Friday, November 30, 2018

Radiologi-KARDIOMEGALI DENGAN EDEMA PULMONUM DAN EFUSI PLEURA

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.A
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 69 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Candi Sidomulyo RT 4, RW 5, Secang, Kabupaten Magelang
Tanggal masuk : 22 Desember 2016
B. KASUS
Seorang perempuan usia 44 tahun datang ke instalasi bagian radiologi RSUD untuk melakukan pemeriksaan rontgen thorax. Pasien merupakan pasien rawat inap bangsal penyakit dalam di RSUD. Dokter menulis klinis pasien: efusi pleura post pungsi. Pasien telah melakukan pemeriksaan rontgen thorax sebelumnya dengan kesan cardiomegali dengan edema pulmonum dan effusi pleura dextra.
C. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas dan perut bengkak.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD dengan keluhan sesak napas sejak 2 minggu yang lalu, disertai perut dan ekstremitas bengkak. Pasien pernah memeriksakan ke Puskesmas, membaik namun keluhan muncul lagi. Mual (-), muntah (-), pusing (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu yang sama disangkal.
Riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-), hepatitis (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
5. Riwayat Psikososial
Merokok (-), tidak olahraga teratur.
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Lemah
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital Sign
a. TD : 120/70 mmHg
b. Nadi : 93 kali/menit
c. RR : 20 kali/menit
d. Suhu : 36.6ºC
e. VAS : 5
4. Kepala: Mesocephal, tidak teraba benjolan, distribusi rambut putih, merata dan mudah dicabut.
5. Mata
a. Kelopak mata : Edema (-)
b. Konjungtiva : Anemis (-/-)
c. Sklera : Ikterus (-)
d. Kornea : Jernih
e. Pupil : Bulat, isokor
6. Leher : Pembesaran tonsil (-), kaku kuduk (-), massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-)
7. Thorax
a. Inspeksi : Ketertinggalan gerak (-)
b. Palpasi : Kembang paru (i/+), vokal fremitus menurun
c. Perkusi : Redup mulai SIC 6
d. Auskultasi : Egofoni (+)
8. Jantung
a. Inspeksi : Ictus kordis tampak
b. Palpasi : Ictus kordis teraba
c. Perkusi : Redup (+)
d. Batas jantung: Membesar
e. Auskultasi : Gallop S3
9. Abdomen:
a. Inspeksi : Edema (+)
b. Auskultasi : Bunyi peristaltik (-)
c. Palpasi : NT (-), supel, undulasi (+)
d. Perkusi : Redup (+)
10. Ekstremitas:
a. Edema ekstremitas ()
b. Pitting edema (+)
c. Fraktur (-)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Patologi Klinik
a. Darah Rutin
1) Hemoglobin : 11,5g/dl
2) Leukosit : 5,7*103/uL
3) Eritrosit : 4*106/uL
4) Hematokrit : 36,8% (L)
5) Trombosit : 189*103/uL
b. Gula darah sewaktu: 111mg/dL
c. Elektrolit
Natrium : 147mEq/L (H)
Kalium : 3,74mEq/L
Chlorida : 103mmol/L
d. Faal Ginjal
Ureum : 80,0mg/dL (H)
Kreatinin : 0,74mg/dL
e. Faal Hati
Protein total : 6,40mg/dL (L)
Albumin : 2,20g/dL (L) tanggal 22 Desember 2016
2,72g/dL (L) tanggal 29 Desember 2016
Globulin : 4,20mg/dL (H)
SGOT : 19,0U/L
SGPT : 11,0U/L
f. Analisis Urin tanggal 24 Desember 2016
1) Warna : Kuning
2) Kekeruhan : Keruh
3) Keasaman : 5,0 (L)
4) Protein urin : +1 (H)
5) Leukosit urin : 500/uL (H)
6) Blood urin : 250/uL (H)
7) Bakteri urin : ++++ (H)
g. Lemak tanggal 24 Desember 2016
1) Kolesterol : 99mg/dL
2) Trigliserida : 80mg/dL
3) HDL Kolesterol : 32mg/dL (L)
4) LDL Kolesterol : 40mg/dL
2. Rontgen Thorax (23 Desember 2016)

a. Foto thorax posisi AP
b. Kondisi film baik
c. Film meliputi seluruh cavum thoraks mulai dari puncak cavum thoraks sampai sinus phrenicocostalis kanan kiri.
d. Sistem tulang : tulang-tulang yang tervisualisasi intak
e. Cor : membesar (CTR>0,5)
f. Pulmo : kesuraman parahiler
g. Sinus dextra tumpul.
Kesan : Kardiomegali dengan edema pumonum. Effusi pleura dextra.
3. Rontgen Thorax (30 Desember 2016) post pungsi pleura
Kesan: Dibanding foto lama: effusi pleura dextra berkurang
F. ASSESSMENT
1. Edema anasarka: CHF
2. Efusi pleura dextra
3. Hipoalbumin
4. GNA (ISK)
G. PENATALAKSANAAN

1. Oksigenasi
2. Infus D5%
3. Omeprazole
4. Spironolacton 1X1
5. KSR 3X1
6. Farsix
7. Vip albumin 3X1
8. Ceftriaxon 1X1
9. Pungsi pleura.

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Kardiomegali adalah pembesaran abnormal jantung. Pada foto thorax PA didapatkan lebar maksimum bayangan jantung lebih besar dari 50% dari lebar internal maksimal thorax. Penyebab kardiomegali adalah dilatasi dan hipertrofi otot jantung. Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru akibat peningkatan tekanan intravaskular. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru,melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan nonkardiogenik. Akumulasi berlebih cairan pleura hingga 300 mL disebut sebagai efusi pleura, terjadi akibat pembentukan cairan pleura melebihi kemampuan eliminasi cairan pleura. Kardiomegali, edema paru dan efusi pleura termasuk dalam kriteria penegakan diagnosis gagal jantung kongestif.
B. PATOGENESIS
Mekanisme yang mendasari pembentukan cairan transudat efusi pleura pada pasien gagal jantung kongestif telah diketahui. Pada keadaan normal ada sejumlah kecil cairan dalam ruang pleura yang berasal dari cabang sirkulasi sistemik yang mendarahi pleura parietal. Protein kecil, berasal dari kapiler atau pembuluh darah kecil, menembus membran pleura parietal menuju ruang pleura, biasanya tidak ada cairan yang berasal dari paru dan masuk ke rongga pleura melalui pleura viseral. Sebaliknya, sebagian cairan dalam rongga pleura dibuang melalui pleura viseral. Jalan penting lain, khususnya untuk partikel, sel, protein, dan kelebihan cairan (bila terjadi) adalah saluran limfe, dari kavum pleura melewati stomata (lubang kecil yang hanya terdapat pada pleura parietal.
Cairan yang terkumpul dalam rongga pleura pasien gagal jantung kongestif berasal dari paru, dan pembentukannya dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik dan onkotik yang berakibat terjadi filtrasi menembus kapiler pada sirkulasi paru. Saat tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat, tekanan hidrostatik kapiler pulmonal juga meningkat sehingga filtrasi cairan dalam paru ikut meningkat. Efusi pleura yang terjadi merupakan akhir dari evolusi yang didasari penyakit jantung (setelah onset gagal jantung kongestif). Penelitian pada pasien gagal jantung kongestif yang dirawat, rerata tekanan baji arteri pulmonal sebesar 24 + 1 mmHg pada 19 pasien didapatkan efusi pleura (dengan sonografi) dibandingkan dengan 17 + 2 mmHg pada 18 pasien tanpa efusi pleura (p < 0,01).
Beberapa faktor melindungi paru agar tidak terjadi edema paru dengan cara pertukaran gas. Namun bila mekanisme tidak mampu, cairan mulai terkumpul, awalnya pada ruang interstisial peribronkovaskuler besar dan pada tahap akhir di alveoli. Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan, selama edema paru memburuk, cairan dalam paru mulai keluar dari paru menembus rongga pleura. Berdasarkan eksperimen pada paru yang secara progresif dibuat edema, tampaknya perlu waktu untuk terjadi kebocoran paru, berarti rongga interstisial peribronkovaskuler paling tidak sebagiah penuh dulu dengan cairan sebelum cairan tersebut merembes dari rongga interstisial subpleura menuju kavum pleura.
Efusi pleura kardiogenik merupakan edema paru yang bocor ke rongga pleura, merupakan mekanisme paru untuk membersihkan dirinya dari akumulasi cairan. Dengan kata lain, perpindahan cairan ke dalam rongga pleura akan mencegah berkumpulnya cairan ke dalam alveoli sehingga pertukaran gas tetap terjadi.
Protein dalam sampel cairan pleura pasien gagal ginjal kongestif kadarnya rendah, namun tidak serendah pada cairan pleura normal. Pengukuran pada binatang percobaan, kadar protein pada cairan edema paru, cairan rongga pleura dan cairan limfe daerah paru ternyata identik. Hasil tersebut menguatkan keyakinan bahwa efusi pleura pada pasien gagal jantung kongestif terjadi karena perpindahan cairan dari paru (yang mengalami edema paru) menuju rongga pleura.

Manisfestasi Gagal Jantung
Adanya hipoalbuminemia seperti sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta edeme anasarka juga akan mengakibatkan efusi pleura. Efusi terjadi rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
C. MANIFESTASI KLINIK
1. Keluhan
a. Sesak pada saat beraktifitas (dyspneu d’effort)
b. Gangguan napas pada perubahan posisi (ortopneu)
c. Sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu)
Keluhan tambahan: lemas, mual, muntah dan gangguan mental pada orangtua
2. Pemeriksaan Fisik:

a. Peningkatan tekanan vena jugular
b. Frekuensi pernapasan meningkat
c. Frekuensi nadi dan regularitasnya
d. Tekanan darah
e. Kardiomegali
f. Gangguan bunyi jantung (gallop)
g. Ronkhi pada pemeriksaan paru
h. Hepatomegali
i. Asites
j. Edema perifer

3. Pemeriksaan penunjang esential
a. Rontgen thoraks (kardiomegali, gambaran edema paru/alveolar edema/ butterfly appearance)
b. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan gelombang T, dan gambaran abnormal lainnya.
4. Penegakan Diagnosis
Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan apabila diperoleh paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor.

a. Kriteria Mayor
1) Dispnea/orthopnea Nocturnal Parkosismal
2) Distensi vena leher
3) Ronki
4) Kardiomegali
5) Edema pulmonary akut
6) Gallop-S3
7) Peningkatan tekanan vena (>16 cmH2O)
8) Waktu sirkulasi > 25 detik
9) Refluks hepatojugularis
b. Kriteria Minor
1) Edema pretibial
2) Batuk malam
3) Dispnea saat aktivitas
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari maksimal
7) Takikardia (>120 kali/menit)
c. Kriteria Mayor atau Minor
Penurunan berat badan > 4.5 Kg dalam 5 hari

5. Klasifikasi
New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung Kongestif berdasarkan tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik:
a. Kelas I: Tidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik tidak menyebabkan sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.
b. Kelas II: Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas fisik mulai merasakan sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi
c. Kelas III: Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa nyaman saat istirahat namun ketika melakukan aktivitas fisik yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi.
d. Kelas IV: Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala bisa muncul dan jika melakukan aktivitas fisik maka gejala akan meningkat.
D. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.
Tabel 1. Abnormalitas Foto Toraks yang Umum Ditemukan pada Gagal Jantung
Abnormalitas
Penyebab
Implikasi klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atria, efusi perikard Ekokardiograf, doppler
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati, hipertrofi Ekokardiografi, doppler
Tampak paru normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Mendukung diagnosis gagal jantung kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri Mendukung diagnosis gagal jantung kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan tekanan pengisian jika efusi bilateral
Infeksi paru, pasca bedah/keganasan
Pikirkan etologi nonkardiak (jika efusi banyak)
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis/gagal jantung kronik
Area paru hiperlusen Emboli paru atau emfsema Pemeriksaan CT, spirometri, ekokardiografi
Infeksi paru Pneumonia sekunder akibat kongesti paru Tatalaksana kedua penyakit: gagal jantung dan infeksi paru
Infltrat paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostik lanjutan
1. Kardiomegali
Pada foto dada PA standar, ukuran jantung dapat dihitung melalui rasio kardiotorasik. Secara umum, rasio yang melebihi 50% antara ukuran jantung dengan diameter internal maksimal dada mengindikasikan adanya pembesaran jantung. Pengukuran ini hanya merupakan perkiraan dan berguna pada pengukuran serial. Ekokardiografi lebih akurat dalam menilai ruang jantung tertentu dan ukuran jantung.mPembesaran ruang jantung tertentu sulit untuk diidentifikasi melalui film polos dada, walaupun film polos dada dapat menunjukkan hal-hal berikut:
a. Atrium kiri: satu-satunya ruang jantung yang dapat didiagnosis jika terjadi pembesaran; kelainan ini dapat terlihat sebagai kontur ganda pada tepi kanan jantung, membuat karina menjadi miring dengan terjadi perpindahan bronkus utama kiri ke arah atas atau penonjolan ruang jantung ke posterior pada sinar-X dada lateral.
b. Atrium kanan: tepi kanan jantung yang terlihat jelas.
c. Ventrikel kanan: pergeseran ke atas dari apeks jantung dengan pembesaran tepi jantung ke bagian anterior pada proyeksi lateral
d. Ventrikel kiri: meningkatnya kecembungan pada tepi kiri jantung dan apeks jantung tampak tenggelam.

Ukuran jantung pada kardiomegali diukur dengan membandingkan diameter jantung (a+b) dengan diameter internal maksimal dada
2. Edema pulmo
Edema pulmo dibagi menjadi dua, yaitu
a) Edema pulmonal interstisial: pada awalnya, merupakan penonjolan pembuluh darah pada lobus atas dan penyempitan pembuluh darah pada lobus bawah. Seiring meningkatnya tekanan vena, terjadi edema interstisial dan cairan kemudian berkumpul di daerah interlobular dengan garis septal di bagian perifer (garis Kerley ‘B’)

Gagal jantung kongestif dengan edema pulmonal interstisial
b) Edema pulmonal alveolus. Dengan semakin meningkatnya tekanan vena, cairan melewati rongga alveolus (bayangan alveolus) dengan kekaburan dan gambaran berkabut pada regio perihilar; pada kasus yang berat, terjadi edema pulmonal di seluruh kedua lapangan paru. Sepertiga bagian luar paru dapat terpisah, edema sentral bilateral digambarkan sebagai ‘ bat’s wing’ (sayap kelelawar).

Edema pulmonal alveolar; cairang berakumulasi dominan pada regio perihilar; efusi pleura kiri
a. Foto Polos Thorax
Secara radiologi edema paru dapat dibagi atas:
1) Edema paru interstisial pada dekompensasi jantung kiri atau kelainan katup mitral
2) Proses intra-alveolaris yang banyak berhubungan dengan kegagalan jantung akut atau uremia
3) Baik bentuk interstisial maupun bentuk intra-alveolaris dapat terjadi bersamaan
4) Bentuk milier banyak dihubungkan dengan infeksi akut
Gambaran radiologi yang terjadi dibagi atas:
1) Garis Kerley A
Garis panjang yang menyebar dari hilus ke perifer. Penyebabnya belum diketahui apakah disebabkan oleh edema interlobaris dimana terdapat cairan akibat bendungan pembuluh limfe. Garis Kerley A yang panjangnya beberapa sentimeter terdapat pada edema paru interstisial.
2) Garis Kerley B
Berbeda dengan Kerley A, garis ini berasal dari perifer paru, multipel, dan berjalan sejajar. Garis ini berkumpul di septa interlobaris kemudian mengalami penebalan, dimana mungkin disebabkan oleh proses fibrosis, berkumpulnya cairan, atau berkumpulnya debris. Pigmen Kerley B berkumpul di bagian anterolateral dari lobus medialis
3) Garis Kerley C
Berbentuk seperti sarang laba-laba yang disebabkan oleh dilatasi dari pembuluh limfe paru. Jaringan ikat yang terletak di sentral paru akan bertumpuk dan menebal sehingga memberikan gambaran Kerley C ini.
4) Kabut Perihilus
Hilangnya kejelasan batas hilus diakibatkan oleh karena cairan atau pembengkakan kelenjer
5) Edema subpleura
6) Tampak sebagai penebalan fisura interlobaris
a) Pertama-tama timbul dalam bentuk bayangan kupu-kupu ( butterfly shadow) dengan batas yang tidak jelas pada hilus
b) Pada bentuk konsolidasi, seperti pneumonia atau infark paru. Berbeda dengan infiltrat atau pneumonia, reaksinya cepat menghilang atau berubah dengan pemberian diuretik
Edema paru interstisial maupun intraalveolaris adalah bentuk radiologi yang klasik dari edema paru. Perbedaan dari keduanya adalah edema paru interstisial selalu terjadi lebih dahulu sebelum edema paru intra alveolaris terjadi dan edema paru interstisial lebih lambat hilangnya dibanding yang intraalveolaris. Edema paru intra alveolaris mudah hilang berasarkan gravitasi tubuh dan pengobatannya adalah dengan diuretik. Pada edema paru interstisial terdapat garis Kerley A dimana sering akut akibat kenaikan tekanan vena yang mendadak tinggi. Walaupun secara teoritis edema paru interstisial dan intraalveolaris dapat dibedakan, namun pada serangan akut dari kegagalan ventrikel kiri kedua bentuk ini sulit untuk dibedakan.
Beberapa tanda yang dapat digunakan sebagai penyebab terjadinya edema paru antara lain adalah pelebaran dari vena di lobus superior yang tidak tampak dalam keadaan normal, tampak dua pembuluh vena yang lebarnya beberapa sentimeter, kabut perihilus, garis Kerley A, garis Kerley B, dan garis Kerley C, vaskuler hazy line, kemudian pada stadium dekompensasi barulah terjadi tanda-tanda buffer pattern.

Gambar Edema interstisial. Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi)

Gambar Kardiomegali dan edema paru . Infiltrat di daerah basal (edema basal paru) dan Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral) .
Gambar Bat’s Wing , Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai kelainan sebelumnya, contoh: emfisema )
a

b
Gambar peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan edema. a. Pelebaran vaskuler , peribronkial cuffing. b. Garis Kerley bilateral
Gambar 1. Edema paru berat karena pemberian cairan intravenous yang berlebihan.bisa juga terjadi akibat kegagalan jantung atau gimjal, obat-obatan dan malaria. 2. Penderita yang sama pada hari berikutnya setelah diberi diuretik dan dilakukan pembatasan cairan. 3. Penderita yang sama satu minggu kemudian. Adanya perubahan yang cepat dan respon yang segera terhadap pengobatan merupakan ciri khas edema
b. CT-Scan
 
CT-Scan resolusi tinggi dapat menunjukkan konsolidasi wilayah udara luas, yang mungkin memiliki distribusi yang dominan di daerah paru-paru. Sebuah pola retikuler dengan distribusi anterior mencolok sering ditemuin pada CT-Scan pada penderita ARDS, hal ini terkait dengan durasi tekanan-dikendalikan
ventilasi, invers-rasio.
3. Efusi pleura
Efusi pleura terlihat sebagai penumpulan sudut kostofrenikus, namun dengan semakin meluasnya efusi, terdapat gambaran opak yang homogen di bagian basal dengan tepi atas yang cekung. Efusi pleura bilateral terdapat pada 70% dari kasus CHF. Harus ada setidaknya 175 ml cairan pleura, sebelum akan terlihat pada gambar PA sebagai meniskus di sudut kostofrenikus. Pada gambar lateral, efusi >75 ml bisa terlihat. Jika efusi pleura terlihat pada film dada terlentang, itu berarti ada setidaknya 500 ml cairan pleura.
a. Foto Polos Thoraks
1) Posisi tegak posteroanterior (PA)
Pada pemeriksaan foto thorak rutin tegak, cairan pleura tampak berupa perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah yang biasanya relative radioopak dengan permukaan atas cekung berjalan dari lateral atas ke medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemithorak sehingga jaringan paru akan terdorong ke arah sentral/hilus, dan kadang-kadang mendorong mediastinum kearah kontralateral.

Gambar Efusi pleura sinistra. Sudut costophrenicus yang tumpul karena efusi pleura


 Gambar Efusi pleura dextra

 

Gambar Efusi pleura sinistra masif. Tampak mediastinum terdorong kontralateral

Gambar Efusi pleura bilateral

Gambar Loculated pleural effusion. Tampak berbatas cukup tegas dan biconvex. Sering disebabkan oleh empiema dengan perlekatan pleura
2) Posisi lateral
Bila cairan kurang dari 250ml (100-200ml), dapat ditemukan pengisian cairan di sudut costofrenikus posterior pada foto thorak lateral tegak. Pada penelitian mengenai model roentgen patologi Collins menunjukkan bahwa sedikitnya 25ml dari cairan pleura (cairan saline yang disuntikkan) pada radiogram dada lateral tegak lurus dapat dideteksi sebagai akumulasi cairan subpulmonic di posterior sulcus costophrenic, tetapi hanya dengan adanya pneumoperitoneum yang terjadi sebelumnya.
3) Posisi Lateral Decubitus
Radiografi dada lateral decubitus digunakan selama bertahun-tahun untuk mendiagnosis efusi pleura yang sedikit. Cairan yang kurang dari 100ml (50-100ml), dapat diperlihatkan dengan posisi lateral dekubitus dan arah sinar horizontal dimana caran akan berkumpul disisi samping bawah.

Gambar Efusi pleura pada posisi right lateral decubitus (penumpukan cairan)

Gambar Efusi pleura pada posisi left lateral decubitus
b. Computed Tomography Scan

Gambar CT Scan pada efusi pleura (kiri atas: foto rontgen thoraks PA)
CT scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya. Pada CT scan, efusi pleura bebas diperlihatkan sebagai daerah berbentuk bulan sabit di bagian yang tergantung dari hemithorax yang terkena. Permukaan efusi pleura memiliki gambaran cekung ke atas karena tendensi recoil dari paru-paru. Karena kebanyakan CT pemeriksaan dilakukan dalam posisi terlentang, cairan mulai menumpuk di posterior sulkus kostofrenikus. Pada efusi pleura yang banyak, cairan meluas ke aspek apikal dan anterior dada dan kadang-kadang ke fisura tersebut. Dalam posisi tengkurap atau lateral, cairan bergeser ke aspek yang tergantung dari rongga pleura. Pergeseran ini menegaskan sifat bebas dari efusi tersebut.

Gambar CT Scan thorak pada seorang pria 50-tahun dengan limfoma non-Hodgkin dan efusi pleura yang ditunjukan tanda panah

Gambar CT Scan thorax pada pria 50-tahun dengan limfoma non-Hodgkin menunjukkan daerah tergantung dengan redaman yang sama dengan air dan margin atas lengkung (E). Temuan khas dari efusi pleura. Perhatikan pergeseran lokasi cairan pada gambar ini dibandingkan dengan radiografi dada posteroanterior dan lateral. Limfadenopati mediastinum dapat dilihat di mediastinum tengah dan posterior (panah)
c. Ultrasonografi
Penampilan khas dari efusi pleura merupakan lapisan anechoic antara pleura visceral dan pleura parietal. Bentuk efusi dapat bervariasi dengan respirasi dan posisi. Para peneliti memperkenalkan metode pemeriksaan USG dengan apa yang disebut sebagai “elbow position”. Pemeriksaan ini dimulai dengan pasien diletakkan pada posisi lateral decubitus selama 5 menit (serupa dengan radiografi dada posisi lateral decubitus) kemudian pemeriksaan USG dilakukan dengan pasien bertumpu pada siku. Maneuver ini memungkinkan kita untuk mendeteksi efusi subpulmonal yang sedikit, karena cairan cenderung akan terakumulasi dalam pleura diaphragmatic pada posisi tegak lurus.

Gambar Posisi siku dengan meletakkan transduser selama pemeriksaan untuk melihat keadaan rongga pleura kanan.
Ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya cairan ronggapleura. Pada dekade terakhir ultrasonografi (USG) dari rongga pleura menjadi metode utama untuk mendemonstrasikan adanya efusi pleura yang sedikit. Kriteria USG untuk menentukan efusi pleura adalah: setidaknya zona anechogenic memiliki ketebalan 3mm diantara pleura parietal dan visceral dan atau perubahan ketebalan lapisan cairan antara ekspirasi dan inspirasi, dan juga perbedaan letak posisi pasien. Karena USG adalah metode utama maka sangatlah penting untuk melakukan pengukuran sonografi dengan pemeriksaan tegak lurus terhadap dinding dada.

Gambar Sonogram pada pasien dengan kanker paru lobus kanan atas. Gambar menunjukkan adanya akumulasi cairan selama inspirasi (setebal 6 mm; berbentuk kurva,-gambar kiri) dimana gambar tersebut lebih jelas dibanding selamaekspirasi (setebal 11 mm; berbentuk kurva-gambar kanan).
Gambar Ultrasonogram dari kiri dada bagian bawah pada pasien laki-laki dengan penyebaran lymphangitic dari adenokarsinoma. Ini studi sagital dan pemeriksaan dilakukan dengan pasien duduk. Cairan Echogenic (E) dapat dilihat pada hemithorax kiri. Perhatikan diafragma lengkung Echogenic (panah). The pleura cairan positif untuk sel-sel ganas (efusi pleura ganas)
Gambar Ultrasonogram dari kiri dada bagian bawah pada wanita 47 tahun dengan efusi pleura metastasis. Ini studi sagital dan pemeriksaan dilakukan dengan pasien duduk. Cairan anechoic (E) dapat dilihat pada hemithorax kiri. Perhatikan diafragma lengkung Echogenic (panah)
Gambaran anechoic terutama diamati pada transudat. Dalam sebuah penelitian terhadap 320 pasien dengan efusi, transudat memberikan gambaran anechoic, sedangkan efusi anechoic dapat transudat atau eksudat. Adanya penebalan pleura dan lesi parenkim di paru-paru menunjukkan adanya eksudat. Cairan pleura yang memberikan gambaran echoic dapat dilihat pada efusi hemoragik atau empiema.
Doppler berwarna ultrasonografi dapat membantu dalam membedakan efusi kecil dari penebalan pleura dengan menunjukkan tanda-warna cairan (yaitu, adanya sinyal warna dalam pengumpulan cairan).
d. Magnetic Resonance Imaging ( MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi efusi pleura. Nodularity dan/atau penyimpangan dari kontur pleura, penebalan pleura melingkar, keterlibatan pleura mediastinal, dan infiltrasi dari dinding dada dan/atau diafragma sugestif penyebab ganas kedua pada CT scan dan MRI.
Gambar N eonatus 2-bulan-tua di unit gawat darurat dalam kesulitan jantung dan respiratory distress. Resusitasi tidak berhasil. Coronal T2-W MRI menunjukkan hematopericard (panah terbuka), hematothorax (panah) dan efusi pleura (kepala panah) (ketebalan irisan: 1 mm, TR: 4000, TE: 80, FA: 90 °). Ada vena paru abberant mengalir ke ventrikel kiri (buka panah). Perut menunjukkan asites (tanda bintang)
4. Manifestasi Gambaran Foto Thoraks Berdasarkan Stages Gagal Jantung Kongestif

PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
 
Stage I-redistribusi. Peningkatan pelebaran pedikel vaskular (tanda panah merah)
Stage I-redistribusi. Peningkatan rasio arteri-bronkus

Stage II-Edema Interstitial. Kerley B: yaitu garis di perifer 1-2cm dekat kostofrenikus

Stage II-Edema Interstitial. Kabut (Haze) perihilar

Stage II-Edema Interstitial.

Stage II-Edema Interstitial. Garis septum menebal. Cairan pleura bilateral.


Stage III-Alveolar edema.
Prominent vena azygos dan peningkatan pelebaran pedikel vaskuler (anak panah merah); konsolidasi perihilar dan bronkogram-udara (anak panah kuning); cairan pleura (anak panah biru); bayangan
jantung membesar (kepala panah merah)

Stage III-Alveolar Edema. Efusi pleura lebih jelas pada posisi lateral 
 

Stage III-Alveolar Edema. Efusi pleura subpulmonic dengan peningkatan jarak gelembung udara lambung ke dasar paru-paru
E. PENATALAKSANAAN
1. Modifikasi gaya hidup:
a. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan), maksimal 1 liter (berat)
b. Pembatasan asupan garam maksimal 2 gram/hari (ringan), 1 maksimal gram (berat)
c. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol
2. Aktivitas fisik:
a. Pada kondisi akut berat: tirah baring
b. Pada kondisi sedang atau ringan: batasi beban kerja sampai 70% s.d. 80% dari denyut nadi maksimal (220/umur)
3. Penatalaksanaan farmakologi:
a. Pada gagal jantung akut:
1) Terapi oksigen 2-4 ltr/mnt
2) Pemasangan iv line untuk akses dilanjutkan dengan pemberian furosemid injeksi 20 s/d 40 mg bolus.
3) Cari pemicu gagal jantung akut.
4) Segera rujuk.
b. Pada gagal jantung kronik:
1) Diuretik: diutamakan Lup diuretik (furosemid) bila perlu dapat dikombinasikan Thiazid (HCT), bila dalam 24 jam tidak ada respon rujuk ke Layanan Sekunder.
2) ACE Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensine II receptor blocker (ARB) mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis yang efektif dalam beberapa minggu. Bila pengobatan sudah mencapai dosis maksimal dan target tidak tercapai, dirujuk.
3) Beta Blocker (BB): mulai dari dosis terkecil dan titrasi dosis sampai tercapai dosis yang efektif dalam beberapa minggu. Bila pengobatan sudah mencapai dosis maksimal dan target tidak tercapai, dirujuk.
Digoxin diberikan bila ditemukan fibrilasi atrial untuk menjaga denyut nadi tidak terlalu cepat.
4. Konseling dan Edukasi
a. Edukasi tentang penyebab dan faktor risiko penyakit gagal jantung kronik. Penyebab gagal jantung kronik yang paling sering adalah tidak terkontrolnya tekanan darah, kadar lemak atau kadar gula darah.
b. Pasien dan keluarga perlu diberitahu tanda-tanda kegawatan kardiovaskular dan pentingnya untuk kontrol kembali setelah pengobatan di rumah sakit.
c. Patuh dalam pengobatan yang telah direncanakan.
d. Menjaga lingkungan sekitar kondusif untuk pasien beraktivitas dan berinteraksi.
e. Melakukan konferensi keluarga untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat penatalaksanaan pasien, serta menyepakati bersama peran keluarga pada masalah kesehatan pasien.
5. Kriteria Rujukan
Pasien dengan gagal jantung harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis jantung atau Sp. Penyakit Dalam untuk perawatan maupun pemeriksaan lanjutan seperti ekokardiografi. Pada kondisi akut, dimana kondisi klinis mengalami perburukan dalam waktu cepat harus segera dirujuk Layanan Sekunder (Sp.Jantung/Sp.Penyakit Dalam) untuk dilakukan penanganan lebih lanjut.
F. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari berat ringannya penyakit. Komplikasi CHF:
1. Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).
3. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan.
4. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.


DAFTAR PUSTAKA
Chowdhury, R., Wilson, I., Rofe, C., dkk. Radiology at a Glance. 2010. Wiley-Blackwell Publishing: Singapore.
Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J 2008;29:2388–442.
European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic heart Failure .
Halim, H. Penyakit-penyakit pada Pleura. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi V. 2009. p.2329-2336.
Ikatan Dokter Indonesia. 2013. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Liwang, F. & Wijaya, P. Gagal Jantung. In: Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid II. 2014 p. 742-746. Media Aesculapius: Jakarta.
Murray JF. Pleural effusion in cardiac disease. In: Bouros D. Pleural disease. 2nd ed. 2010. p.613-26
Patel, P.R. Lecture Notes Radiology 3rd Edition. 2010. Wiley-Blackwell Publishing: Singapore.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi Pertama.

1 comment: