Friday, November 30, 2018

Anak-PNEUMONIA BERAT DENGAN EFUSI PLEURA SINISTRA

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Y
Tanggal lahir : 21 Oktober 2015
Usia : 1 tahun 10 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama ibu : Ny. A
Usia : 28 tahun
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Guru SD
Nama ayah : Tn. T
Usia : 34 tahun
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Pirikan, Sedang
Tanggal MRS : Kamis, 24 Agustus 2017 (10.30)
II. ANAMNESIS
(Dilakukan alloanamnesis kepada ibu pasien di bangsal anak tanggal 26 Agustus 2017 pukul 15.30)
A. Keluhan Utama: batuk dan sesak nafas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Hari masuk rumah sakit (HMRS, 24-8-2017)
Pasien datang ke poli spesialis anak RSUD bersama ibu dengan keluhan batuk dan sesak nafas. Keluhan diawali dengan demam sejak hari Jumat tanggal 18 Agustus 2017, kemudian diberikan penurun panas, namun demam naik-turun. Hari Minggu (20 Agustus 2017) pasien diperiksakan ke dokter umum dan diberikan paracetamol, obat batuk serta antibiotik. Saat itu, dokter berpesan kepada ibu, jika sakit bertambah parah yang ditandai dengan sesak, pasien harus dibawa ke RS, namun jika tidak bertambah parah pasien harus kontrol lagi hari Kamis (24 Agustus 2017). Ibu pasien mengatakan keluhan pasien berkuang setelah minum obat dari dokter. Hari Kamis (24 Agustus 2017) tiba waktu kontrol, pasien tampak sesak. Ibu pasien membawa pasien ke tempat praktik dokter umum, namun tutup sehingga ibu pasien berinisiatif untuk membawa pasien ke RSUD.
Keluhan batuk disertai pilek dan dahak berwarna bening, muntah 1 kali setiap hari. pasien kurang nafsu makan, setiap kali makan muntah. BAB terakhir hari Jumat (18 Agustus 2017). BAK sedikit, terakhir pukul 06.00 WIB.
Pasien didiagnosis suspek pneumonia dan diberikan infus KAEN 3B 10 tpm makro, nebu ventolin 1 respule setiap 8 jam, lasal ekspektorant 3x1cth, injeksi taxegram 3x350mg IV, injeksi Gentamisin 1x35 mg IV, Injeksi Farmadol 4x100mg IV, cek darah rutin dan foto rontgen thorax.
2. Perawatan Hari ke Dua (25-8-2017)
Pasien demam, makan dan minum masih sulit, masih batuk dan sesak, pilek berkurang dan belum BAB. Hasil rontgen thorax: pulmo bercak dan kesuraman parahiler, sinus sinistra tumpul. Kesan: gambaran bronkopneumonia dengan efusi pleura sinistra. Terapi dilanjutkan.
3. Perawatan Hari ke Tiga (26-8-2017)
Demam naik-turun, batuk berkurang, sesak mulai berkurang, makan hanya 2 sendok, muntah 2 kali setiap minum obat, sudah BAB tadi pagi sedikit dan agak keras. Terapi dilanjutkan.
4. Perawatan Hari ke Empat (27-8-2017)
Demam masih naik-turun, makan masih sedikit, masih batuk dan pilek, BAB (+) kemarin pagi, BAK banyak, tidak ada mual dan muntah. Terapi masih dilanjutkan.
5. Perawatan Hari ke Lima (28-8-2017)
Demam masih naik-turun, batuk dan sesak. BAB (+) kemarin malam, agak keras, dua kali. Terapi ditambahkan oksigen 2 liter per menit.
6. Perawatan Hari ke Enam (29-8-2017)
Demam naik-turun, nafsu makan mulai meningkat, batuk (+), pilek berkurang. BAB kemarin dua kali, lendir (+) darah (-). Ditambahkan terapi nebu Ventolin + Fluoxetide setiap delapan jam, injeksi Dexamethason 3x3,5mg IV dan Cetirizine sirup 2x0,5cc.
7. Perawatan Hari ke Tujuh (30-8-2017)
Masih demam, batuk (+), pilek sudah tidak ada, namun masih sesak. Nafsu makan mulai meningkat. BAB kemarin empat kali, lendir (+), darah (-). Pagi harinya BAB encer satu kali, ampas (+). Terapi masih sama seperti hari sebelumnya.
8. Perawatan Hari ke Delapan (31-8-2017)
Demam sudah mulai turun. Makan sudah banyak (setengah porsi). Batuk berkurang, pilek tidak ada. BAB kemarin tiga kali, ampas (+), lendir (+). Besok direncanakan rontgen thorax untuk evaluasi.
9. Perawatan Hari ke Sembilan (1-9-2017)
Demam (-), makan dan minum sudah banyak. Batuk berkurang, belum BAB kemarin dan pagi hari ini. Dilakukan rontgen thorax evaluasi, dilaporan hasil kepada dokter DPJP, diberikan advice boleh pulang. Kontrol hari Rabu, 6 September 2017 dan diberikan obat pulang Azitromicyn syrup 1x1 cth dan Triamcinolon 3x2 mg pulv.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah sakit batuk dan muntah ketika usia 5 bulan, namun tidak separah sakit sekarang.
Riwayat mondok:
1. Usia 9 bulan: muntah 7 kali per hari, dehidrasi, dirawat inap 4 hari di Puskesmas G
2. Usia 1,5 tahun: BAB cair 4 kali, dehidrasi, dirawat inap 5 hari di Puskesmas G
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat pengobatan lama/TB : disangkal
Riwayat alergi : Ibu (+) alergi dingin
Riwayat hipertensi : (+) kakek dari ibu dan nenek dari ayah
E. Silsilah
 
F. Riwayat Pribadi
1. Riwayat Kehamilan
Ibu usia 24 tahun, kehamilan pertama, direncanakan. Selama kehamilan, ibu pasien mengaku kontrol rutin di bidan setiap bulan sejak usia kehamilan 6 minggu. Selama perawatan kehamilan, tekanan darah ibu normal berkisar antara 100-120/70-80, tidak ada kaki bengkak, tidak perdarahan melalui jalan lahir, tidak keputihan, kencing tidak nyeri, minum obat tambah darah dan vitamin setiap hari sejak kontrol pertama kali ke bidan. Selama hamil nafsu makan ibu baik, ibu makan 3 kali sehari dengan satu porsi nasi dengan lauk daging atau telur, tahu, tempe dengan sayur dan minum susu. Kenaikan berat badan selama hamil yaitu 9 kg, berat badan sebelum hamil 55 kg dan menjelang melahirkan 64 kg. Tinggi badan ibu 167 cm, lingkar lengan atas 24 cm. Hb ibu pada minggu ke 10: 12,2g/dl dan Hb pada minggu ke-27: 10,89g/dl. Ketika hamil, ibu mengaku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas yaitu jatuh dari motor sebanyak 3 kali. Ibu langsung memeriksakan ke dokter spesialis kandungan untuk USG janin dan kondisi janin sehat. HPL tanggal 17 Oktober 2015.
2. Riwayat Persalinan
Bayi lahir pada usia kehamilan 40 minggu, ditolong bidan di Rumah Bidan S, Karangmalang, Candisari, Secang, secara spontan. Bayi lahir langsung menangis dan mendapatkan inisiasi menyusu dini. Air ketuban jernih. Bayi lahir pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 06.30. Berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 49 cm, lingkar kepala 32 cm dan jenis kelamin laki-laki.
3. Riwayat Pasca Persalinan
Ibu dan bayi selamat, bayi menangis kuat, nafas spontan, warna kemerahan, tidak sianosis, tidak ada retraksi. BAK dan BAB <24 jam setelah kelahiran. Gerak aktif (+).
G. Riwayat Makanan
ASI mulai 0 hari sampai sekarang. Susu formula mulai 6 bulan sampai sekarang. Bubur halus mulai 8 bulan sampai 12 bulan. Buah dan sayur mulai 10 bulan sampai sekarang. Pasien mulai diberikan makanan seperti anggota keluarga lain sejak usia 1 tahun.
H. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
1. Pertumbuhan
Berat badan lahir cukup sesuai masa kehamilan. Ibu selalu menimbang anak di Posyandu dan tercatat di dalam buku KIA. Berat badan anak selalu dalam kurva hijau.
Berat badan :10 kg
Tinggi badan : 85 cm
Usia : 1 tahun 10 bulan 

BB/U : -2<Z<0 

TB/U : -2<Z<0 

BB/TB : -2<Z<-1
BB/U
-2<Z<0
Normal
TB/U
-2<Z<0
Normal
BB/TB
-2<Z<-1
Normal
2. Perkembangan
a. Aspek personal sosial, pasien sudah dapat makan menggunakan sendok/garpu, dan menggosok gigi dengan bantuan.
b. Aspek adaptif dan motorik halus, pasien sudah dapat mencoret-coret sejak usia 1,5 tahun.
c. Aspek bahasa, pasien sudah berbicara dengan jelas dan dimengerti orang lain.
d. Aspek motorik kasar, pasien bisa berdiri sendiri sejak 9 bulan, berjalan dengan baik usia 12 bulan. Sekarang pasien sudah bisa berjalan naik tangga dan melompat.
I. Riwayat Imunisasi
 
J. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan
1. Sosial
Hubungan antar anggota keluarga baik. Hubungan antara keluarga pasien dengan tetangga baik. Kakek pasien dan orang yang sering mengasuh pasien adalah seorang perokok.
2. Ekonomi
Ibu pasien bekerja sebagai guru SD dengan penghasilan sekitar Rp200.000,00 per bulan. Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan tidak tetap. Jika ada proyek bisa mendapatkan sekitar Rp1.000.000,00. Penghasilan dirasa cukup untuk menghidupi satu keluarga terdiri atas 3 orang.
3. Lingkungan
Keluarga pasien tinggal di rumah sendiri peninggalan orangtua ayah pasien, berukuran 10x10 meter, terdiri atas 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang makan, 1 ruang keluarga, 1 garasi yang menyatu dengan tempat menjemur pakaian, 1 dapur, 1 kamar mandi, 1 ruang sholat. Bangunan permanen, berdinding tembok (namun di beberapa tempat terlihat lembab, tidak terawat), lantai semen, atap dari genteng ada langit-langit. Rumah terletak di kawasan padat penduduk, langsung berbatasan dengan rumah tetangga, terletak di tepi jalan besar beraspal, di wilayah pegunungan. Ventilasi dan pencahayaan ruangan kurang, jendela yang bisa berfungsi maksimal hanya di ruang tamu dan kamar tidur utama. Kebersihan dan kerapihan rumah kurang, hanya ruang tamu yang tertata rapi, ruang keluarga, kamar tidur, dapur dan kamar mandi terlihat berantakan dan tidak bersih.
K. Anamnesis sistem
1. Sistem serebrospinal : demam (+), kejang (-), penurunan kesadaran (-).
2. Sistem kardiovaskular: palpitasi (-), takikardi (-).
3. Sistem pernapasan: napas cuping hidung (-), retraksi (+), sesak nafas (+), batuk (+), pilek (+), mimisan (-).
4. Sistem gastrointestinal: kembung (-), mual (+), muntah (+), BAB jarang (+), nafsu makan menurun (+).
5. Sistem muskuloskeletal: tonus otot kuat, gerakan bebas, kekuatan gerak normal, sensibilitas normal, tidak ada deformitas.
6. Sistem urogenital : BAK (+) jarang.
7. Sistem integumen : pucat (-), sianosis (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan pada tanggal 26 Agustus 2017)
A. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan umum: Pasien tampak sakit sedang, sesak nafas
2. Vital sign
Suhu : 38,1 °C
Nadi : 120x/menit, teratur, isi dan tegangan cukup pada keempat ekstremitas
Nafas : 45x/menit, tipe abdominal, teratur, SaO2 98%
3. Status gizi
Berat badan : 10 kilogram
Tinggi badan : 85 cm
IMT : 13,84kg/m2
B. Pemeriksaan Khusus
1. Leher : tidak terdapat pembesaran limfonodi, JVP tidak meningkat, pembesaran kelenjar tiroid (-).
2. Dada :
a. Paru
1) Inspeksi : simetris, ada ketinggalan gerak paru kiri, retraksi (+) interkosta & substernal
2) Palpasi : ada ketinggalan gerak paru kiri, vokal fremitus paru kiri melemah
3) Perkusi : redup pada paru kiri, sonor pada paru kanan
4) Auskultasi : SDV +/↓, ronkhi +/+, wheezing -/-
b. Jantung
1) Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
2) Palpasi : iktus cordis teraba kuat di ruang intercostal IV
3) Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
4) Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
3. Abdomen
a. Inspeksi : permukaan dinding perut datar, tidak ada luka, ataupun scar.
b. Auskultasi: Bising usus (+) normal
c. Palpasi : dinding perut supel, turgor baik, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
d. Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
4. Anogenital
Anus : terdapat muara anus
Genital : jenis kelamin laki-laki, testis kanan-kiri teraba
5. Ekstremitas
Akral teraba hangat, perfusi jaringan baik, sianosis (-), petechiae (-)
Superior
Inferior
Deformitas
-/-
-/-
Akral hangat
+/+
+/+
Akral sianosis
-/-
-/-
CRT
<2”
<2”
6. Kepala
a. Bentuk : mesocephal, rambut tidak mudah dicabut, warna hitam, ubun-ubun tertutup
b. Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak terdapat discharge, refleks cahaya (+/+)
c. Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (+/+).
d. Telinga : ukuran normal, discharge (-/-)
e. Mulut : Sianosis (-), labioschizis (-), palatoschizis (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Darah rutin (24 Agustus 2017)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Keterangan
Hemoglobin
10,9
13-18 g/dl
L
Leukosit
26,1
4-11 x 10^3/ul
H
Eritrosit
4,9
4,5-6,5 x 10^6/ul
Hematokrit
32,2
40-54%
L
Trombosit
377
150-450 x 10^3/ul
Eosinofil
0
1-6%
L
Basofil
0
0-1%
Netrofil Segmen
68
40-75%
Limfosit
17
20-45%
L
Monosit
15
2-10%
H
RDW-CV
15,9
11,7-14,4%
H
RDW-SD
37,3
36,4-46,3fL
P-LCR
28,5
9,3-27,9%
H
MCV
66,3
76-92fL
L
MCH
22,4
24-30,0pg
L
MCHC
33,9
30-35g/dL
B. Pemeriksaan Rontgen Thorax
1. 24 Agustus 2017 (12:57)
Cor: bentuk dan ukuran dbn
Pulmo: bercak kesuraman parahiler
Sinus sinistra tumpul
Kesan: Gambaran bronkopneumonia dengan efusi pleura sinistra
2. 1 September 2017 (11: 04) 

Bronkopneumonia
Masih tampak effusi pleura sinistra
Konfigurasi cor normal.
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkopneumonia
2. TB paru
3. ISPA
VI. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis utama : Bronkopneumonia berat
2. Diagnosis penyerta : Efusi pleura sinistra
3. Diagnosis gizi : gizi normal
4. Diagnosis imunisasi : imunisasi dasar lengkap, sesuai jadwal
5. Dignosis perkembangan: sesuai usia
VII. PLANNING
1. Medikamentosa di bangsal:
a. Infus KAEN 3B 10 tpm makro
b. Nebu Ventolin + Fluoxetide per 8 jam
c. Lasal expektorant 3xcth 1
d. Injeksi Taxegram 3x350 mg IV
e. Injeksi Gentamisin 1x35 mg IV
f. Injeksi Farmadol 4x100mg IV
g. Injeksi Dexamethasone 3x3,5mg IV
h. O2 2 liter per menit
i. Cetirizine 2x0,5cc
2. Medikamentosa pulang:
a. Azitromicyn sirup 1x1 cth
b. Triamcinolon 3x2 mg pulv
3. Non medikamentosa
a. Cek darah rutin
b. Rontgen thorax
c. Minum obat teratur
d. Kontrol post opname
4. Monitoring
a. Pemantauan keadaan umum
b. Pemantauan tanda-tanda vital
c. Pemantauan nutrisi dan cairan
5. Edukasi
a. Keluarga dan pengasuh untuk tidak merokok di sekitar pasien
b. Tanda-tanda bahaya
c. Kebersihan rumah dan lingkungan terutama ventilasi dan pencahayaan rumah
VIII. FOLLOW UP
24 Agustus 2017 (DPH 1)
25 Agustus 2017 (DPH 2)
Demam naik-turun 1 minggu, batuk-pilek 2 minggu, dahak (+) putih, sesak nafas sejak kemarin. Muntah 1x/hari. nafsu makan menurun. BAB terakhir seminggu yang lalu.
Demam (+) Makan dan minum masih sulit. Batuk (+) Sesak (+) Pilek (↓) BAB (-)
KU: tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis.
Suhu: 38,5°C
Nadi: 120x/menit
RR: 50x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
KU: tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis.
Suhu: 38,1°C
Nadi: 120x/menit
RR: 45x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
Suspek pneumonia
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin 1 respule/8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV
Farmadol 4x100mg IV
Cek DR dan rontgen thorax
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin 1 respule/8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H2)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H2)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
26 Agustus 2017 (DPH 3)
27 Agustus 2017 (DPH 4)
Demam (↑↓) Batuk (↓) Sesak (↓) Makan hanya 2 sendok. Kemarin muntah 2x (setiap minum obat). BAB (+) tadi pagi, sedikit, agak keras.
Demam (↑↓) Makan masih sedikit. Batuk (+) Pilek (+) BAB (+) kemarin pagi. BAK (+) banyak. Mual (-) muntah (-)
KU: sedang, compos mentis.
Suhu: 36,5°C
Nadi: 120x/menit
RR: 45x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
KU: sedang, compos mentis.
Suhu: 36,9°C
Nadi: 118x/menit
RR: 42x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin 1 respule/8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H3)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H3)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin 1 respule/8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H4)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H4)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
28 Agustus 2017 (DPH 5)
29 Agustus 2017 (DPH 6)
Demam (↑↓) Batuk (+) Sesak (+) BAB (+) kemarin malam, agak keras 2x. Tidak kembung.
Demam (↑↓) Nafsu makan mulai meningkat. Batuk (+) Pilek ↓ BAB kemarin 2x, lendir (+)
KU: sedang, compos mentis.
Suhu: 37,5°C
Nadi: 120x/menit
RR: 45x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
KU: sedang, compos mentis.
Suhu: 38,2°C
Nadi: 114x/menit
RR: 47x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin 1 respule/8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H5)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H5)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
O2 2 liter per menit
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin + Fluoxetide per 8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H6)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H6)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
O2 2 liter per menit
Inj. Dexamethasone 3x3,5 mg IV
Cetirizine 2x0,5cc
30 Agustus 2017 (DPH 7)
31 Agustus 2017 (DPH 8)
Demam (+) Batuk (+) Pilek (-) Sesak (+) Nafsu makan meningkat. BAB kemarin4x, lendir (+) darah (-). Tadi pagi BAB 1x: encer, ampas (+)
Demam (↓) Makan sudah banyak (habis setengah porsi) Batuk (↓) Pilek (-) BAB 3x kemarin: ampas (+), lendir (+)
KU: sedang, compos mentis.
Suhu: 36,7°C
Nadi: 114x/menit
RR: 40x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
KU: sedang, compos mentis.
Suhu: 36,6°C
Nadi: 110x/menit
RR: 39x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+)↓ wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin + Fluoxetide per 8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H7)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H7)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
O2 2 liter per menit
Inj. Dexamethasone 3x3,5 mg IV (H2)
Cetirizine 2x0,5cc
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin + Fluoxetide per 8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H8)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H8)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
O2 2 liter per menit
Inj. Dexamethasone 3x3,5 mg IV (H3)
Cetirizine 2x0,5cc
Besok rontgen thorax evaluasi
1 September 2017 (DPH 9)
Demam (-) Makan dan minum sudah banyak. Batuk (↓) BAB (-) kemarin dan hari ini
KU: sedang, compos mentis.
Suhu: 36,7°C
Nadi: 112x/menit
RR: 40x/menit
Thorax: retraksi (+/+) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (+/+)↓ wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Infus KAEN 3B 10tpm makro
Nebu Ventolin + Fluoxetide per 8 jam
Lasal expectorant 3xcth1
Injeksi Taxegram 3x350mg IV (H9)
Injeksi Gentamisin 1x35mg IV (H9)
Injeksi Farmadol 4x100mg IV
O2 2 liter per menit
Inj. Dexamethasone 3x3,5 mg IV (H4)
Cetirizine 2x0,5cc
Rontgen thorax evaluasi
Lapor DPJP foto rontgen thorax
Advice: BLPL, kontrol hari Rabu, 6 September 2017. Obat pulang Azitromicyn syr 1x1 cth dan Triamcinolon 3x2 mg pulv
11 September 2017 (Home visite)
Ibu pasien mengatakan post mondok, pasien sempat demam (39,5°C) pada hari Sabtu malam (2/9/2017), namun bisa mereda setelah dikompres air hangat. Nafsu makan pasien sudah membaik, BAB setiap hari. Pasien masih sering rewel, masih agak lemas. Tidak pilek, masih sering batuk ketika malam hari dan ketika tidur lebih nyaman miring ke sisi kiri.
KU: baik, compos mentis.
Suhu: 36,5°C
Nadi: 110x/menit
RR: 35x/menit
Thorax: retraksi (↓/↓) ketinggalan gerak (-/+)
SDV (+/↓), ronkhi (↓/↓) wheezing (-/-) S1>S2, reguler, bising (-)
Abdomen: datar, BU (+) normal, supel,
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik
Bronkopneumonia
Efusi pleura sinistra
Kontrol lagi jika ada keluhan atau keluhan bertambah parah
Minum obat teratur:
  • Azitromycin syr 1x1/2 cth
  • Cetirizine syr 2x1/2 cth
  • Lasal ekspektoran syr 3x1/2cth
  • Triamcinolon 3x2mg pulv
Edukasi masalah kebersihan lingkungan rumah pasien
TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.
2. Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit system respiratori, terutama pneumonia.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita dinegara berkembang.
3. Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputiStreptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan olehStreptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus(RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel.
Tabel 1.Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju
Usia
Etiologi yang sering
Etiologi yang jarang
Lahir - 20 hari
Bakteri
Bakteri
E.colli
Bakteri anaerob
Streptococcus grup B
Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3 bulan
Bakteri
Bakteri
Clamydia trachomatis
Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus influenza tipe B
Virus
Moraxella catharalis
Adenovirus
Staphylococcus aureus
Influenza
Virus
Parainfluenza 1,2,3
CMV
4 bulan – 5 tahun
Bakteri
Bakteri
Clamydia pneumonia
Haemophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumoniae
Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus
Virus
Neisseria meningitides
Adenovirus
Virus
Rinovirus
Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun – remaja
Bakteri
Bakteri
Clamydia pneumonia
Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae
Legionella sp
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza
Tabel 2 Etiologi Pneumonia dilihat dari penyakit penyerta
Gejala / penyakit penyerta
Kemungkinan etiologi
Abses kulit / ekstra pulmoner
Otitis media, sinusitis, meningitis
Epiglotitis, perkarditis
S. aureus, S. group A
S. pneumoniae, H. influenzae
H. influenzae
4. Klasifikasi
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Asal infeksi
1) Community-acquired pneumonia (CAP)
Infeksi parenkim paru yang didapatkan individu yang tidak sedang dalam perawatan di rumah sakit paling sedikit 14 hari sebelum timbulnya gejala.
2) Hospital-acquired pneumonia (HAP)
Infeksi parenkim paru yang didapatkan selama perawatan di rumah sakit yang terjadi setelah 48 jam perawatan (Depkes : 72 jam) atau karena perawatan di rumah sakit sebelumnya, dan bukan dalam stadium inkubasi.
b. Lokasi lesi di paru
1) Bronkopneumonia
2) Pneumonia lobaris
3) Pneumonia interstitialis
c. Etiologi
1) Infeksi
Berdasarkan mikroorganisme penyebab :
a) Pneumonia bakteri
b) Pneumonia virus
c) Pneumonia jamur
d) Pneumonia mikoplasma
2) Non infeksi
Aspirasi makanan/asam lambung/benda asing/hidrokarbon/substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas, drug- dan radiation-induced pneumonitis.
d. Karakteristik penyakit
1) Pneumonia Tipikal
2) Pneumonia Atipikal (mis. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis )
e. Derajat keparahan penyakit
Untuk mengklasifikasikan beratnya pneumonia perlu diperhatikan adanya tanda bahaya (danger signs), yaitu : takipnea dan tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (retraksi epigastrik).
Berdasarkan kedua tanda ini, maka klasifikasi beratnya pneumonia pada anak bawah lima tahun (balita) ditentukan berdasarkan usia, sebagai berikut :
Klasifikasi
Anak usia < 2 bulan
Anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia sangat berat
  • Hipo/hipernatremi
  • Kesadaran turun
  • Kurang mau minum
  • Kejang
  • Wheezing
  • Stridor
  • Kesadaran turun
  • Tidak mau minum
  • Kejang
  • Stridor
  • Sianosis sentral
  • Gizi buruk
Pneumonia berat
  • Tarikan dinding dada dalam yang tampak jelas
  • Takipnea
  • Tarikan dinding dada dalam
  • Dapat minum
  • Sianosis (-)
Pneumonia
  • Takipnue
  • Tarikan dinding dada dalam (-)
Bukan pneumonia
Tarikan dinding dada dalam (-), takipnea (-)
5. Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
a. Inhalasi langsung dari udara
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
d. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :
a. Susunan anatomis rongga hidung.
b. Jaringan limfoid di nasofaring.
c. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
d. Refleks batuk.
e. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
f. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
g. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
h. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.

Gambar 1 Patofisiologi Pneumonia
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
6. Gejala Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang relative lebih sering, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
a. Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
7. Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Berdasarkan lokasi lesi di paru :
Bronkopneumonia
Interstitial
Pneumonia lobaris
- Lobularis
- Ronki selalu terdengar
- Dullness (-)
- Interstitial
- Pendataran diafragma dan hiperinflasi
- Ronki ±, wheezing +
- Dullness (-)
- Segmental/lobus
- Konsolidasi
- Ronki (+) saat kongestif dan resolusi
- Dullness (+) di lobus yang terkena
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.
b. Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

Gambar 3 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
1) Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi
2) Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
3) Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
c. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.
d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
9. Diagnosis
Dari anamnesa didapatkan gejala non respiratorik dan gejala respiratorik. Dasar diagnosis tergantung umur, beratnya penyakit dan jenis organisme penyebab. Pada bayi/anak kecil (balita) pemeriksaan auskultasi sering tidak jelas, maka nafas cepat dan retraksi/tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dipakai sebagai parameter. Kriteria nafas cepat, yaitu :
a. Umur < 2 bl : ≥ 60x/menit
b. 2 bl-< 12 bl : ≥ 50x/menit
c. 12 bl-5 th : ≥ 40x/menit
d. ≥ 5 tahun : ≥ 30x/menit
Klasifikasi
Nafas cepat
retraksi
< 2 bl Pneumonia berat
+
+
Bukan Pneumonia
-
-
2 bl-5 th Pneumonia berat
+
+
Pneumonia
+
-
Bukan Pneumonia
-
-
Dapat juga dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5 gejala/tanda berikut:
a. Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. Panas badan
c. Ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia atau suara pernafasan bronkial (pada daerah yang dengan perkusi bernada pekak) pada pneumonia lobaris
d. Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercak-bercak (bronko) difus merata (lober) pada satu atau beberapa lobus
e. Leukositosis Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil dominan.
Kadar leukosit berdasarkan umur:
a. Anak umur 1 bulan : 5000 – 19500
b. Anak umur 1-3 tahun : 6000 – 17500
c. Anak umur 4-7 tahun : 5500 – 15500
d. Anak umur 8-13 tahun : 4500 - 13500
Pedoman diagnose dan tatalaksana yang lebih sederhana menurut WHO. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumoni dibedakan berdasarkan :
a. Bronkopneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
b. Bronkopneumonia berat :
Bila di jumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan d beri antibiotic.
10. Diagnosis banding
Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan bernafas
Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan
Bronkiolitis
- episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada respon dengan bronkodilator
Tuberculosis (TB)
- riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
- uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam (≥ 2 minggu) tanpa sebaba yang jelas
- batuk kronis (≥ 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
Asma
- riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator
11. Penatalaksanaan
Sebelum memberikan obat ditentukan dahulu : Berat ringannya penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya dan respons terhadap pengobatan tersebut, adanya penyakit yang mendasarinya.
Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama) :
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
1) ampicillin + aminoglikosid (gentamisin)
2) amoksisillin-asam klavulanat
3) amoksisillin + aminoglikosid
4) sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
1) beta laktam amoksisillin
2) amoksisillin-amoksisillin klavulanat
3) golongan sefalosporin
4) kotrimoksazol
5) makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
1) amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
2) tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba ( trial and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam à ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)
Penderita imunodefisiensi atau ditemukan penyakit lain yang mendasari → ampisilin + aminoglikosida (gentamisin), Hipersensitif dengan penisilin/ampisilin : Eritromisin, sefalosporin (5-16% ada reaksi silang) atau linkomisin/klindamisin
Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap respons klinis dalam 24-72 jam pengobatan antibiotik awal Kalau penyakit menunjukkan perbaikan → antibiotik diteruskan sampai dengan 3 hari klinis baik (Pneumokokus biasanya cukup 5-7 hari, bayi < 2 bl biasanya 10-14 hari) Kalau penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 72 jam → antibiotik awal dihentikan dan diganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat (sebelumnya perlu diyakinkan dulu tidak adanya penyulit seperti empiema, abses, dll, yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).
Antibiotik pengganti bergantung pada kuman penyebab
a. Pneumokokus : 3-16% sudah resisten dengan penisilin Diganti dengan sefuroksim, sefotaksim, linkomisin atau vankomisin
b. H. influenzae : Diganti dengan sefuroksim, sefazolin, sefotaksim, eritromisin, linkomisin atau klindamisin
c. S. aureus : Diganti dengan kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin, sefazolin, klindamisin atau linkomisin
d. Batang Gram (-) : Aminoglikosida (gentamisin, amikasin, dll)
e. Mikoplasma : Eritomisin, tetrasiklin (untuk anak > 8 th)
Simtomatik (untuk panas badan dan batuk) Sebaiknya tidak diberikan terutama pada 72 jam pertama, karena dapat mengacaukan interpretasi reaksi terhadap antibiotik awal
Suportif O2 lembab 40% melalui kateter hidung diberikan sampai sesak nafas hilang (analisis gas sampai dengan PaO2 ≥ 60 Torr)
Cairan, nutrisi dan kalori yang memadai : Melalui oral, intragastrik, atau infus. Jenis cairan infus disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit. Bila elektrolit normal berikan larutan 1:4 (1 bagian NaCl fisiologis + 3 bagian dekstrosa 5%), Asidosis (pH < 7,30) diatasi dengan bikarbonat i.v. Dosis awal : 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg) → mEq, Dosis selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan pH dan kelebihan basa (base excess ) 4-6 jam setelah dosis awal. Apabila pH dan kelebihan basa tidak dapat diperiksa, berikan bikarbonat i.v. = 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg) sebagai dosis awal, dosis selanjutnya tergantung gambaran klinis 6 jam setelah dosis awal
Tabel 3. Dosis Harian Antibiotik untuk Pneumonia
OBAT
CARA PEMBERIAN
DOSIS
FREK. (jam)
INDIKASI
Gol. PENISILIN
Ampisilin
Amoksisilin
Tikarsilin
i.v., i.m.
p.o.
p.o.
i.v., i.m.
100-200
40-160
25-100
300-600
4-6
6
8
4-6
Pneumonia berat disebabkan Gram (+), Gram (-) ; Bakteri anaerob
Fibrosis kistik (kombinasi dengan aminoglikosida)
Azlosilin
Neonatus <7 hr
Neonatus >7 hr
i.v.
300-600
50-150
200
4
12
4-8
Sama dengan tikarsilin
Mezlosilin
Neonatus >2.000 g
Neonatus <2.000 g
i.v.
300
75
75
4
6-12
8-12
Sama dengan tikarsilin
Piperasilin
i.v.
300
4
Sama dengan tikarsilin
Oksasilin
i.v.
150
4-6
Pneumonia, abses paru, empiema, trakeitis yang disebabkan oleh S. aureus
Kloksasilin
i.v.
50-100
4-6
Dikloksasilin
i.v.
25-80
4-6
GOL. SEFALOSPORIN
Sefalotin
i.v.
75-150
6
Pneumonia oleh S. aureus
(bila alergi penisilin)
Sefuroksim
i.v.
100-150
6-8
Terapi awal infeksi oleh
Sefotaksim
Seftriakson
i.v.
i.v., i.m.
50-200
50-100
6
12-24
patogen Gram (-) :
K. pneumoniae, E. coli
Seftazidim
i.v.
100-150
8
Diduga Pseudomonas aeruginosa
GOL. AMINOGLIKOSIDA
Gentamisin
i.v., i.m.
5
8
Terapi inisial untuk Pneumonia dan abses paru karena bakteri Gram (-)
Tobramisin
i.v., i.m.
8-10
8
Amikasin
i.v., i.m.
15-20
6-8
Patogen Gram (-) resisten dengan gentamisin dan tobramisin
Netilmisin
i.v.
4-6
12
Gram (-) yang resisten terhadap gentamisin
GOL. MAKROLID
Eritromisin
p.o.
i.v. (infus lambat)
30-50
40-70
6
6
M. pneumoniae, B. pertussis, C. diphtheriae, C. trachomatis, Legionella pneumophila
Roksitromisin
p.o.
5-8
12
KLINDAMISIN
i.v.
p.o.
15-40
10-30
6
6
S. aureus , Streptokokus, Pneumokokus yang alergi penisilin dan efalosporin Abses paru karena bakteri anaerob
KLORAMFENIKOL
i.v.
75-100
6
Epiglotitis, abses paru, pneumonia
Indikasi rawat
Pada bay i:
Pada anak :
a. saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis
b. frekuensi napas > 60 x/menit
c. distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting
d. tidak mau minum / menetek
e. keluarga tidak bisa merawat dirumah
a. saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis
b. frekuensi napas ≥ 50 x/menit
c. distress pernapasan
d. grunting
e. terdapat tanda dehidrasi
f. keluarga tidak bisa merawat dirumah
Kriteria pulang:
a. Gejala dan tanda pneumonia menghilang
b. Asupan peroral adekuat
c. Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
d. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
e. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah
12. Komplikasi
a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
b. Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
d. Infeksi sitemik
1) Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
2) Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
13. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
14. Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.
a. Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
b. Vaksinasi H.Influenzae
Diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan
c. Vaksinasi varisela
Yang di anjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
d. Vaksinasi influenza
Diberiikan pada umur > 6 bulan setiap tahun. Untuk imunisasi primer anak 6 bulan - < 9 tahun di berikan 2 kali dengan interval minimal 4 minggu.
EFUSI PLEURA
1. Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau merupakan suatu keadaan terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis, sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.
Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Adapun jenis-jenis cairan yang terdapat pada rongga pleura antara lain :
a. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan hidrotorak).
b. Hemotoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebab lainnya hemotoraks adalah:
1) Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
2) Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
3) Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.
c. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah satu komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
1) Pneumonia
2) Infeksi pada cedera di dada
3) Pembedahan dada
d. Chylotoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain 4 :
1) Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
2) Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
3) Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum, granuloma mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis). Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga penyakit trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan duktus torasikus dan menyebabkan kilotoraks.
2. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Paru
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya
a. Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm. Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh limfe Menempel kuat pada jaringan paru Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan pleura.
b. Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura.

Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleuranya
Fisiologi
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.

Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura.
Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral pleural parietalis. Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas.
3. Epidemiologi
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.
4. Etiologi dan Klasifikasi
Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau emboli paru.
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat.
Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
1) Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2) Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3) Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4) Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
1) Gagal jantung kiri (terbanyak)
2) Sindrom nefrotik
3) Obstruksi vena cava superior
4) Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk melalui saluran getah bening)
b. Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudatif yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudatif tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
1) Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
2) Tumor pada pleura
3) Iinfark paru,
4) Karsinoma bronkogenik
5) Radiasi,
6) Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).
5. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura.
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
Penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
a. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura
b. Tekanan intra pleura yang sangat rendah
c. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura
d. Hipoproteinemia
e. Obstruksi dari saluran limfe pada pleura parietalis.
6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
a. Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit. Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung selain melebar dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Bila tidak ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan oleh keganasan
Manifestasi klinis pada efusi pleura cenderung disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Pada beberapa kasus penderita umumnya asimptomatis atau memberikan gejala demam ringan ,dan berat badan yang menurun seperti pada efusi yang lain.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan radiologi (Rontgen thorak)
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam mendiagnosis efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas bila jumlah cairan di atras 300 ml. Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas kemungkinan adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak perselubungan masif dengan pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi yang sehat.


Gambar Efusi pleura sinistra. Sudut costophrenicus yang tumpul karena efusi pleura
1) Posisi lateral 
Bila cairan kurang dari 250ml (100-200ml), dapat ditemukan pengisian cairan di sudut costofrenikus posterior pada foto thorak lateral tegak. Pada penelitian mengenai model roentgen patologi Collins menunjukkan bahwa sedikitnya 25ml dari cairan pleura (cairan saline yang disuntikkan) pada radiogram dada lateral tegak lurus dapat dideteksi sebagai akumulasi cairan subpulmonic di posterior sulcus costophrenic, tetapi hanya dengan adanya pneumoperitoneum yang terjadi sebelumnya.
2) Posisi Lateral Decubitus
Radiografi dada lateral decubitus digunakan selama bertahun-tahun untuk mendiagnosis efusi pleura yang sedikit. Cairan yang kurang dari 100ml (50-100ml), dapat diperlihatkan dengan posisi lateral dekubitus dan arah sinar horizontal dimana caran akan berkumpul disisi samping bawah. 


 
Gambar Efusi pleura pada posisi right lateral decubitus (penumpukan cairan)


Gambar Efusi pleura pada posisi left lateral decubitus
Computed Tomography Scan
CT scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya. Pada CT scan, efusi pleura bebas diperlihatkan sebagai daerah berbentuk bulan sabit di bagian yang tergantung dari hemithorax yang terkena. Permukaan efusi pleura memiliki gambaran cekung ke atas karena tendensi recoil dari paru-paru. Karena kebanyakan CT pemeriksaan dilakukan dalam posisi terlentang, cairan mulai menumpuk di posterior sulkus kostofrenikus. Pada efusi pleura yang banyak, cairan meluas ke aspek apikal dan anterior dada dan kadang-kadang ke fisura tersebut. Dalam posisi tengkurap atau lateral, cairan bergeser ke aspek yang tergantung dari rongga pleura. Pergeseran ini menegaskan sifat bebas dari efusi tersebut.
Ultrasonografi
Penampilan khas dari efusi pleura merupakan lapisan anechoic antara pleura visceral dan pleura parietal. Bentuk efusi dapat bervariasi dengan respirasi dan posisi. Para peneliti memperkenalkan metode pemeriksaan USG dengan apa yang disebut sebagai “elbow position”. Pemeriksaan ini dimulai dengan pasien diletakkan pada posisi lateral decubitus selama 5 menit (serupa dengan radiografi dada posisi lateral decubitus) kemudian pemeriksaan USG dilakukan dengan pasien bertumpu pada siku. Maneuver ini memungkinkan kita untuk mendeteksi efusi subpulmonal yang sedikit, karena cairan cenderung akan terakumulasi dalam pleura diaphragmatic pada posisi tegak lurus.

Gambar Posisi siku dengan meletakkan transduser selama pemeriksaan untuk melihat keadaan rongga pleura kanan.
Ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya cairan ronggapleura. Pada dekade terakhir ultrasonografi (USG) dari rongga pleura menjadi metode utama untuk mendemonstrasikan adanya efusi pleura yang sedikit. Kriteria USG untuk menentukan efusi pleura adalah: setidaknya zona anechogenic memiliki ketebalan 3mm diantara pleura parietal dan visceral dan atau perubahan ketebalan lapisan cairan antara ekspirasi dan inspirasi, dan juga perbedaan letak posisi pasien. Karena USG adalah metode utama maka sangatlah penting untuk melakukan pengukuran sonografi dengan pemeriksaan tegak lurus terhadap dinding dada.
Magnetic Resonance Imaging ( MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi efusi pleura. Nodularity dan/atau penyimpangan dari kontur pleura, penebalan pleura melingkar, keterlibatan pleura mediastinal, dan infiltrasi dari dinding dada dan/atau diafragma sugestif penyebab ganas kedua pada CT scan dan MRI.
2) Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Analisa cairan pleura
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan. Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma, infark paru, keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema.
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 

Di. samping pemeriksaan tersebut di atas. secara biokimia diperiksakan juga pada cairan pleura :
- kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, artitis reumatoid dan neoplasma
- kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis adenokarsinoma.
c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah : Pneumokok, E. coli, Kleibsiella, Pseudomonas, Entero-bacter. Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%.
3) Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada kasus-kasus neoplasma, korpus alineum dalam paru, abses paru dan lain-lain
4) Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)
Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau tuberculosis pleura. Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding dada (dengan resiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan dengan memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bias melihat kedua pleura.
7. Penatalaksaan
Penatalaksanaan efusi pleura ditujukan pada pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan (torasentesis).Penatalaksanaan efusi pleura harus segera dilakukan terapi paliatif setelah diagnosis dapat ditegakkan.Tujuan utama penatalaksanaan segera ini adalah untuk mengatasi keluhan akibat volume cairan yang meningkat dan meningkatkan kulitas hidup penderita. Pemasangan water sealed drainage (WSD) adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan sesak.
Indikasi untuk melakukan torasentesis adalah:
a. Menghilangkan sesak napas yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan rongga pleura.
b. Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.
c. Bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura jangan lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah banyak dapat menimbulkan sembab paru yang ditandai dengan batuk dan sesak. Kerugian:
a. Tindakan torasentesis menyebabkan kehilangan protein yang berada di dalam cairan pleura.
b. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura (empiema)
c. Dapat terjadi pneumotoraks
Penatalaksanaan efusi pleura transudat
Cairan biasanya tidak begitu banyak.Terapinya :
a. Bila disebabkan oleh tekanan hidrostatis yang meningkat, pemberian diuretika dapat menolong.
b. Bila disebabkan oleh tekanan koloid osmotik yang menurun sebaiknya diberi protein.
c. Bahan sklerosing dapat dipertimbangkan bila ada reakumulasi cairan berulang dengan tujuan melekatkan pleura viseralis dan parietalis.
Penatalaksanaan pleura eksudat
Efusi parapneumonik
Efusi pleura yang terjadi setelah peradangan paru (pneumonia).
a. Paling sering disebabkan oleh pneumonia
b. Umumnya cairan dapat diresorbsi setelah pemberian terapi yang adekuat untuk penyakit dasarnya.
c. Bila terjadi empiema, perlu pemasangan kateter toraks dengan WSD
d. Bila terjadi fibrosis, tindakan yang paling mungkin hanya dekortikasi (yaitu jaringan fibrotik yang menempel pada pleura diambil/ dikupas)
Penatalaksanaan efusi pleura maligna
a. Pengobatan ditujukan pada penyebab utama atau pada penyakit primer dengan cara radiasi atau kemoterapi.
b. Bila efusi terus berulang, dilakukan pemasangan kateter toraks dengan WSD.
Pleurodesis
a. Dilakukan pada efusi pleura maligna yang tidak dapat dikontrol atau pada efusi yang terus menerus terjadi setelah dilakukan torasintesis berulang.
b. Obat-obatan yang dipakai untuk pleurodesis antara lain tetrasiklin HCl (derivat-derivatnya yang bereaksi dengan asam misalnya : teramisin HCl doksisiklin HCl), bleomisin, fluoro-urasil dan talk, larutan glukosa 40%. Bleomisin dan fluoro urasil dapat dipakai pada efusi pleura maligna.
Kilotoraks
Cairan pleura berupa kilus yang terjadi karena kebocoran akibat penyumbatan saluran limfe duktus torasikus di rongga dada.
Tindakan yang dilakukan bersifat konservatif:
a. Torasintesis 2-3x. Bila tidak berhasil, dipasang kateter toraks dengan WSD.
b. Tindakan yang paling baik ialah melakukan operasi reparasi terhadap duktus torasikus yang robek.
8. Komplikasi
a. Infeksi.
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan infeksi (empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah tindakan torasentesis {empiema sekunader). Empiema primer dan sekunder harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk mencegah reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih gambaran klinik. Pilihan antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui.
b. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dpat mengurangi ventilasi dengan membatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi sumber infeksi kronis, menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-reseksi pleura lewat pembedahan-mungkin diperlukan untuk membasmi infeksi dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik dilakukan dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena selama jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan baik (fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah.
9. Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien yang tidak memedapatkan pengobatan dini.
Efusi ganas memiliki prognosis yang sangat buruk, dengan kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Efusi dari kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara, lebih mungkin untuk dihubungkan dengan berkepanjangan kelangsungan hidup, dibandingkan dengan mereka dari kanker paru-paru atau mesothelioma. Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya dapat di sembuhkan tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonik yang tidak terobati atau tidak tepat dalam pengobatannya dapat menyebabkan fibrosis konstriktif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung.
2. Halim H. Penyakit -penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid III, edisi ke-5 . 2009. Jakarta: Interna Publishing.
3. Hegar, badriul. 2010. Pedoman pelayanan medis. Jakarta : IDAI.
4. Mandell Al, Wunderink RG, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SE, etc. Infectious diseases society of America/American thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults . Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72(Mandel, et al., 2007)
5. Nelson. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial, Edisi Keenam.Jakarta: EGC.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2011.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
7. Said M. Pneumonia. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, editor. Buku ajar respirologi anak. Edisi I. Jakarta: IDAI;2011.p. 310-33. (Said, 2011)
8. Thabrani Rab, Prof. Dr. H. “Penyakit Pleura”. Edisi Pertama. Trans Info Media : Jakarta. 2010.

No comments:

Post a Comment