdarahan uterus abnormal berada pada usia reproduksi. Prevalensi perdarahan uterus abnormal dalam kelompok usia reproduksi berkisar antara 9-30%. Kelainan endometrium ditemukan pada 53% kasus dengan kejadian hiperplasia endometrium sekitar 27%. Frekuensi hiperplasia endometrium tertinggi di multipara dan perempuan dalam dekade ke-4. Pada kasus ini, pasien P1A3 usia 30 tahun, termasuk dalam kelompok usia reproduksi, di mana prevalensi PUA berkisar antara 9-30%.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Hiperplasia endometrium berkembang saat estrogen tidak berlawanan dengan progesteron merangsang pertumbuhan sel endometrial dengan mengikat reseptor estrogen pada nukleus dari sel ensometrial. Faktor risiko dari terjadinya hiperplasia endometrium adalah peningkatan BMI/indeks masa tubuh, anovulasi berkaitan dengan perimenopause atau polycystic ovary syndrome (PCOS), sekresi estrogen dari tumor ovarium misal tumor sel granulosa, stimulasi endometrial akibat penggunaan obat-obatan misal terapi pengganti estrogen sistemik atau tamoxifen jangka panjang. Pada pasien tidak didapatkan faktor risiko seperti di atas, BMI pasien yaitu 22,9kg/m2 (ideal).
Faktor risiko lain yang bisa memicu hiperplasi endometrium antara lain stimulasi estrogen endogen seperti faktor menstruasi, misalnya menarche dini (<12 tahun), menopause lambat (>52 tahun) dan nuliparitas. Pada pasien diketahui menarche terjadi pada usia 11 tahun (menarche dini). Hal ini diperkirakan akan meningkatkan paparan kumulatif estrogen oleh karena total jumlah siklus menstruasi yang lebih banyak sepanjang hidupnya.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hiperpalsi endometrium antara lain siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama (amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia). Pada pasien dijumpai manifestasi klinis berupa menstruasi terus-menerus dan banyak. Manifestasi klinis lainnya yaitu akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah penderita bisa mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan suami-istri pun terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah. Pasien mengalami anemia berat pada awal menstruasi (Hb 6gr/dl) yang menyebabkan gangguan sakit kepala, mudah lelah dan terganggunya hubungan suami-istri.
5. Diagnosis
Pemeriksaan gold standard hiperplasia endometrium adalah pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi endometrium atau dilatasi dan kuretase, sedangkan pemeriksaan penunjang noninvasif yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi transvaginal, namun pemeriksaan ini belum dapat menggantikan pemeriksaan patologi anatomi. USG transvaginal yang memberikan gambaran ketidakteraturan endometrium atau ukuran ketebalan endometrium yang tidak normal pada wanita dengan perdarahan postmenopause harus dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi endometrium. Sebuah sistematik review memberikan batasan 3 mm atau 4 mm untuk mengesampingkan kanker endometrium dan probabilitas kanker menjadi kurang dari 1% bila ketebalan endometrium kurang dari batas tersebut. Peran USG untuk wanita premenopause terbatas untuk mengidentifikasi kelainan struktur, karena tampaknya ada tumpang tindih antara ketebalan endometrium normal dengan yang disebabkan oleh penyakit endometrium. Pada pasien premenopause, ketebalan endometrium normal tergantung pada siklus menstruasi: menstruasi (2-4 mm), early proliferative phase (hari 6-14): 5-7 mm, late proliferative/preovulatory phase: 11 mm, secretory phase: 7-15 mm.
Pada pasien diagnosis hiperplasia endometrium berdasarkan USG trans-abdominal. Pada pasien juga telah dilakukan kuretase untuk kemudian dilakukan pemeriksaan patologi anatomi.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bagi penderita hiperplasia, antara lain kuretase, progesteron dan histerektomi. Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosis sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan. Pada pasien, tindakan kuretase sudah dilakukan. Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan. Sedangkan histerektomi merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan rahim.
7. Prognosis
Respon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah diprediksi. Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia Beberapa wanita, khususnya usia remaja biasanya angka keberhasilan penanganan dengan hormon cukup besar (terutama dengan oral kontrasepsi). Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi. Pada pasien prognosis dapat ditentukan setelah didapatkan hasil pemeriksaan patologi anatomi.
8. Komplikasi
Hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi kanker, 3% progresi menjadi hiperplasia kompleks, 8% progresi menjadi hiperplasia sederhana atipik. Sementara hiperplasia kompleks atipik, 29% akan progresi menjadi kanker. Komplikasi pada pasien tergantung hasil pemeriksaan patologi anatomi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI) & Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2014. Konsensus Tatalaksana Pendarahan Uterus Abnormal Karena Efek Samping Kontrasepsi.
2. Kurman RJ, Carcangiu ML, Herrington CS, Young RH, editors. WHO Classification of Tumours of Female Reproductive Organs. 4th ed. [Lyon]: IARC; 2014.
3. Munro MG, Critchley HO, Fraser IS. The FIGO system for nomenclature and classification of causes of abnormal uterine bleeding in the reproductive years: who needs them. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2012;: p. 259-65.
4. Royal College of Obstetricians & Gynaecologists; Management of Endometrial Hypperplasia. Green-top Guideline No 67; February 2016.
5. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Frequently Asked Questions FAQ 147, Gynecologic Problems: Endometrial Hyperplasia. 2012.

No comments:

Post a Comment