PENDAHULUAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EH
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 44 tahun
Alamat : Gelangan, Magelang Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
II. ANAMNESIS
Anamnesis dan pemeriksaan dilakukan pada Kamis, 19 April 2018 pukul
11.30 WIB
A. Keluhan Utama : Merah, panas dan gatal pada lengan
kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan kemerahan, panas, nyeri dan gatal pada lengan kiri
(siku bagian dalam). Awalnya ketika sedang tidur di rumah pada hari
Minggu, 15 April 2018 (empat hari sebelum ke RS), pasien merasakan
seperti digigit serangga pada lengan kirinya. Pasien mengaku tidak
sempat melihat serangga yang menggigitnya. Keesokan paginya, lengan
pasien menjadi merah dan terasa nyeri. Pasien kemudian memberikan salep
Aciclovir dan lidah buaya, karena mengira terkena penyakit Herpes. Pada
hari Selasa, pasien memeriksakan ke dokter umum dan diberikan salep
Hidrokortison. Sampai hari Kamis, keluhan dirasakan tidak berkurang,
kemerahan semakin meluas. Pasien kemudian dirujuk ke poliklinik kulit
dan kelamin RSUD.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
Riwayat alergi, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat keluhan serupa disangkal
Riwayat alergi, asma, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal
E. Riwayat Personal Sosial:
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya beraktivitas
di rumah. Tetangga mengalami keluhan yang serupa (+), dengan riwayat
menggencet tomcat yang melintas di sekitar leher.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. Tekanan darah tidak dilakukan
b. Nadi: 80x/menit
c. Pernafasan: 20x/menit
d. Suhu: 36,6°C
4. Kepala: konjunctiva anemis (-/-)
5. Leher: pembesaran KGB (-)
6. Dada: paru dan jantung dalam batas normal
7. Abdomen: dalam batas normal
8. Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
B. Status Dermatologik
Pada regio fossa cubiti sinistra tampak plak eritem, batas tegas,
disertai skuama putih tipis dan vesikel di atasnya. Kissing lession
(+).
IV. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis kontak iritan toksik (Dermatitis Paederus)
V. DIAGNOSIS BANDING
Herpes zooster
Dermatitis kontak alergika
VI. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
1. Interhistin 2x1
2. Metiprednisolon 1x8mg pagi hari
3. Salep campuran Desoxymetason 5 dan Bactoderm 5, dioleskan 2x sehari
B. Edukasi
1. Mencegah gesekan dengan kulit lain. Tidak menggaruk bagian yang
gatal.
2. Tutup jendela dan pintu saat malam hari untuk mencegah serangga
masuk ke kamar tidur
3. Gunakan kelambu saat tidur dan periksalah tempat tidur sebelum tidur
malam, disertai gunakan lampu tidur yang lebih redup untuk mencegah
serangga tertarik masuk ke ruangan.
TINJAUAN PUSTAKA
DERMATITIS KONTAK IRITAN TOKSIK
(DERMATITIS PAEDERUS)
A. DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,
vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal (Sularsito & Djuanda,
2011).
Dermatitis kontak iritan adalah peradangan kulit yang disebabkan
terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan yang
menimbulkan kelainan klinis efloresensi polimorfik berupa eritema,
vesikula, edema, papul, vesikel dan keluhan gatal, perih serta panas. Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan hanya beberapa saja
(Saraswati, 2013).
Dermatitis yang disebabkan spesifik oleh bahan aktif yang dikandung oleh
serangga genus Paederus, yakni pederin, disebut dengan paederus dermatitis
atau dermatitis linearis atau blister beetle dermatitis, kumbang
paederus memiliki cairan hemolimfe yang mengandung senyawa beracun disebut
pederin. Setiap kumbang memiliki jumlah senyawa yang berbeda, produksi
pederin pada tubuh kumbang bergantung pada aktifitas endosimbion kumbang
dengan bakteri pseudomonas sp, umumnya kumbang betina lebih banyak
mengadung pederin dibandingkan kumbang janta, karena kumbang betina
memiliki kemampuan memproduksi pederin. (Schiazza, 2015;
Saraswati, 2013).
Bagian tubuh yang sering terkena biasanya pada leher dan wajah, lesi yang
timbul akibat racun pederin tidak langsung terjadi, lesi biasnaya muncul
1-2 hari setelah terpapar toksin, karena racun pederin memerlukan waktu
untuk masuk ke dalam kulit dan menimbulkan peradangan. Pederin merupakan
suatu molekul non protein kompleks yang sangat toksin bahkan 12 kali lebih
toksin dari racun kobra. Pederin dapat menghambat sintesis protein dan
mencegah pembelahan sel (Schiazza, 2015)
B. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis paederus merupakan dermatitis akut yang dapat sembuh dengan
sendiri jika tanpa disertai infeksi sekunder. Kumbang tomcat dapat
menyerang semua kelompok umur, baik dewasa maupun anak-anak, dan insidennya
tergantung aktivitas. Anak-anak sering terkena pada usia 7-12 tahun. Kasus
dermatitis paederus cenderung mengalami peningkatan pada musim penghujan,
yaitu pada bulan Oktober–April dan cenderung menurun pada musim kering
(Simeen et al, 2006). Seseorang kontak dengan tomcat cenderung saat malam
hari dan cenderung menghancurkan serangga dengan menepuk pada kulit saat
kontak dengan tomcat. Tubuh yang sering terkena pada bagian terbuka seperti
leher dan wajah, meskipun tidak menutup kemungkinan terkena pada area tubuh
lainnya (IDAI, 2013)
C. ETIOLOGI
Gambar 1. Paederus spp.
Jenis kumbang penjelajah sangat bervariasi, terdapat sekitar 3100 spesies
yang tersebar di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Salah satu yang ada di
Indonesia adalah tomcat, tomcat menyukai habitat yang lembab sehingga kasus
dermatitis paederus cenderung meningkat pada musim penghujan, hal ini
dikarenakan terjadi lonjakan populasi tomcat pada musim penghujan. Tomcat
merupakan serangga yang bermanfaat pada pertanian, hal ini dikarenakan
tomcat sebagai predator alami terhadap hama pada padi sawah. Tomcat
memiliki ukuran 7 sampai 10 mm, lebar 0,5 mm, terdapat warna hitam pada
kepala, abdomen bawah, dan daerah yang meliputi sayap dan sepertiga segmen
abdomen, terdapat warna merah pada toraks. Tomcat termasuk dalam kelas
insect, ordo Coleopteran, family Staphylinidae, genus Paederus. (Travis
& Shayer 2015)
Kumbang tomcat dewasa aktif pada siang hari dan menyukai cahaya lampu saat
malam hari (tomcat tidak menyukai lampu yang mengeluarkan cahaya kuning),
hal ini menyebabkan seseorang cenderung sering kontak dengan tomcat saat
malam hari. Tomcat tidak mengigit atau menyengat, racun dikeluarkan dari
tubuh kumbang karena kumbang tergencet sehingga dapat menyebabkan iritasi
pada kulit atau mata, darah kembang mengandung racun yang berbahaya yang
disebut pederin (C24H4309), toksisitas
racun Pederin 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan racun kobra, dalam
bentuk kering racun ini masih bersifat toksik hingga 8 tahun racun.
D. PATOFISIOLOGI
Respon inflamasi pada kulit akibat paparan toksin akan merusak barrier
kulit, terjadi perubahan epidermal cellular pada kulit dan mengaktifkan
mediator inflamasi tanpa diikuti keterlibatan sel T memori atau
immunoglobulin spesifik, pelepasan sitokin terutama berasal dari
keratinosit, respon iritasi pada kulit akan menimbulkan sensasi rasa panas
pada kulit yang terkena kemudian diikuti oleh erythema, urtika sampai lesi
yang melepuh, timbulnya lesi akibat toksin pederin berbeda tiap individu,
tergantung banyaknya toksin, lamanya kontak dengan toksin dan sensitivitas
individu, lesi muncul pada dermatitis paederus sekitar 12 sampai 36 jam
setelah terpapar kemudian lesi dapat mengering dan menjadi krusta dalam
waktu 1-2 minggu setelah terpapar, jika racun Pederin mengenai daerah
lipatan seperti siku maka dapat ditemukan tanda “kissing lesions”,
kasus pederin yang tertelan sangat jarang terjadi namun jika hal ini
terjadi dapat menyebabkan keracunan dan dapat terjadi hematuria serta nyeri
perut yang hebat (James et al, 2011) .
E. FAKTOR RISIKO
Paederus dermatitis dapat mengenai semua kelompok umur, akan tetapi kondisi
seperti berada dekat dengan lingkungan persawahan, hutan, membuka jendela
saat menjelang malam menghidupkan lampu putih (Neon) dan menepuk kumbang
pada kulit dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya paederus dermatitis.
F. DIAGNOSIS
Pada sebuah studi observasional terhadap 87 pasien dengan diagnosis
dermatitis paederus di Irak, ditemukan bahwa keluhan utama paling umum
(sebanyak 85%) adalah lesi kulit yang muncul tiba-tiba dengan gambaran
menakutkan pasien atau saudaranya. Gejala berupa sensasi tersengat atau
terbakar merupakan gejala subjektif yang paling sering ditemukan. Pruritus
jarang terjadi, namun dapat ditemukan. Adanya riwayat kontak dengan
serangga merupakan temuan klinis yang akan sangat menolong diagnosis,
sayangnya karena sifat nokturnal dari Paederus, kontak dengan
pasien mayoritas terjadi pada malam hari yaitu ketika pasien tidur sehingga
biasanya pasien menyangkal adanya riwayat tersebut.
Reaksi kulit terhadap paederin biasanya ditemukan dalam 24-48 jam setelah
kontak dan membutuhkan seminggu atau lebih untuk penyembuhan. Reaksi kulit
terhadap pederin beragam tergantung dari konsentrasinya, durasi pajanan dan
karakteristik individual. Lesi tipikal biasanya muncul secara mendadak
berupa plak eritema yang tersusun secara linear, kemudian pada umumnya
muncul vesikel-vesikel yang seringkali berubah menjadi pustul di daerah
sentral dari plak tersebut. “Kissing lesions” merupakan reaksi
khas yang dapat terjadi apabila toksin paederin menyebar dari permukaan
kulit yang biasanya terjadi kontak, seperti daerah-derah fleksura. Pada
kasus dermatitis paederus yang ringan dapat hanya ditemukan patch
eritema yang berlangsung selama beberapa hari dan sebaliknya pada kasus
berat dapat ditemukan lepuh dalam area yang lebih luas diserta
gejala-gejala tambahan, seperti demam, arthralgia, neuralgia dan
muntah-muntah. Berdasarkan studi 268 kasus dermatitis paederus oleh Huang
et al di China, erupsi kulit terjadi secara umum pada daerah yang terbuka,
seperti leher (180 kasus, 67,16%), wajah (87 kasus, 32,46%), dan pundak dan
ekstremitas atas (72 kasus, 26,87%); daerah lainnya meliputi ekstremitas
bawah (38 kasus, 14,18%), dada dan punggung (14 kasus, 5,22%), daerah
aksila (2 kasus, 0,75%) dan pudendum (1 kasus, 0,37%).
Gambar 2. Lesi tipikal berbentuk linear pada tungkai bawah kanan (kiri) dan kissing lesions pada fleksura ekstremitas atas
(kanan).
Lesi pada mata umum terjadi dan biasanya dikarenakan mengusap mata dengan
tangan yang terkontaminasi dengan toksin paederin. Edema,
konjungtivitis dan lakrimasi berlebih sering ditemukan dan biasanya disebut
“Nairobi Eyes”. Efek dari toksin biasanya
hanya sebatas pada konjungtiva dan corneal scarring dan iritis
jarang terjadi.
Gambar 3. Edema periorbital, lakrimasi berlebih, dan konjungtivitis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis banding utama dari penyakit ini adalah herpes zoster, herpes
simpleks, dan phylophotodermatitis. Pada penderita herpes zoster,
karakteristik khas yang sangat membedakan adalah keluhan utama berupa nyeri
menjalar, distribusi erupsi sejajar dermatom dan unilateral, berbeda dengan
nyeri terbakar atau tersengat yang merupakan gejala subjektif dominan dari
dermatitis paederus. Penyakit herpes simpleks yang menyerupai dermatitis
paederus bukanlah pada infeksi primernya, melainkan fase rekurensinya. Pada
fase rekurensi dapat ditemukan vesikel berkelompok di daerah perioral yaitu
daerah vermilion border, terutama daerah 1/3 lateral dari labia
inferior. Perbedaan predileksi, susunan lesi yang tidak linear, juga ada
tidaknya riwayat infeksi primer dari herpes simpleks berupa
gingivostomatitis dapat mengeksklusi diagnosis herpes simpleks rekuren dari
diagnosis banding. Phytophotodermatitis sangat mirip dengan
dermatitis paederus karena mempunyai gejala yang sama berupa lesi yang
tersusun secara linear, area eritema yang tidak simetrik, lepuh-lepuh dan
kelainan pigmentasi. Ada tidaknya riwayat kontak dengan zat dari
tanaman-tanaman yang memiliki sifat sensitisasi cahaya, seperti limau, seledri, peterseli dan daun ara, merupakan
satu-satunya hal yang menolong dalam membedakan kedua diagnosis ini.
Gambar 4. Distribusi dermatomal herpes zoster (atas), herpes simpleks
labialis rekuren pada labia inferior (bawah).
Susunan lesi khas berbentuk linear, predileksi pada daerah yang terbuka,
ditemukannya kissing lesions, gejala dominan berupa sensasi
terbakar atau tersengat dan fitur epidemiologi (kejadian serupa pada daerah
tertentu, identifikasi serangga dan kejadian musiman) seharusnya memampukan
klinisi untuk sampai pada diagnosis yang benar.
G. PENATALAKSANAAN
Dermatitis paederus merupakan penyakit swasirna atau self-limiting
sehingga tidak diperlukan adanya pemberian medikasi-medikasi tertentu untuk
dapat mencapai kesembuhan. Penatalaksanaan dermatitis paederus sifatnya
hanya untuk meredakan gejala dan menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi
sekunder. Kasus ini harus ditangani seperti dermatitis kontak iritan
lainnya – menghilangkan iritan dengan mencuci kulit yang bersentuhan dengan
serangga dengan air mengalir dan sabun, mengompres kulit dengan cairan
antiseptik, seperti pengunaan larutan permanganas kalikus (PK) 0,01% atau
povidone iodin 0,5-1% untuk menurunkan resiko infeksi sekunder, diikuti
dengan pemberian steroid topikal untuk meredakan peradangan dan juga
antibiotik bila terjadi infeksi sekunder. Pemilihan topikal
steroid sesuai dengan daerah lesi. Lesi di wajah dapat menggunakan steroid
potensi rendah, seperti hidrokortison 1% atau 2,5% krim, di leher dapat
menggunakan steroid potensi menengah, seperti betametason valerate 0,1%
krim, sedangkan di ekstremitas proksimal dapat menggunakan steroid potensi
menengah-tinggi, seperti betametason diproprionate 0,05% krim atau
desoximetason 0,25% krim. Contoh pilihan antibiotik topikal yang dapat
digunakan antara lain, mupirosin 2% dioleskan 3x/hari, asam fusidat 2%
dioleskan 3-4x / hari, gentamisin 0,1% dioleskan 3-4x/hari, kloramfenikol
2% dioleskan 3-4x/hari, atau neomisin dioleskan tipis 2-5x/hari. Pemberian
siprofloksasin dengan dosis dua kali 500 mg sehari dapat dipertimbangkan
karena hasil dari sebuah studi yang dilakukan di Sierra Leone, dimana
ditemukan perbedaan waktu penyembuhan yang bermakna antara pasien penderita
dermatitis paederus yang diberikan antibiotik siprofloksasin dan yang tidak
diberikan antibiotik.
H. PENCEGAHAN
Untuk mencegah manusia kontak dengan kumbang/pederin, maka tindakan untuk
pencegahan antara lain dengan: hindari kontak kumbang tersebut langsung
dengan area kulit. Bila kumbang tersebut hinggap di badan kita, cobalah
untuk mengusirnya dengan hati-hati (misalnya, meniupnya pergi, mencoba
untuk kumbang berjalan ke secarik kertas dan kemudian membuangnya, dll) dan
mencuci daerah kulit yang kontak dengan kumbang tersebut.
Jika kita menghancurkan kumbang itu, maka cuci tangan yang kontak dengan
kumbang itu, juga pakaian yang mungkin telah terkontaminasi dengan pederin.
Jika kita berpikir bahwa kumbang tersebut kontak/hancur tetapi tidak yakin
jika hal ini terjadi (misalnya saat tidur), maka kita perlu segera mandi
dan mencuci seprai dan pakaian. Matikan lampu neon atau beralih ke lampu
pijar. Menjaga pintu dan jendela tertutup. Periksa sebelum tidur barangkali
ada kumbang (terutama pada dinding dan plafon area sekitar lampu). Jika
kita melihat ada kumbang, bunuh kumbang tersebut. Alat untuk membunuh
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan buang di tempat sampah.
Sebaiknya menghindari penggencetan kumbang agar racun tidak mengenai kulit,
menutup pintu dan menggunakan kasa nyamuk untuk mencegah kumbang ini masuk
ke dalam rumah, tidur dengan menggunakan kelambu, memasang jaring pelindung
di lampu untuk mencegah kumbang jatuh ke manusia, menyemprot insektisida,
dan membersihkan rumah dari tanaman yang tidak terawat.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain hiperpigmentasi pasca inflamasi,
infeksi sekunder, dermatitis dengan lepuh luas dan ulkus yang membutuhkan
rawat inap.
J. PROGNOSIS
Bila bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis tersebut tidak dapat
disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen
PP dan PL) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Panduan
Pencegahan dan Pengendalian Kumbang Paederus sp.
Haddad Jr V. “Sign of the kiss” in dermatitis caused by vesicant beetles
(Paederus sp. Or “potós”). An Bras Dermatol. 2014;89(6):996-7.
Indonesian Pediatric Society. 2013. Serangga Tomcat Penyebab Paederus
Dermatitis Pada Anak.
Saraswati, A. Hubungan antara Musim dengan Kejadian Dermatitis Venenata di
RSUD dr. Moewardi Surakarta Periode 2010-2012. 2013. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Kontak. In: Menaldi SLS, Bramono K,
Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015. p.158-61.