I. IDENTITAS
• Oropharing
- Vertigo non vestibuler
D. GEJALA KLINIS
1. Anamnesis
Pada gambar di atas, input sensorik dari mata dihalangi. Hal ini dapat mengakibatkan miring atau jatuh pada pasien dengan kehilangan proprioseptif dari persendian atau gangguan vestibular perifer.
• Pemeriksaan Radiologi : Foto tulang tengkorak leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
• Pemeriksaan Neurofisiologi : elektroensefalografi (EEG), elektromiografi (EMG).
• Pemeriksaan Neuro-imaging : CT Scan kepala, MRI
G. PENATALAKSANAAN
Mark , A. 2008. Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine
a. Nama : An. A
b. Umur : 12 tahun
c. Jenis kelamin : laki-laki
d. Agama : Islam
II. ANAMNESIS
- Keluhan utama
Nyeri kepala
- Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan nyeri
kepala sejak 4 bulan yang lalu. batuk pilek (-), demam (-), gangguan
penglihatan (-), muntah (-). Pasien mengaku dulu pernah merasa mual,
telinganya berdenging dan kepalanya terasa pusing nggliyeng.
- Riwayat penyakit dahulu: tidak ditanyakan
- Riwayat penyakit keluarga: tidak ditanyakan
- Riwayat personal sosial: tidak ditanyakan
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : sedang, (pasien menggunakan kursi roda)
Kesadaran : compos mentis
Status gizi : baik
Tekanan darah : 110/80
Nadi : 82x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,6°C
Kepala : dbn
Leher : Limfonodi tidak membesar
Thoraks : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : akral hangat
IV. STATUS LOKALIS
- Telinga
Dextra | Sinistra | |
Auricula | Normotia | Normotia |
Pre-auricula | Fistel (-) | Fistel (-) |
Retro-auricula | Fistel (-) | Fistel (-) |
Kanalis Aud. Externus | Discharge (+) | Discharge (+) |
Memb. Timpani | Intak | Intak |
- Hidung dan sinus paranasal
Dextra | Sinistra | |
Disharge | Tidak ada | Tidak ada |
Konka | Dbn | Dbn |
Tumor | Tidak ada | Tidak ada |
Sinus paranasal | Dbn | Dbn |
Dextra | Sinistra | |
Palatum | - | - |
Uvula | - | - |
Tonsila palatine | T2 | T2 |
Tonsila lingualis | - | - |
Dinding belakang | - | - |
V. PEMERIKSAAN FISIK TERKAIT KELUHAN
1. Tes Romberg: ada pergerakan badan ke arah belakang
2. Past pointing test: dbn
3. Tandem gait: cenderung jatuh ke belakang
4. Fukuda stepping: arah kanan 20ยบ
5. Tes telunjuk-telunjuk: dbn
VI. DIAGNOSIS BANDING
- Vertigo vestibuler
- Vertigo non vestibuler
VII. EDUKASI
- Mendorong pasien untuk teratur melakukan aktivitas fisik
VIII. PROGNOSIS
- Prognosis umumnya baik
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan keseimbangan dinyatakan sebagai pusing, pening, rasa berputar,
rasa seperti melayang atau merasakan badan atau dunia sekelilingnya
berputar, istilah kedokteran yang mencakup semua perasaan tersebut
menandakan adanya gangguan keseimbangan yang dikenal sebagai vertigo.
A. DEFINISI
Vertigo berasal dari bahasa latin “vertere” yaitu memutar. Vertigo
ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi
(memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya
terasa berputar atau badan yang berputar. Vertigo adalah adanya sensasi
gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala
lain yang timbul, terutama dari jaringan otonomik yang disebabkan oteh
gangguan alat keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab perifer vestibular (berasal
dari sistem saraf perifer) dan sentral vestibular (berasal dari sistem
saraf pusat) dan kondisi lain. 93% pada primary care mengalami BPPV (Benign Paroksismal Position Vertigo), acute vestibular neuritis
atau meniere diseases.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT VESTIBULER
Telinga terdiri dari 3 bagian : telinga luar, tengah, dan telinga dalam.
Bagian telinga luar dan tengah mentransmisikan getaran suara yang ada di
udara ke telinga dalam sambil mengamplifikasi energi suara tersebut selama
prosesnya. Telinga dalam merupakan tempat dari 2 sistem sensorik yang
berbeda; cochlea yang memiliki reseptor untuk mengkonversi gelombang suara
menjadi impuls saraf, dan aparatus vestibular, yang penting dalam sensasi
keseimbangan.
Sistem vestibular terdiri dari 5 organ sensori yang berbeda: 3 kanalis
semi-sirkularis yang sensitif terhadap perubahan kecepatan angular (rotasi
kepala) dan dua otolit yang sensitif terhadap perubahan kecepatan linear
(seperti pergerakan kendaraan atau elevator).
Aparatus vestibular mendeteksi perubahan posisi dan pergerakan dari kepala.
Seperti cochlea, semua komponen dari aparatus vestibular memiliki endolymph
dan dikelilingi oleh perilymph. Selain itu, sama dengan organo corti,
setiap komponen vestibular memiliki sel rambut yang merespon deformasi
mekanikal yang dipicu oleh pergerakan tertentu dari endolymph.
Kanalis semi-sirkularis merupakan alat keseimbangan dinamik, mendeteksi
gerakan berputar atau akselerasi dan deselerasi angular dari kepala,
seperti ketika mulai atau berhenti berputar, jungkir balik, atau memutar
kepala, sehingga kemana saja arah gerakan kepala, asal gerakan itu
membentuk putaran, maka gerakan tersebut akan tertangkap oleh salah satu,
dua, atau oleh ketiga kanalis semi-sirkularis bersama-sama. Pada manusia,
kss horizontal fungsinya paling dominan dibandingkan dengan kanalis yang
lain. Hal ini sesuai dengan hidup manusia yang banyak bergerak horizontal.
Sel-sel rambut reseptor pada setiap kanalis semi-sirkularis terletak di
ampulla, bagian yang menebal di bagian bawah kanal. Sel-sel rambut tersebut
melekat pada cupula, yang menonjol ke arah endolymph. Kupula akan bergoyang
sesuai dengan gerakan cairan endolymph.
Organ-organ otolit, yang disebut utrikulus dan sakulus merupakan alat
keseimbangan statik. Alat ini terangsang oleh gerak percepatan atau
perlambatan yang lurus arahnya, dan juga oleh gravitasi. Utrikulus
mendeteksi : (1) perubahan posisi kepala yang menjauh dari medan vertikal
dan (2) akselerasi dan deselerasi linear horizontal. Sakulus mendeteksi :
(1) perubahan posisi kepala yang menjauh dari medan horizontal dan
(2)akselerasi dan deselerasi linear vertical.
C. KLASIFIKASI
Vertigo terbagi menjadi 2 yaitu vertigo vestibular dan vertigo
nonvestibular. Data menunjukkan dari 1003 sampel, 243 orang mengalami
vertigo vestibular, 742 orang mengalami vertigo nonvestibular, dan 18 orang
tidak dapat dibedakan antara vertigo vestibular dan vertigo nonvestibular.
Vertigo vestibular memiliki kriteria sebagai berikut: vertigo rotasi,
vertigo posisi atau pusing permanen dengan mual dan gangguan keseimbangan
lainnya. Vertigo rotasi diartikan sebagai perasaan dirinya berputar atau
objek yang berputar. Vertigo posisi diartikan sebagai perasaan pusing
karena perubahan posisi kepala seperti berbaring dan bangkit dari tidur
(Neuhauser et al., 2008).
Vertigo vestibular dibagi lagi menjadi vertigo vestibular perifer dan
vertigo vestibular sentral. Vertigo vestibular perifer lebih sering sekitar
65% dibandingkan vertigo vestibular sentral sekitar 7%. Vertigo vestibular
perifer yang paling sering yaitu benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) 32%, Meniere's disease
12% dan vertigo vestibular lainnya sekitar 15-20%. Sedangkan vertigo
vestibular sentral yang paling sering yaitu space-occupying lesions (SOL) pada fossa posterior sekitar 1%,
infark serebelum sekitar 1,9% {abstrak} (Sekine, 2005).
Jika fungsi keseimbangan terganggu, gejala yang paling sering dirasakan
pasien yaitu perasaan berputar terhadap sekitar, perasaan seperti hendak
terjatuh, pingsan, pandangan kabur, dan bingung. Gejala lainnya seperti:
penderita datang ke dokter untuk konsultasi medis karena sakitnya, izin
dari pekerjaan, mempengaruhi aktivitas sehari-hari, dan menghindari untuk
meninggalkan rumah karena gejala tersebut (Neuhauser et al.,
2008). Gejala subjektif: pusing, rasa kepala ringan, rasa terapung,
terayun, mual, tinitus/penurunan pendengaran/ telinga seperti tersumbat.
Gejala objektif: keringat dingin, pucat, muntah, sempoyongan waktu berdiri
atau berjalan, nistagmus. Gejala tersebut di atas dapat
diperhebat/diprovokasi perubahan posisi kepala.
E. PATOFISIOLOGI
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) yang
sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat
kesadaran). Sistem ini adalah susunan vetibuler atau keseimbangan yang
secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan.
Informasi aferen yang diperlukan yang lain adalah sistem optik dan
propioseptik. Informasi yang berguna untuk sistem keseimbangan tubuh akan
ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan propioseptik. Reseptor
vestibuler memberikan kontribusi paling besar yaitu 50% disusul kemudian
reseptor visual dan propioseptif.
Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di sentral dan di perifer dalam kondisi
tidak nomal atau ada gerakan rangsang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya akan muncul gejala vertigo
dan gejala otonom. Disamping itu, respon penyesuaian otot menjadi tidak
adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus,
unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gerakan lainnya.Berikut
ada beberapa teori yang menjelaskan tentang terjadinya vertigo :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan
hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya
akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan
proprioceptif, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang
berasal dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan
kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa
nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan
vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari sensasi
kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih
menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika
pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola 3
gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika
pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi
mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim
simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai
berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori
serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter
tertentu dalam pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya
gejala vertigo. Keseimbangan Sistim Simpatis dan Parasimpatis Keterangan :
STM (Sympathic Nervous System), PAR (Parasympathic Nervous System)
6. Teori Sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres
yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan
kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas
sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis.
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Langkah anamnesis yang dilakukan adalah menanyakan keluhan vertigo
pasien, berupa persaan seperti melayang, berputar dimana pasien merasa
benda disekitarnya berputar atau merasa dirinya berputar terhadap
lingkungan.
- Jika pasien mengeluh adanya gejala vertigo, kita harus bisa membedakan
vertigo berasal dari sentral atau dari perifer.
- Onset dan Durasi (profil waktu) serangan vertigo perlu ditanyakan untuk
keperluan penegakan diagnosis. Apabila onset serangan vertigo terjadi
secara tiba-tiba saat terjadinya perubahan posisi kepala dan durasi
serangan hanya selama beberapa detik maka dapat merujuk kepada diagnosis
BPPV. Apabila onset serangan episodik dan berlangsung selama beberapa menit
diagnosis yang mendekati yaitu migraine atau iskemia vertebro basilar.
- Perlu ditanyakan adanya keluhan lain yang menyertai vertigo seperti,
mual, muntah, nyeri kepala, tinitus, penurunan pendengaran dan lainnya
- Perlu juga ditanyakan mengenai obat-obatan yang sedang dikonsumsi.
Antibiotik golongan aminoglikosida bersifat ototoksik sehingga dapat memicu
serangan vertigo perifer.
- Tanyakan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung,
hipertensi, hipotensi, penyakit paru.
- Tanyakan mengenai adanya kelemahan anggota gerak yang menyertai.
2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Mengetes keseimbangan merupakan sebuah hal yang kompleks karena berbagai
variasi dari sistem sensorik yang terlibat dalam persepsi keseimbangan. Tes
dibagi menjadi 2 kelompok besar; tes yang mengaktivasi refleks
vestibulo-okular (contoh: electronystagmogram dan tes rotasi) dan
tes keseimbangan umum (posturografi).
A. Tes Kobrak
Posisi pasien tidur telentang, dengan kepala fleksi 30 O, atau
duduk dengan kepala ekstensi 60 O. Digunakan semprit 5 atau 10
ml, ujung jarum disambungkan dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan
mengalirkan air es (0 OC), sebanyak 5 ml, selama 20 detik. Nilai
dihitung dengan mengukur lama nistagmus, dihitung sejak mulai air dialirkan
sampai nistagmus berhenti. Nilai normal 120-150 detik. Nilai yang kurang
dari 120 detik mengindikasikan adanya parese kanal.
B. Tes Kalori Bitermal
Nistagmus yang dihasilkan dari tes kalori merupakan pergerakan konveksi
endolymph dalam kanalis semi-sirkularis horizontal. Mekanisme pergerakan
konveksi ini berdasar pada air hangat dan air dingin pada MAE, menyebabkan
perubahan suhu dari 1 sisi kanalis horizontal ke yang lainnya. Perubahan
suhu ini menyebabkan perbedaan densitas endolymph dalam kanal.
Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Dingin 30 O
C, panas 44 OC. Volume air yang dialirkan kedalam liang telinga
masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat
lama nistagmus yang timbul. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga
kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan
selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya).
Rumus : Sensitivitas L – R : (a+c) - (b+d) = <40 detik
Dalam rumus ini dihitung selisih waktu nistagmus kiri dan kanan. Bila
kurang dari 40 detik artinya kedua fungsi vestibuler dalam keadaan
seimbang. Jika lebih dari 40 detik, berati yang mempunyai waktu nistagmus
lebih kecil mengalami parese kanal.
Tabel 2 – Tes Kalori
Langkah
|
Telinga
|
Suhu air
|
Arah nistagmus
|
Waktu Nistagmus
|
|
Pertama
|
Kiri
|
30 OC
|
Kanan
|
Kanan
|
a…. detik
|
Kedua
|
Kanan
|
30 OC
|
Kiri
|
Kiri
|
b…. detik
|
Ketiga
|
Kiri
|
44 OC
|
Kiri
|
Kiri
|
c…. detik
|
Keempat
|
Kanan
|
44 OC
|
Kanan
|
Kanan
|
d…. detik
|
C. Electronystagmography (ENG)
ENG gunanya untuk memonitor gerakan bola mata. Prinsipnya sederhana saja,
yaitu bahwa kornea mata itu bermuatan positif. Muatan positif ini sifatnya
sama dengan muatan positif listrik atau magnet yang selalu mengimbas daerah
sekitarnya.
Dengan meletakkan elektroda pada kulit kantus lateral mata kanan dan kiri,
maka kekuatan muatan kornea kanan dan kiri bisa direkam. Rekaman muatan ini
disambungkan pada galvanometer. Bila muatan kornea kanan sama dengan kiri,
galvanometer akan menunjukkan angka nol (di tengah). Jadi kesimpulannya
jarum galvanometer akan bergerak sesuai dengan gerak bola mata. Dengan
demikian, nistagmus yang terjadi bisa dipantau dengan baik.
D. Videonystagmography / Videooculography
VNG atau disebut juga VOG belakangan menjadi cara yang dipilih untuk
merekam pergerakan mata selama tes vestibular. VOG memberikan keuntungan
dibandingkan dengan tes EOG konvensional karena pengukurannya akurat.
Komponen utama dari sistem VOG adalah sebuah kamera video infrared sensitif
yang terhubung dengan komputer untuk menentukan posisi mata.
E. Tes Nistagmus Spontan
Nylen memberikan kriteria dalam menentukan kuatnya nistagmus ini. Bila
nistagmus spontan ini hanya timbul ketika mata melirik searah dengan
nistagmusnya, maka kekuatan nistagmus itu sama dengan Nylen-1. Bila
nistagmus timbul sewaktu mata melihat ke depan, maka disebut Nylen 2, dan
bila nistagmus tetap ada meskipun mata melirik berlawanan arah dengan arah
nistagmus, maka kekuatannya disebut Nylen 3.
Bila terdapat nistagmus spontan, maka harus dilakukan tes hiperventilasi.
Caranya ialah pasien diminta mengambil nafas cepat dan dalam selama satu
menit, dan sejak mulai setengah menit terakhir direkam. Bila terdapat
perbedaan 7 derajat perdetik maka berarti tes hiperventilasi positif. Tes
valsava caranya adalah dengan menahan nafas selama 30 detik, dan sejak
mulai menahan nafas itu direkam, dan interpretasi sama dengan
hiperventilasi.
F. Tes Nistagmus Posisi
Teknik ini disebut juga perasat Dix-Hallpike. Tes ini dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). Caranya adalah, mula-mula pasien duduk, kemudian kepalanya
dimiringkan 45O ke salah satu sisi, dan dengan cepat dibaringkan
kedalam posisi supinasi sampai kepala menggantung di ujung meja periksa.
Pemeriksaan diulang pada sisi yang lain.
Pada setiap posisi nistagmus diperhatikan, terutama pada posisi akhir.
Nistagmus yang terjadi dicatat masa laten, dan intensitasnya. Juga
ditanyakan kekuatan vertigo secara subjektif. Tes posisi ini dilakukan
berkali-kali dan diperhatikan ada tidaknya kelelahan. Dengan tes posisi ini
dapat diketahui kelainan sentral atau perifer. Pada kelainan perifer akan
ditemukan masa laten dan terdapat kelelahan dan vertigo biasanya terasa
berat. Pada kelainan sentral sebaliknya, yaitu tidak ada masa laten, tidak
ada kelelahan, dan vertigo ringan saja.
Sebagai contoh, misalnya jika BPPV terjadi pada kanalis semi-sirkularis
posterior kiri, maka manuver ini akan menginduksi terjadinya nistagmus
seperti crescendo-descendo, yang menurut penderita seperti
berlawanan arah jarum jam ke telinga kiri dan dahi. Ketika pasien
dikembalikan ke posisi duduk, maka arah nistagmusnya akan berhenti.
Salah satu batasan dari manuver Dix-Hallpike adalah tidak dapat dilakukan
pada pasien dengan penyakit servikal yang membatasi ekstensi kepala atau
gangguan tulang belakang yang melarang perubahan posisi pasien yang cepat
menjadi posisi kepala menggantung. Pada pasien-pasien tersebut, manuver sidelying Bojrab-Calvert dapat dilakukan. Manuver ini memungkinkan
pemosisian kanalis semi-sirkularis posterior yang sama seperti manuver
Dix-Hallpike, tanpa kepala menggantung.
Manuver Bojrab-Calvert dimulai dengan pasien dalam posisi duduk, menghadap
pemeriksa. Kepala diputar 45O ke kanan sehingga pinna berada
dalam garis tegak lurus terhadap permukaan meja. Pemeriksa memegang kepala
pada posisi tersebut sambil pasien berbaring dengan bahunya dengan kepala
bersandar di meja periksa. Posisi ini ditahan selama kurang lebih 20 detik
sambil gerakan ata dieprhatikan. Kemudian pasien dikembalikan ke posisi
duduk. Dan diulang pada posisi yang berbeda. Sama dengan manuver
Dix-Hallpike, posisi telinga dimana nistagmus terjadi dianggap sebagai sisi
yang sakit.
G. Tes Rotasi
Ada 2 macam uji rotasi. Salah satunya dengan menempatkan subjek di atas
kursi yang diletakkan pada pusat aksis rotasi dari suatu motor torque. Bila
subjek duduk tegak dengan memiringkan kepala 30 O ke bawah, maka
kanalis horizontalis dapat dirangsang secara maksimum. Gerakan leher
dicegah sehingga rotasi akan menggerakkan tubuh dan kepala bersamaan.
Rotasi dapat dilakukan dalam 1 arah dengan percepatan konstan dalam waktu
singkat (mis., 18 detik) atau secara osilatorik (mis. Sinusiod). Untuk
percepatan konstan dilakukan pengukuran amplitudo dan lamanya respons,
sedangkan untuk ruang sinusoid diukur fase serta hasil yang didapat.
Tes diatas disebut juga sebagai Rotary Chair Test. Tes ini berguna
untuk membantu menentukan apakah gejala yang pasien alami karena gangguan
pada telinga dalam atau pada otak. Pergerakan mata direkam oleh elektroda
kecil yang mirip dengan yang digunakan pada tes ENG. Tes ini memungkinkan
pengukuran terhadap respon dari pergerakan kepala yang kecepatannya hampir
sama dengan kegiatan sehari-hari.
H. Posturografi
Karena keseimbangan merupakan kombinasi antara sensasi vestibular,
penglihatan, dan proprioseptif, telah dirancang beberapa jenis posturografi
untuk mengevaluasi fungsi keseimbangan secara umum. Yang paling sering
digunakan saat ini adalah Computerized Dynamic Posturography
.Pasien yang menjadi kandidat tes ini adalah pasien dengan gangguan
keseimbangan yang tidak diketahui penyebabnya, riwayat sering jatuh,
riwayat trauma kepala, atau pusing yang terus menerus walaupun tanpa adanya
kegiatan, juga yang suspek malignansi. Tes ini mengevaluasi
seberapa baiknya pasien dapat menggunakan sistem visual, vestibular, dan
sensorik selama keseimbangan.
Subjek berdiri diatas panggung yang mengukur gaya yang ditimbulkan
masing-masing kaki, dan posisi kepala serta panggul diukur. Pengujian
dilakukan dalam beberapa kondisi; penglihatan normal dengan subjek berdiri
diatas panggung terfiksasi, tanpa penglihatan (kegelapan total), tanpa
gerakan pergelangan kaki (panggung bergerak bersama subjek agar sudut
pergelangan kaki tetap konstan dan dengan demikian mencegah rangsangan
reseptor sendi dan otot), dan dengan konflik visual (lapangan pandangan
atau drum yang mengelilingi subjek bergerak bersama subjek sementara ia
bergoyang ke depan dan ke belakang). Subjek dengan gangguan fungsi
vestibularis mengalami kesukaran besar saat panggung dan lapangan pandang
keduanya bergerak bersama subjek. Pada kondisi ini terjadi konflik visual :
masukan penglihatan dan proprioseptif tidak menangkap gerakan apapun,
sementara kenyataannya tubuh bergerak ke depan dan ke belakang. Pada subjek
normal, sistem vestibularis memiliki suatu rujukan inersia untuk
menyelesaikan konflik ini dan postur tubuh dipertahankan. Namun hal ini
tidak dapat dilakukan subjek dengan cacat vestibuli.
I. Tes Kontrol Postural
Tes Kontrol Postural terdiri dari : (1) tes Romberg, (2) Pastpointing test,
(3) Tandem Gait test, dan (4) Fukuda Stepping test. Tes kontrol postural
memiliki sensitivitas dan spesifitas sedang dalam mengidentifikasi lesi.
Goyangan berlebih ke satu sisi pada tes Romberg, deviasi ke satu sisi pada
pastpointing test, atau rotasi ke salah satu sisi pada Fukuda stepping test
mengindikasikan adanya lesi parese pada labirin di sisi tesebut atau lesi
iritatif pada arah yang berlawanan
- Romberg Test
Selama tes Romberg, yang digunakan untuk mengetahui gangguan vestibuler,
pasien diminta untuk berdiri tegak dengan kaki rapat, mata terbuka kemudian
dengan mata tertutup (untuk mengeliminasi input visual). Normalnya, tidak
ada pergerakan badan atau jatuh ke salah satu sisi. Pada vestibulopati
perifer unilateral, pasien mengalami deviasi perlahan lahan ke arah lesi.
Tes Romberg dapat dibuat menjadi lebih sensitif dengan :
- Manuver Jendrassik : Pasien diminta menarik kedua tangan ke arah yang berlawanan dengan jari jari yang saling melekat, menghasilkan peningkatan relaksasi kuskular pada anggota tubuh bagian bawah.
- Tandem Romberg test : meminta pasien untuk berdiri dengan heel-to-toe position dan dengan tangan yang dilipat di depan dada. Tes ini sangat sulit dan hanya sedikit orang tua yang dapat melakukannya.
- Tes dorong : pasien dibuat kehilangan keseimbangan dengan dorongan anterior-posterior diikuti oleh dorongan lateral. Variasi tes ini sering digunakan jika pasien dicurigai pura-pura sakit.
- Pemeriksa dapat mengganggu konsentrasi pasien dengan cara menggambar angka pada lengan bawah pasien jika dicurigai kelainan psikologis atau pura-pura sakit.
Pada gambar di atas, input sensorik dari mata dihalangi. Hal ini dapat mengakibatkan miring atau jatuh pada pasien dengan kehilangan proprioseptif dari persendian atau gangguan vestibular perifer.
- Pastpointing Test
Pasien dan pemeriksa berdiri saling berhadapan; mereka kemudian
merentangkan tangan ke depan dengan jari telunjuk saling menyentuh satu
sama lain. Pasien diminta mengangkat tangannya dan menyentuhkan kembali
jari telunjuknya dengan jari telunjuk pemeriksa yang diam. Pasien melakukan
gerakan ini 3 kali dengan mata terbuka, kemudian diulangi dengan mata
tertutup. Deviasi ke satu sisi termasuk abnormal.
- Tandem Gait Test
Pasien diminta melakukan langkah tandem. Individu yg sehat dapat melakukan
10 langkah tanpa deviasi. Pasien dengan gangguan vestibular akan gagal
melakukan tes ini.
- Fukuda Stepping Test
Pasien diminta untuk jalan ditempat dengan mata tertutup. Setelah 50
langkah, jika ada rotasi > 30Oke 1 sisi disebut abnormal.
• Pemeriksaan Laboratorium : darah rutin, kimia darah, urin, dan
pemeriksaan lain sesuai indikasi.
• Pemeriksaan Radiologi : Foto tulang tengkorak leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
• Pemeriksaan Neurofisiologi : elektroensefalografi (EEG), elektromiografi (EMG).
• Pemeriksaan Neuro-imaging : CT Scan kepala, MRI
G. PENATALAKSANAAN
Karea penyebab Vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa
sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Kabanyakan kasus
terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
1. Terapi Kausal : Sesuai dengan penyebab terjadinya vertigo
2. Farmakoterapi simptomatis
Beberapa golongan yang sering digunakan :
a. Antihistamin. Tidak semua obat anti histamin mempunyai sifat anti
vertigo, anti histamin yang dapat meredakan vertigo seperti dimenhidrinat,
difenhidramin, mesksilin, siklisin. Antihistamin yang memiliki anti vertigo
juga memeiliki aktivitas anti kolinergik di susunan saraf pusat. Contoh
:Cinnarizine 3 x 25 mg/hr, Dimenhidrinat (Dramamine) 3 x 50 mg/hr.
b. Antagonis Kalsium. Dapat juga berkhasiat mengobati vertigo. Obat
antagonis kalsium cinnarizine dan flunarizine sering digunakan. Merupakan
obat supresan vestibular karena sel rambut vestibular mengandung terowongan
kalsium. Contoh : Flunarisin (Sibelium) 3x 5-10 mg/hr
c. Fenotiazine. (Bekerja pada kemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di
M. oblongata). Contoh Chlorpromazine (largaktil) : 3 x 25 mg/hr.
d. Histaminik (inhibisi neuron potisinaptik pada n. vestibularis
lateralis). Contoh Betahistine (Merislon) 3 x 8 mg.
e. Pengobatan simptomatik otonom (mis. muntah) : • Metoclopramide
(Primperan, Raclonid) 3 x 10 mg/hr
- Canalith Reposisi Treatment (CRP)/ Epley Manuever.CRP adalah
pengobatan non-invasif untuk penyebab paling umum dari vertigo. CRP
membimbing pasien melalui serangkaian posisi yang menyebabkan pergerakan
kanalith dari daerah dimana dapat menyebabkan gejala.
- Dietary Change (Pengaturan Pola Makan/Perubahan Pola makan) :
Mengurangi makanan seperti coklat, alkohol dan kafein. Pemakaian nikotin
juga perlu dihentikan. Kafein dan Nikotin juga merupakan stimulan vasoaktif
dan menyebabkan terjadinya vasokontriksi dan penurunan darah arteri kecil
yang memberi nutrisi saraf dari telinga tengah. Dengan menghindari kedua
zat-zat tersebut dapat mengurangi gejala.
- Lifestyle Change (Pengaturan Gaya Hidup) : Exercise,
menghindari pemicu faktor stress, mempebaiki pola tidur.
- Selama serangan akut dianjurkan untuk berbaring ditempat yang keras,
berusaha untuk tidak bergerak, pandangan mata di fiksasi pada satu objek
tidak bergerak. Setelah vertigo hilang pasien diminta untuk bangun secara
perlahan karena biasanya setelah serangan akan terjadi kelelahan.
H. PROGNOSIS
Pada kasus vertigo spesifik seperti BPPV Prognosis setelah dilakukan CRP (Canalith Repositioning Procedure) biasanya bagus. Remisi daat
terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun dalam beberapa kasus tidak
terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25%.
CRP/Epley manuver terbukti efektif dalam mengontrol gejala BPPV dalam waktu
lama. Pada beberapa kasus dapat terjadi remisi dan rekurensi yang tidak
dapat diprediksi dan rata-rata rekurensi ± 10-15% per tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Bashiruddin, J., & Hadjar, E. Gangguan Keseimbangan, dalam :
Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Balai Penerbit
FK UI. Jakarta. 2007. pp. 96-101.
Guyton & Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12.
Jakarta : EGC
Kovar
, M, Jepson, T, Jones, S. 2006. Diagnosing and Treating: Benign Paroxysmal Positional Vertigo in
Journal Gerontological of Nursing.
Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo ini Journal
American Family Physician. Volume 73, Number 2
Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo.
Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview
diakses tanggal 10 Agusrus 2015
Mark , A. 2008. Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine
Neuhauser, H., Lempert, T. 2009.
Epidemiology of Vertigo, migraine, and vestibular migraine in Journal
Neurology
2009:25:333-8
Randy, Swartz, Paxton,Longwel. 2013. Treatment of Vertigo Volume 7
No.6. America : American Family Physician.
Sherwood L. Human Physiology : From Cells to Systems, Seventh Edition.
Books/Cole Cengeage Learning. USA. 2010. Chapter 6. pp. 213, 215, 224-25,
227-28.
Turner
, B, Lewis, NE. 2010
. Symposium Neurology :Systematic Approach that Needed for establish of
Vetigo. pg
: 19-23.
Wuyts FL, et al. Vestibular Function Testing. Lippincott Williams & Wilkins. 2007. pp. 19-20.
Wuyts FL, et al. Vestibular Function Testing. Lippincott Williams & Wilkins. 2007. pp. 19-20.
No comments:
Post a Comment