Friday, November 30, 2018

Kulit-DERMATITIS KONTAK IRITAN TOKSIK

PENDAHULUAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EH
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 44 tahun
Alamat : Gelangan, Magelang Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
II. ANAMNESIS
Anamnesis dan pemeriksaan dilakukan pada Kamis, 19 April 2018 pukul 11.30 WIB
A. Keluhan Utama : Merah, panas dan gatal pada lengan kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan kemerahan, panas, nyeri dan gatal pada lengan kiri (siku bagian dalam). Awalnya ketika sedang tidur di rumah pada hari Minggu, 15 April 2018 (empat hari sebelum ke RS), pasien merasakan seperti digigit serangga pada lengan kirinya. Pasien mengaku tidak sempat melihat serangga yang menggigitnya. Keesokan paginya, lengan pasien menjadi merah dan terasa nyeri. Pasien kemudian memberikan salep Aciclovir dan lidah buaya, karena mengira terkena penyakit Herpes. Pada hari Selasa, pasien memeriksakan ke dokter umum dan diberikan salep Hidrokortison. Sampai hari Kamis, keluhan dirasakan tidak berkurang, kemerahan semakin meluas. Pasien kemudian dirujuk ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
Riwayat alergi, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat keluhan serupa disangkal
Riwayat alergi, asma, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal
E. Riwayat Personal Sosial:
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya beraktivitas di rumah. Tetangga mengalami keluhan yang serupa (+), dengan riwayat menggencet tomcat yang melintas di sekitar leher.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. Tekanan darah tidak dilakukan
b. Nadi: 80x/menit
c. Pernafasan: 20x/menit
d. Suhu: 36,6°C
4. Kepala: konjunctiva anemis (-/-)
5. Leher: pembesaran KGB (-)
6. Dada: paru dan jantung dalam batas normal
7. Abdomen: dalam batas normal
8. Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
B. Status Dermatologik



Pada regio fossa cubiti sinistra tampak plak eritem, batas tegas, disertai skuama putih tipis dan vesikel di atasnya. Kissing lession (+).
IV. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis kontak iritan toksik (Dermatitis Paederus)
V. DIAGNOSIS BANDING
Herpes zooster
Dermatitis kontak alergika
VI. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
1. Interhistin 2x1
2. Metiprednisolon 1x8mg pagi hari
3. Salep campuran Desoxymetason 5 dan Bactoderm 5, dioleskan 2x sehari
B. Edukasi
1. Mencegah gesekan dengan kulit lain. Tidak menggaruk bagian yang gatal.
2. Tutup jendela dan pintu saat malam hari untuk mencegah serangga masuk ke kamar tidur
3. Gunakan kelambu saat tidur dan periksalah tempat tidur sebelum tidur malam, disertai gunakan lampu tidur yang lebih redup untuk mencegah serangga tertarik masuk ke ruangan.

TINJAUAN PUSTAKA
DERMATITIS KONTAK IRITAN TOKSIK
(DERMATITIS PAEDERUS)
A. DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal (Sularsito & Djuanda, 2011).
Dermatitis kontak iritan adalah peradangan kulit yang disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan yang menimbulkan kelainan klinis efloresensi polimorfik berupa eritema, vesikula, edema, papul, vesikel dan keluhan gatal, perih serta panas. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan hanya beberapa saja (Saraswati, 2013).
Dermatitis yang disebabkan spesifik oleh bahan aktif yang dikandung oleh serangga genus Paederus, yakni pederin, disebut dengan paederus dermatitis atau dermatitis linearis atau blister beetle dermatitis, kumbang paederus memiliki cairan hemolimfe yang mengandung senyawa beracun disebut pederin. Setiap kumbang memiliki jumlah senyawa yang berbeda, produksi pederin pada tubuh kumbang bergantung pada aktifitas endosimbion kumbang dengan bakteri pseudomonas sp, umumnya kumbang betina lebih banyak mengadung pederin dibandingkan kumbang janta, karena kumbang betina memiliki kemampuan memproduksi pederin. (Schiazza, 2015; Saraswati, 2013).
Bagian tubuh yang sering terkena biasanya pada leher dan wajah, lesi yang timbul akibat racun pederin tidak langsung terjadi, lesi biasnaya muncul 1-2 hari setelah terpapar toksin, karena racun pederin memerlukan waktu untuk masuk ke dalam kulit dan menimbulkan peradangan. Pederin merupakan suatu molekul non protein kompleks yang sangat toksin bahkan 12 kali lebih toksin dari racun kobra. Pederin dapat menghambat sintesis protein dan mencegah pembelahan sel (Schiazza, 2015)
B. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis paederus merupakan dermatitis akut yang dapat sembuh dengan sendiri jika tanpa disertai infeksi sekunder. Kumbang tomcat dapat menyerang semua kelompok umur, baik dewasa maupun anak-anak, dan insidennya tergantung aktivitas. Anak-anak sering terkena pada usia 7-12 tahun. Kasus dermatitis paederus cenderung mengalami peningkatan pada musim penghujan, yaitu pada bulan Oktober–April dan cenderung menurun pada musim kering (Simeen et al, 2006). Seseorang kontak dengan tomcat cenderung saat malam hari dan cenderung menghancurkan serangga dengan menepuk pada kulit saat kontak dengan tomcat. Tubuh yang sering terkena pada bagian terbuka seperti leher dan wajah, meskipun tidak menutup kemungkinan terkena pada area tubuh lainnya (IDAI, 2013)
C. ETIOLOGI

Gambar 1. Paederus spp.
Jenis kumbang penjelajah sangat bervariasi, terdapat sekitar 3100 spesies yang tersebar di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Salah satu yang ada di Indonesia adalah tomcat, tomcat menyukai habitat yang lembab sehingga kasus dermatitis paederus cenderung meningkat pada musim penghujan, hal ini dikarenakan terjadi lonjakan populasi tomcat pada musim penghujan. Tomcat merupakan serangga yang bermanfaat pada pertanian, hal ini dikarenakan tomcat sebagai predator alami terhadap hama pada padi sawah. Tomcat memiliki ukuran 7 sampai 10 mm, lebar 0,5 mm, terdapat warna hitam pada kepala, abdomen bawah, dan daerah yang meliputi sayap dan sepertiga segmen abdomen, terdapat warna merah pada toraks. Tomcat termasuk dalam kelas insect, ordo Coleopteran, family Staphylinidae, genus Paederus. (Travis & Shayer 2015)
Kumbang tomcat dewasa aktif pada siang hari dan menyukai cahaya lampu saat malam hari (tomcat tidak menyukai lampu yang mengeluarkan cahaya kuning), hal ini menyebabkan seseorang cenderung sering kontak dengan tomcat saat malam hari. Tomcat tidak mengigit atau menyengat, racun dikeluarkan dari tubuh kumbang karena kumbang tergencet sehingga dapat menyebabkan iritasi pada kulit atau mata, darah kembang mengandung racun yang berbahaya yang disebut pederin (C24H4309), toksisitas racun Pederin 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan racun kobra, dalam bentuk kering racun ini masih bersifat toksik hingga 8 tahun racun.
D. PATOFISIOLOGI
Respon inflamasi pada kulit akibat paparan toksin akan merusak barrier kulit, terjadi perubahan epidermal cellular pada kulit dan mengaktifkan mediator inflamasi tanpa diikuti keterlibatan sel T memori atau immunoglobulin spesifik, pelepasan sitokin terutama berasal dari keratinosit, respon iritasi pada kulit akan menimbulkan sensasi rasa panas pada kulit yang terkena kemudian diikuti oleh erythema, urtika sampai lesi yang melepuh, timbulnya lesi akibat toksin pederin berbeda tiap individu, tergantung banyaknya toksin, lamanya kontak dengan toksin dan sensitivitas individu, lesi muncul pada dermatitis paederus sekitar 12 sampai 36 jam setelah terpapar kemudian lesi dapat mengering dan menjadi krusta dalam waktu 1-2 minggu setelah terpapar, jika racun Pederin mengenai daerah lipatan seperti siku maka dapat ditemukan tanda “kissing lesions”, kasus pederin yang tertelan sangat jarang terjadi namun jika hal ini terjadi dapat menyebabkan keracunan dan dapat terjadi hematuria serta nyeri perut yang hebat (James et al, 2011) .
E. FAKTOR RISIKO
Paederus dermatitis dapat mengenai semua kelompok umur, akan tetapi kondisi seperti berada dekat dengan lingkungan persawahan, hutan, membuka jendela saat menjelang malam menghidupkan lampu putih (Neon) dan menepuk kumbang pada kulit dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya paederus dermatitis.
F. DIAGNOSIS
Pada sebuah studi observasional terhadap 87 pasien dengan diagnosis dermatitis paederus di Irak, ditemukan bahwa keluhan utama paling umum (sebanyak 85%) adalah lesi kulit yang muncul tiba-tiba dengan gambaran menakutkan pasien atau saudaranya. Gejala berupa sensasi tersengat atau terbakar merupakan gejala subjektif yang paling sering ditemukan. Pruritus jarang terjadi, namun dapat ditemukan. Adanya riwayat kontak dengan serangga merupakan temuan klinis yang akan sangat menolong diagnosis, sayangnya karena sifat nokturnal dari Paederus, kontak dengan pasien mayoritas terjadi pada malam hari yaitu ketika pasien tidur sehingga biasanya pasien menyangkal adanya riwayat tersebut.
Reaksi kulit terhadap paederin biasanya ditemukan dalam 24-48 jam setelah kontak dan membutuhkan seminggu atau lebih untuk penyembuhan. Reaksi kulit terhadap pederin beragam tergantung dari konsentrasinya, durasi pajanan dan karakteristik individual. Lesi tipikal biasanya muncul secara mendadak berupa plak eritema yang tersusun secara linear, kemudian pada umumnya muncul vesikel-vesikel yang seringkali berubah menjadi pustul di daerah sentral dari plak tersebut. “Kissing lesions” merupakan reaksi khas yang dapat terjadi apabila toksin paederin menyebar dari permukaan kulit yang biasanya terjadi kontak, seperti daerah-derah fleksura. Pada kasus dermatitis paederus yang ringan dapat hanya ditemukan patch eritema yang berlangsung selama beberapa hari dan sebaliknya pada kasus berat dapat ditemukan lepuh dalam area yang lebih luas diserta gejala-gejala tambahan, seperti demam, arthralgia, neuralgia dan muntah-muntah. Berdasarkan studi 268 kasus dermatitis paederus oleh Huang et al di China, erupsi kulit terjadi secara umum pada daerah yang terbuka, seperti leher (180 kasus, 67,16%), wajah (87 kasus, 32,46%), dan pundak dan ekstremitas atas (72 kasus, 26,87%); daerah lainnya meliputi ekstremitas bawah (38 kasus, 14,18%), dada dan punggung (14 kasus, 5,22%), daerah aksila (2 kasus, 0,75%) dan pudendum (1 kasus, 0,37%).


Gambar 2. Lesi tipikal berbentuk linear pada tungkai bawah kanan (kiri) dan kissing lesions pada fleksura ekstremitas atas (kanan).
Lesi pada mata umum terjadi dan biasanya dikarenakan mengusap mata dengan tangan yang terkontaminasi dengan toksin paederin. Edema, konjungtivitis dan lakrimasi berlebih sering ditemukan dan biasanya disebut “Nairobi Eyes”. Efek dari toksin biasanya hanya sebatas pada konjungtiva dan corneal scarring dan iritis jarang terjadi.
Gambar 3. Edema periorbital, lakrimasi berlebih, dan konjungtivitis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis banding utama dari penyakit ini adalah herpes zoster, herpes simpleks, dan phylophotodermatitis. Pada penderita herpes zoster, karakteristik khas yang sangat membedakan adalah keluhan utama berupa nyeri menjalar, distribusi erupsi sejajar dermatom dan unilateral, berbeda dengan nyeri terbakar atau tersengat yang merupakan gejala subjektif dominan dari dermatitis paederus. Penyakit herpes simpleks yang menyerupai dermatitis paederus bukanlah pada infeksi primernya, melainkan fase rekurensinya. Pada fase rekurensi dapat ditemukan vesikel berkelompok di daerah perioral yaitu daerah vermilion border, terutama daerah 1/3 lateral dari labia inferior. Perbedaan predileksi, susunan lesi yang tidak linear, juga ada tidaknya riwayat infeksi primer dari herpes simpleks berupa gingivostomatitis dapat mengeksklusi diagnosis herpes simpleks rekuren dari diagnosis banding. Phytophotodermatitis sangat mirip dengan dermatitis paederus karena mempunyai gejala yang sama berupa lesi yang tersusun secara linear, area eritema yang tidak simetrik, lepuh-lepuh dan kelainan pigmentasi. Ada tidaknya riwayat kontak dengan zat dari tanaman-tanaman yang memiliki sifat sensitisasi cahaya, seperti limau, seledri, peterseli dan daun ara, merupakan satu-satunya hal yang menolong dalam membedakan kedua diagnosis ini.



Gambar 4. Distribusi dermatomal herpes zoster (atas), herpes simpleks labialis rekuren pada labia inferior (bawah).
Susunan lesi khas berbentuk linear, predileksi pada daerah yang terbuka, ditemukannya kissing lesions, gejala dominan berupa sensasi terbakar atau tersengat dan fitur epidemiologi (kejadian serupa pada daerah tertentu, identifikasi serangga dan kejadian musiman) seharusnya memampukan klinisi untuk sampai pada diagnosis yang benar.
G. PENATALAKSANAAN
Dermatitis paederus merupakan penyakit swasirna atau self-limiting sehingga tidak diperlukan adanya pemberian medikasi-medikasi tertentu untuk dapat mencapai kesembuhan. Penatalaksanaan dermatitis paederus sifatnya hanya untuk meredakan gejala dan menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi sekunder. Kasus ini harus ditangani seperti dermatitis kontak iritan lainnya – menghilangkan iritan dengan mencuci kulit yang bersentuhan dengan serangga dengan air mengalir dan sabun, mengompres kulit dengan cairan antiseptik, seperti pengunaan larutan permanganas kalikus (PK) 0,01% atau povidone iodin 0,5-1% untuk menurunkan resiko infeksi sekunder, diikuti dengan pemberian steroid topikal untuk meredakan peradangan dan juga antibiotik bila terjadi infeksi sekunder. Pemilihan topikal steroid sesuai dengan daerah lesi. Lesi di wajah dapat menggunakan steroid potensi rendah, seperti hidrokortison 1% atau 2,5% krim, di leher dapat menggunakan steroid potensi menengah, seperti betametason valerate 0,1% krim, sedangkan di ekstremitas proksimal dapat menggunakan steroid potensi menengah-tinggi, seperti betametason diproprionate 0,05% krim atau desoximetason 0,25% krim. Contoh pilihan antibiotik topikal yang dapat digunakan antara lain, mupirosin 2% dioleskan 3x/hari, asam fusidat 2% dioleskan 3-4x / hari, gentamisin 0,1% dioleskan 3-4x/hari, kloramfenikol 2% dioleskan 3-4x/hari, atau neomisin dioleskan tipis 2-5x/hari. Pemberian siprofloksasin dengan dosis dua kali 500 mg sehari dapat dipertimbangkan karena hasil dari sebuah studi yang dilakukan di Sierra Leone, dimana ditemukan perbedaan waktu penyembuhan yang bermakna antara pasien penderita dermatitis paederus yang diberikan antibiotik siprofloksasin dan yang tidak diberikan antibiotik.
H. PENCEGAHAN
Untuk mencegah manusia kontak dengan kumbang/pederin, maka tindakan untuk pencegahan antara lain dengan: hindari kontak kumbang tersebut langsung dengan area kulit. Bila kumbang tersebut hinggap di badan kita, cobalah untuk mengusirnya dengan hati-hati (misalnya, meniupnya pergi, mencoba untuk kumbang berjalan ke secarik kertas dan kemudian membuangnya, dll) dan mencuci daerah kulit yang kontak dengan kumbang tersebut.
Jika kita menghancurkan kumbang itu, maka cuci tangan yang kontak dengan kumbang itu, juga pakaian yang mungkin telah terkontaminasi dengan pederin.
Jika kita berpikir bahwa kumbang tersebut kontak/hancur tetapi tidak yakin jika hal ini terjadi (misalnya saat tidur), maka kita perlu segera mandi dan mencuci seprai dan pakaian. Matikan lampu neon atau beralih ke lampu pijar. Menjaga pintu dan jendela tertutup. Periksa sebelum tidur barangkali ada kumbang (terutama pada dinding dan plafon area sekitar lampu). Jika kita melihat ada kumbang, bunuh kumbang tersebut. Alat untuk membunuh kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan buang di tempat sampah.
Sebaiknya menghindari penggencetan kumbang agar racun tidak mengenai kulit, menutup pintu dan menggunakan kasa nyamuk untuk mencegah kumbang ini masuk ke dalam rumah, tidur dengan menggunakan kelambu, memasang jaring pelindung di lampu untuk mencegah kumbang jatuh ke manusia, menyemprot insektisida, dan membersihkan rumah dari tanaman yang tidak terawat.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain hiperpigmentasi pasca inflamasi, infeksi sekunder, dermatitis dengan lepuh luas dan ulkus yang membutuhkan rawat inap.
J. PROGNOSIS
Bila bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Panduan Pencegahan dan Pengendalian Kumbang Paederus sp.
Haddad Jr V. “Sign of the kiss” in dermatitis caused by vesicant beetles (Paederus sp. Or “potós”). An Bras Dermatol. 2014;89(6):996-7.
Indonesian Pediatric Society. 2013. Serangga Tomcat Penyebab Paederus Dermatitis Pada Anak.
Saraswati, A. Hubungan antara Musim dengan Kejadian Dermatitis Venenata di RSUD dr. Moewardi Surakarta Periode 2010-2012. 2013. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Kontak. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. p.158-61.

No comments:

Post a Comment