BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap, yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat
pertumbahan fibrovaskuler konjungtiva yang berasal dari penebalan dan
lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya
terletak pada rima palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini
berbentuk seperti sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki
banyak permbuluh darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah
kornea. Bila terjadi iritasi maka pterigium akan berwarna merah.
Gambar 1
. Arah pertumbuhan pterigium
Pada dasarnya pertumbuhan ini bersifat jinak sehingga tidak memerlukan
penanganan yang khusus kecuali jika mengenai daerah pupil yang dapat
menurunkan fungsi penglihatan sehingga diperlukan tindakan pembedahan untuk
memperbaiki penglihatan. 1
B. Epidemiologi
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim panas
dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.
Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup
tinggi yakni 13,1%. Suatu penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara peningkatan prevalensi dengan peningkatan kadar paparan sinar
ultraviolet (UV) di daerah lintang selatan. Dilaporkan laki-laki dua kali
lebih sering terkena dibandingkan wanita. Kasus ini jarang ditemui pada
usia di bawah 20 tahun. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya
usia, namun rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia
tua. Prevalensi paling tinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40
tahun dan insidensi paling tinggi didapatkan pada usia 20-40. 2
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium meliputi: 2
1. Radiasi UV
Faktor risiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan
sinar matahari. Sinar UV yang diabsorbsi kornea dan konjungtiva menyebabkan
kerusakan sel dan proliferasi sel. Penelitian di Desa Waai, Kabupaten
Maluku pada 147 responden yang memiliki pterigium menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara lama aktivitas di luar rungan dengan angka
kejadian pterigium. Responden dari kelompok yang beraktivitas >5 jam di
luar ruangan memiliki peluang 1,230 kali lebih berisiko menderita pterigium
daripada responden yang beraktivitas ≤ 5 jam di luar ruangan yang terpapar
sinar matahari secara langsung 3
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan. Selain
itu, terdapat kecenderungan genetik yang berhubungan dengan insidensi yang
lebih tinggi pada laki-laki dalam jumlah yang signifikan daripada
perempuan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik dari bahan tertentu di udara yang terjadi pada area limbus
atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik
dan terjadinya limbal defisiensi. Saat ini teori baru mengenai patogenesis
dari pterigium juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis factor“. Debu, kelembapan yang rendah,
trauma kecil dari partikel tertentu, dry eye, virus papilloma,
tinggal di daerah beriklim subtropis-tropis, dan pekerjaan yang membutuhkan
kegiatan di luar ruangan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu
timbulnya pterigium.
D. Etiologi
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma, radang dan
degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler konjungtiva yang
dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap rokok, debu,
cahaya sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang rendah, dan
udara yang panas merupakan faktor predisposisi terjadinya pterigium. 1,2
E. Patofisiologi
Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga merupakan
akibat dari kelainan lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh genetik.
Konjungtiva bulbi selalu mengalami kontak dengan dunia luar, seperti sinar
UV, debu, serta udara yang kering akibat cuaca panas yang mengakibatkan
terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang berkembang ke
kornea. Penebalan abnormal ini dapat mengenai kedua mata (bilateral) karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
faktor-faktor tersebut. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke
bagian nasal kemudian melalui punctum lacrimalis dialirkan ke
meatus nasi infeirior. Selain itu, daerah nasal juga mendapat paparan sinar
UV yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain
akibat pantulan sinar UV tidak langsung dari hidung.
UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal stem cell yang merupakan sumber regenerasi epitel
kornea. Pada keadaan defisiensi, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan
kornea yang pada gejala muncul sebagai pertumbuhan konjungtiva ke arah
kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
terigium merupakan manifestasi dari defisiensi limbal stem cell
interpalpebral terlokalisasi yang diduga akibat paparan sinar UV yang dapat
merusak stemcell di daerah interpalpebral.
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan menimbulkan
peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitel fibrovaskuler. Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi elastis
dan proliferasi jaringan granulasi vaskuler di bawah epitel yang akhirnya
menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi ringan. Epitel
dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi
epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis.
Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami
degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang
berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh
darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman
dan stroma kornea bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada daerah yang
mengalami degenerasi elastis menunjukkan basophilia dengan pengecatan
hematoxylin dan eosin (HE). 1,2
Gambar 2
. Histopatologi Pterigium
F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Subjektif
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak
mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal,
mata mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu
mata ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium.
Beberapa lainnya datang dengan keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas
korneanya dan merasa seperti kelilipan saat berkedip.
2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada bagian
puncak, pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak kelabu yang
disebut pulau Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan adanya penonjolan
daging berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk
segitiga berkembang dari konjungtiva interpalpebrae menuju ke kornea. Tepi
jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan,
umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila mengalami iritasi, pterigium akan
berwarna merah dan menebal.
Gambar 3.
Pterigium
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body,
bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah
kantus; (2) apex, bagian atas pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.2
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut sebagai
pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan temporal,
maka disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus
kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea
tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua
tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati
pupil sehingga mengganggu penglihatan.
G. Diagnosis Banding
Pembeda
|
Pterigium
|
Pinguekula
|
Pseudopterigium
|
Definisi
|
Jaringan fibrovaskular konjungtiva bulbi berbentuk segitiga
|
Benjolan pada konjungtiva bulbi
|
Perlengketan konjungtiba bulbi dengan kornea yang cacat
|
Warna
|
Putih kekuningan
|
Putih-kuning keabu-abuan
|
Putih kekuningan
|
Letak
|
Celah kelopak bagian nasal atau temporal yang meluas ke
arah kornea
|
Celah kelopak mata terutama bagian nasal
|
Pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea
sebelumnya
|
6♂:♀
|
♂ > ♀
|
♂ = ♀
|
♂ = ♀
|
Progresif
|
Sedang
|
Tidak
|
Tidak
|
Reaksi kerusakan permukaan kornea sebelumnya
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Ada
|
Pembuluh darah konjungtiva
|
Lebih menonjol
|
Menonjol
|
Normal
|
Sonde
|
Tidak dapat diselipkan
|
Tidak dapat diselipkan
|
Dapat diselipkan di bawah lesi karena tidak melekat pada
limbus
|
Puncak
|
Ada pulau-pulau Funchs (bercak kelabu)
|
Tidak ada
|
Tidak ada (tidak ada head, cap, body)
|
Histopatologi
|
Epitel ireguler dan degenerasi hialin dalam stromanya
|
Degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva
|
Perlengketan
|
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat
1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata
kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva
bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil
dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang
rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium
yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik
yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.
Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1) Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 2% dan 89%, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2) Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2% dan setinggi 40% pada
beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera
yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS,
dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik
ini.
Gambar 6.
Teknik Autograft Konjungtiva
3) Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan
pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum
teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah
membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan
fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam
pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia primer dan
setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini
selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran
amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal menghadap
ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah
menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion
menempel jaringan episkleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan
dalam autografts konjungtiva.
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi
telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari
terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi
beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua
bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke
sklera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal
setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC
hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari
pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang
tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral,
endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter
untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml): 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1 tetes/ 3
jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
I. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi: 2
1. Mata merah
2. Iritasi
3. Keterlibatan otot ekstraokular menyebabkan diplopia
4. Jaringan parut kronik pada konjungtiva dan kornea
5. Dry eye sindrom
6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
Komplikasi postoperative pterigium 2
1. Reaksi terhadap bahan benang
2. Rekurensi
3. Infeksi
4. Perforasi korneosklera
5. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
6. Korneoscleral dellen
7. Granuloma konjungtiva
8. Epithelial inclusion cysts
9. Conjungtiva scar
10. Adanya jaringan parut di kornea
J. Prognosis
Prognosis penglihatan dan kosmetik eksisi pterigium adalah baik. Penderita
dapat beraktivitas normal setelah 48 jam setelah tindakan eksisi.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata
atau beta radiasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat dilakukan eksisi
ulang dengan grafting.2 Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi. Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar
matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan
mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
Angka kejadian tumbuh ulang paska eksisi pterigium selama tahun 2010-2011
di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung sebanyak 5,59%
dengan tidak ada perbedaan yang mencolok antara kelompok pria dan wanita.
Risiko kejadian tumbuh ulang lebih besar pada pasien pterigium yang
dilakukan eksisi pada usia muda yaitu 20-29 tahun. Berdasarkan derajat
pterigium, kejadian tumbuh ulang lebih banyak terjadi pada pterigium
derajat II. Semua yang mengalami tumbuh ulang menggunakan teknik conjunctival graft dengan jahitan. Waktu tumbuh ulang paling cepat
terjadi dalam 4-8 minggu paska eksisi pterigium.4
Kejadian tumbuh ulang pterigium pada beberapa teknik pembedahan pterigium
di Rumah Sakit Heraklion antara tahun 1998-2015 yang diikuti selama 20+16,3
bulan sekitar 9,6% (11 kasus). Teknik BSE (bare sklera) menimbulkan 16,7%
tumbuh ulang (2 kasus) pada 12 pterigium primer, sedangkan 6 dari 68
pterigium primer tumbuh ulang setelah BSE+MMC (bare sklera + Mitomycin-C).
Kejadian tumbuh ulang 13% (3 dari 23) pasien yang dioperasi dengan BSE+MMC.
Tidak ada kejadian tumbuh ulang pada pasien yang dioperasi dengan teknik
CAU (Conjunctival Autograft) dan AMT (Amniotic Membrane Transplantation). 5
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IL
Usia : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jalan Manggis, Mertoyudan, Kab. Magelang
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Mata kanan terdapat selaput, terasa mengganjal
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli mata RSUD, dengan keluhan utama
mata kanannya terdapat selaput dan terasa mengganjal. Keluhan dirasakan
sejak 4 bulan yang lalu. Selaput yang mengganjal dirasakan semakin lama,
semakin luas sehingga mengganggu penglihatan. Pasien juga mengeluhkan mata
sering memerah dan pandangan menjadi kabur. Keluhan mata nyeri, silau,
kelopak mata bengkak dan gatal disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat operasi : (+) kista ovarium
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat hipertensi : (+) 3 tahun, minum obat rutin Amlodipin 1x10mg
Riwayat diabetes melitus : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : ibu (+)
Riwayat diabetes melitus : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Aktivitas sehari-hari di rumah.
III. STATUS GENERALIS
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik
OD : Tampak selaput putih kemerahan dari angulus oculi medialis sampai ke
limbus kornea
OS : Tenang
IV. STATUS OFTALMOLOGIS
Pemeriksaan
|
Oculli dextra (OD)
|
Oculli sinistra (OS)
|
Visus jauh
|
6/18
|
6/12
|
Refraksi
|
Tidak dilakukan
|
Tidak dilakukan
|
Koreksi
|
Tidak dilakukan
|
Tidak dilakukan
|
Visus dekat
|
Tidak dilakukan
|
Tidak dilakukan
|
Proyeksi sinar
|
Dapat membedakan arah sinar
|
Dapat membedakan arah sinar
|
Proyeksi warna
|
Dapat membedakan warna
|
Dapat membedakan warna
|
Pemeriksaan
|
OD
|
OS
|
1. Sekitar mata (supersilia) |
Kedudukan alis baik, scar (-)
|
Kedudukan alis baik, scar (-)
|
2. Kelopak mata | ||
A. Pasangan |
N
|
N
|
B. Gerakan |
N
|
N
|
C. Lebar rima |
9 mm
|
9 mm
|
D. Kulit |
N
|
N
|
E. Tepi kelopak |
N
|
N
|
3. Apparatus Lakrimalis | ||
A. Sekitar glandula lakrimalis |
N
|
N
|
B. Sekitar saccus lakrimalis |
N
|
N
|
C. Uji flurosensi |
-
|
-
|
D. Uji regurgitasi |
-
|
-
|
E. Tes Anel |
-
|
-
|
4. Bola Mata | ||
A. Pasangan |
N
|
N
|
B. Gerakan |
N
|
N
|
C. Ukuran |
N
|
N
|
5. TIO |
Palpasi: konsistensi kenyal
|
Palpasi: konsistensi kenyal
|
6. Konjungtiva | ||
A. Palpebra superior |
Hiperemis (-)
|
Hiperemis (-)
|
B. Forniks |
Tenang
|
Tenang
|
C. Palpebra inferior |
Hiperemis (-)
|
Hiperemis (-)
|
D. Bulbi |
Jaringan fibrovaskular, putih kemerahan, berbentuk sayap,
dari angulus oculi medialis melewati limbus kornea 2 mm
|
Hiperemis (-)
|
7. Sklera |
Ikterik (-), perdarahan (-)
|
Ikterik (-), perdarahan (-)
|
8. Kornea | ||
1. Ukuran |
Ø 10 mm
|
Ø 10 mm
|
2. Kecembungan |
N
|
N
|
3. Permukaan |
N
|
N
|
4. Uji Flurosensi |
-
|
-
|
5. Placido |
-
|
-
|
9. Camera oculi anterior | ||
A. Ukuran |
N
|
N
|
B. Isi |
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
|
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
|
10. Iris | ||
A. Warna |
Coklat
|
Coklat
|
B. Bentuk |
Bulat
|
Bulat
|
11. Pupil | ||
A. Ukuran |
Ø 3 mm
|
Ø 3 mm
|
B. Bentuk |
Bulat
|
Bulat
|
C. Tempat |
Sentral
|
Sentral
|
D. Tepi |
Reguler
|
Reguler
|
E. Reflek direct |
+
|
+
|
F. Reflek indirect |
+
|
+
|
12. Lensa | ||
A. Ada/tidak |
Ada
|
Ada
|
B. Kejernihan |
Jernih
|
Jernih
|
C. Letak |
Sentral, belakang iris
|
Sentral, belakang iris
|
13. Refleks Fundus |
Normal
|
Normal
|
V. DIAGNOSIS KERJA
OD Pterigium grade II
VI. PENATALAKSANAAN
1. Eksisi pterigium dan graft kornea (26 Februari 2018)
2. Metampiron + Diazepam (Analsik) 2 x 1 kaplet
3. Gatifloxacin (Gaforin) eye drop 2x1 OD
4. Kloramfenikol + Hidrokortison (Cendo mycos) salep mata 2x1 OD
VII. EDUKASI
Lindungi mata dari paparan sinar matahari dengan menggunakan kacamata hitam
dan hindari debu yang berlebihan.
VIII. FOLLOW UP
1. 3 Maret 2018 (4 hari post op)
S: mata kanan terasa mengganjal, nyeri dan pegal
O: VOD: 4/22
VOS: 4/5
Status lokalis mata kanan: hiperemis, berair
A: OD Post eksisi pterigium grade II dan graft konjungtiva
P: Tobramycin + Dexamethasone (Tobroson) eye drop 3x1 OD
Ofloxacin (Floxa) eye drop 3x1 OD
Metampiron + Diazepam (Analsik) 1x1 kaplet (malam)
2. 10 Maret 2018 (11 hari post op)
S: mata kanan masih terasa mengganjal
O: VOD: 4/7
VOS: 4/7
Status lokalis mata kanan: hiperemis berkurang
A: OD post eksisi pterigium grade II dan graft konjungtiva
P: Tobramycin + Dexamethasone (Tobroson) eye drop 4x1 OD
Sodium Chloride + Kalium Chloride (Cendo liteers) eye drop 3x1 ODS
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad kosmetikum : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal:
46-47. 2009
2. Fisher JP. Pterygium.
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall
. 2013
3. Lima, F. & Manuputty, A.G. Hubungan Paparan Sinar Matahari dengan
Angka Kejadian Pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013.
Molucca Medika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 4, Nomor 2, Maret
2014, hlm, 101-109.
4. Miraprahesti, R. 2013. Karakteristik Tumbuh Ulang Pterigium Paska Eksisi
di Pusat Mata Nasional, Rumah Sakit Cicendo Bandung Tahun 2010-2011.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran.
5. Lubbad A, Giarmoukakis A, Skatharoudi C, Astyrakakis N, Siganos CS
(2017) Long Term Results of Pterygium Excision Using Different Surgical
Techniques: A Retrospective Study. J Clin Exp Ophthalmol 8: 629.
doi:10.4172/2155-9570.1000629
No comments:
Post a Comment