Friday, November 30, 2018

Mata-PTERIGIUM GRADE II

 
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap, yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan fibrovaskuler konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini berbentuk seperti sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak permbuluh darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi iritasi maka pterigium akan berwarna merah.

Gambar 1 . Arah pertumbuhan pterigium
Pada dasarnya pertumbuhan ini bersifat jinak sehingga tidak memerlukan penanganan yang khusus kecuali jika mengenai daerah pupil yang dapat menurunkan fungsi penglihatan sehingga diperlukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki penglihatan. 1
B. Epidemiologi
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup tinggi yakni 13,1%. Suatu penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dengan peningkatan kadar paparan sinar ultraviolet (UV) di daerah lintang selatan. Dilaporkan laki-laki dua kali lebih sering terkena dibandingkan wanita. Kasus ini jarang ditemui pada usia di bawah 20 tahun. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia, namun rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua. Prevalensi paling tinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun dan insidensi paling tinggi didapatkan pada usia 20-40. 2
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium meliputi: 2
1. Radiasi UV
Faktor risiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan sinar matahari. Sinar UV yang diabsorbsi kornea dan konjungtiva menyebabkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Penelitian di Desa Waai, Kabupaten Maluku pada 147 responden yang memiliki pterigium menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara lama aktivitas di luar rungan dengan angka kejadian pterigium. Responden dari kelompok yang beraktivitas >5 jam di luar ruangan memiliki peluang 1,230 kali lebih berisiko menderita pterigium daripada responden yang beraktivitas ≤ 5 jam di luar ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung 3
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan. Selain itu, terdapat kecenderungan genetik yang berhubungan dengan insidensi yang lebih tinggi pada laki-laki dalam jumlah yang signifikan daripada perempuan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik dari bahan tertentu di udara yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi. Saat ini teori baru mengenai patogenesis dari pterigium juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis factor“. Debu, kelembapan yang rendah, trauma kecil dari partikel tertentu, dry eye, virus papilloma, tinggal di daerah beriklim subtropis-tropis, dan pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu timbulnya pterigium.
D. Etiologi
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma, radang dan degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler konjungtiva yang dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap rokok, debu, cahaya sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang rendah, dan udara yang panas merupakan faktor predisposisi terjadinya pterigium. 1,2
E. Patofisiologi
Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga merupakan akibat dari kelainan lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh genetik. Konjungtiva bulbi selalu mengalami kontak dengan dunia luar, seperti sinar UV, debu, serta udara yang kering akibat cuaca panas yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang berkembang ke kornea. Penebalan abnormal ini dapat mengenai kedua mata (bilateral) karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan faktor-faktor tersebut. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal kemudian melalui punctum lacrimalis dialirkan ke meatus nasi infeirior. Selain itu, daerah nasal juga mendapat paparan sinar UV yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain akibat pantulan sinar UV tidak langsung dari hidung.
UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal stem cell yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala muncul sebagai pertumbuhan konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terigium merupakan manifestasi dari defisiensi limbal stem cell interpalpebral terlokalisasi yang diduga akibat paparan sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah interpalpebral.
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan menimbulkan peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitel fibrovaskuler. Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi elastis dan proliferasi jaringan granulasi vaskuler di bawah epitel yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada daerah yang mengalami degenerasi elastis menunjukkan basophilia dengan pengecatan hematoxylin dan eosin (HE). 1,2

Gambar 2 . Histopatologi Pterigium
F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Subjektif
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal, mata mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu mata ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium. Beberapa lainnya datang dengan keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas korneanya dan merasa seperti kelilipan saat berkedip.
2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada bagian puncak, pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak kelabu yang disebut pulau Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan adanya penonjolan daging berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk segitiga berkembang dari konjungtiva interpalpebrae menuju ke kornea. Tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila mengalami iritasi, pterigium akan berwarna merah dan menebal.

Gambar 3. Pterigium
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex, bagian atas pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.2
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut sebagai pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan temporal, maka disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
G. Diagnosis Banding
Pembeda
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
Definisi
Jaringan fibrovaskular konjungtiva bulbi berbentuk segitiga
Benjolan pada konjungtiva bulbi
Perlengketan konjungtiba bulbi dengan kornea yang cacat
Warna
Putih kekuningan
Putih-kuning keabu-abuan
Putih kekuningan
Letak
Celah kelopak bagian nasal atau temporal yang meluas ke arah kornea
Celah kelopak mata terutama bagian nasal
Pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya
6♂:♀
♂ > ♀
♂ = ♀
♂ = ♀
Progresif
Sedang
Tidak
Tidak
Reaksi kerusakan permukaan kornea sebelumnya
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Pembuluh darah konjungtiva
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
Sonde
Tidak dapat diselipkan
Tidak dapat diselipkan
Dapat diselipkan di bawah lesi karena tidak melekat pada limbus
Puncak
Ada pulau-pulau Funchs (bercak kelabu)
Tidak ada
Tidak ada (tidak ada head, cap, body)
Histopatologi
Epitel ireguler dan degenerasi hialin dalam stromanya
Degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva
Perlengketan
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1) Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 2% dan 89%, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2) Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2% dan setinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.


Gambar 6. Teknik Autograft Konjungtiva
3) Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episkleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral, endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml): 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1 tetes/ 3 jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
I. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi: 2
1. Mata merah
2. Iritasi
3. Keterlibatan otot ekstraokular menyebabkan diplopia
4. Jaringan parut kronik pada konjungtiva dan kornea
5. Dry eye sindrom
6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
Komplikasi postoperative pterigium 2
1. Reaksi terhadap bahan benang
2. Rekurensi
3. Infeksi
4. Perforasi korneosklera
5. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
6. Korneoscleral dellen
7. Granuloma konjungtiva
8. Epithelial inclusion cysts
9. Conjungtiva scar
10. Adanya jaringan parut di kornea
J. Prognosis
Prognosis penglihatan dan kosmetik eksisi pterigium adalah baik. Penderita dapat beraktivitas normal setelah 48 jam setelah tindakan eksisi. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat dilakukan eksisi ulang dengan grafting.2 Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
Angka kejadian tumbuh ulang paska eksisi pterigium selama tahun 2010-2011 di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung sebanyak 5,59% dengan tidak ada perbedaan yang mencolok antara kelompok pria dan wanita. Risiko kejadian tumbuh ulang lebih besar pada pasien pterigium yang dilakukan eksisi pada usia muda yaitu 20-29 tahun. Berdasarkan derajat pterigium, kejadian tumbuh ulang lebih banyak terjadi pada pterigium derajat II. Semua yang mengalami tumbuh ulang menggunakan teknik conjunctival graft dengan jahitan. Waktu tumbuh ulang paling cepat terjadi dalam 4-8 minggu paska eksisi pterigium.4
Kejadian tumbuh ulang pterigium pada beberapa teknik pembedahan pterigium di Rumah Sakit Heraklion antara tahun 1998-2015 yang diikuti selama 20+16,3 bulan sekitar 9,6% (11 kasus). Teknik BSE (bare sklera) menimbulkan 16,7% tumbuh ulang (2 kasus) pada 12 pterigium primer, sedangkan 6 dari 68 pterigium primer tumbuh ulang setelah BSE+MMC (bare sklera + Mitomycin-C). Kejadian tumbuh ulang 13% (3 dari 23) pasien yang dioperasi dengan BSE+MMC. Tidak ada kejadian tumbuh ulang pada pasien yang dioperasi dengan teknik CAU (Conjunctival Autograft) dan AMT (Amniotic Membrane Transplantation). 5

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IL
Usia : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jalan Manggis, Mertoyudan, Kab. Magelang
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Mata kanan terdapat selaput, terasa mengganjal
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli mata RSUD, dengan keluhan utama mata kanannya terdapat selaput dan terasa mengganjal. Keluhan dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Selaput yang mengganjal dirasakan semakin lama, semakin luas sehingga mengganggu penglihatan. Pasien juga mengeluhkan mata sering memerah dan pandangan menjadi kabur. Keluhan mata nyeri, silau, kelopak mata bengkak dan gatal disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat operasi : (+) kista ovarium
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat hipertensi : (+) 3 tahun, minum obat rutin Amlodipin 1x10mg
Riwayat diabetes melitus : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : ibu (+)
Riwayat diabetes melitus : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Aktivitas sehari-hari di rumah.
III. STATUS GENERALIS
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik
OD : Tampak selaput putih kemerahan dari angulus oculi medialis sampai ke limbus kornea
OS : Tenang 

IV. STATUS OFTALMOLOGIS
Pemeriksaan
Oculli dextra (OD)
Oculli sinistra (OS)
Visus jauh
6/18
6/12
Refraksi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Koreksi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Visus dekat
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Proyeksi sinar
Dapat membedakan arah sinar
Dapat membedakan arah sinar
Proyeksi warna
Dapat membedakan warna
Dapat membedakan warna

Pemeriksaan
OD
OS
1. Sekitar mata (supersilia)
Kedudukan alis baik, scar (-)
Kedudukan alis baik, scar (-)
2. Kelopak mata
A. Pasangan
N
N
B. Gerakan
N
N
C. Lebar rima
9 mm
9 mm
D. Kulit
N
N
E. Tepi kelopak
N
N
3. Apparatus Lakrimalis
A. Sekitar glandula lakrimalis
N
N
B. Sekitar saccus lakrimalis
N
N
C. Uji flurosensi
-
-
D. Uji regurgitasi
-
-
E. Tes Anel
-
-
4. Bola Mata
A. Pasangan
N
N
B. Gerakan
N
N
C. Ukuran
N
N
5. TIO
Palpasi: konsistensi kenyal
Palpasi: konsistensi kenyal
6. Konjungtiva
A. Palpebra superior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
B. Forniks
Tenang
Tenang
C. Palpebra inferior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
D. Bulbi
Jaringan fibrovaskular, putih kemerahan, berbentuk sayap, dari angulus oculi medialis melewati limbus kornea 2 mm
Hiperemis (-)
7. Sklera
Ikterik (-), perdarahan (-)
Ikterik (-), perdarahan (-)
8. Kornea
1. Ukuran
Ø 10 mm
Ø 10 mm
2. Kecembungan
N
N
3. Permukaan
N
N
4. Uji Flurosensi
-
-
5. Placido
-
-
9. Camera oculi anterior
A. Ukuran
N
N
B. Isi
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
10. Iris
A. Warna
Coklat
Coklat
B. Bentuk
Bulat
Bulat
11. Pupil
A. Ukuran
Ø 3 mm
Ø 3 mm
B. Bentuk
Bulat
Bulat
C. Tempat
Sentral
Sentral
D. Tepi
Reguler
Reguler
E. Reflek direct
+
+
F. Reflek indirect
+
+
12. Lensa
A. Ada/tidak
Ada
Ada
B. Kejernihan
Jernih
Jernih
C. Letak
Sentral, belakang iris
Sentral, belakang iris
13. Refleks Fundus
Normal
Normal
V. DIAGNOSIS KERJA
OD Pterigium grade II
VI. PENATALAKSANAAN
1. Eksisi pterigium dan graft kornea (26 Februari 2018)
2. Metampiron + Diazepam (Analsik) 2 x 1 kaplet
3. Gatifloxacin (Gaforin) eye drop 2x1 OD
4. Kloramfenikol + Hidrokortison (Cendo mycos) salep mata 2x1 OD
VII. EDUKASI
Lindungi mata dari paparan sinar matahari dengan menggunakan kacamata hitam dan hindari debu yang berlebihan.
VIII. FOLLOW UP
1. 3 Maret 2018 (4 hari post op) 

S: mata kanan terasa mengganjal, nyeri dan pegal
O: VOD: 4/22
VOS: 4/5
Status lokalis mata kanan: hiperemis, berair
A: OD Post eksisi pterigium grade II dan graft konjungtiva
P: Tobramycin + Dexamethasone (Tobroson) eye drop 3x1 OD
Ofloxacin (Floxa) eye drop 3x1 OD
Metampiron + Diazepam (Analsik) 1x1 kaplet (malam)
2. 10 Maret 2018 (11 hari post op) 

S: mata kanan masih terasa mengganjal
O: VOD: 4/7
VOS: 4/7
Status lokalis mata kanan: hiperemis berkurang
A: OD post eksisi pterigium grade II dan graft konjungtiva
P: Tobramycin + Dexamethasone (Tobroson) eye drop 4x1 OD
Sodium Chloride + Kalium Chloride (Cendo liteers) eye drop 3x1 ODS
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad kosmetikum : dubia ad bonam



DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47. 2009
3. Lima, F. & Manuputty, A.G. Hubungan Paparan Sinar Matahari dengan Angka Kejadian Pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013. Molucca Medika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 4, Nomor 2, Maret 2014, hlm, 101-109.
4. Miraprahesti, R. 2013. Karakteristik Tumbuh Ulang Pterigium Paska Eksisi di Pusat Mata Nasional, Rumah Sakit Cicendo Bandung Tahun 2010-2011. Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
5. Lubbad A, Giarmoukakis A, Skatharoudi C, Astyrakakis N, Siganos CS (2017) Long Term Results of Pterygium Excision Using Different Surgical Techniques: A Retrospective Study. J Clin Exp Ophthalmol 8: 629. doi:10.4172/2155-9570.1000629

No comments:

Post a Comment