Friday, November 30, 2018

Kulit-DERMATITIS KONTAK IRITAN TOKSIK

PENDAHULUAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EH
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 44 tahun
Alamat : Gelangan, Magelang Tengah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
II. ANAMNESIS
Anamnesis dan pemeriksaan dilakukan pada Kamis, 19 April 2018 pukul 11.30 WIB
A. Keluhan Utama : Merah, panas dan gatal pada lengan kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan kemerahan, panas, nyeri dan gatal pada lengan kiri (siku bagian dalam). Awalnya ketika sedang tidur di rumah pada hari Minggu, 15 April 2018 (empat hari sebelum ke RS), pasien merasakan seperti digigit serangga pada lengan kirinya. Pasien mengaku tidak sempat melihat serangga yang menggigitnya. Keesokan paginya, lengan pasien menjadi merah dan terasa nyeri. Pasien kemudian memberikan salep Aciclovir dan lidah buaya, karena mengira terkena penyakit Herpes. Pada hari Selasa, pasien memeriksakan ke dokter umum dan diberikan salep Hidrokortison. Sampai hari Kamis, keluhan dirasakan tidak berkurang, kemerahan semakin meluas. Pasien kemudian dirujuk ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
Riwayat alergi, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat keluhan serupa disangkal
Riwayat alergi, asma, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal
E. Riwayat Personal Sosial:
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya beraktivitas di rumah. Tetangga mengalami keluhan yang serupa (+), dengan riwayat menggencet tomcat yang melintas di sekitar leher.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
a. Tekanan darah tidak dilakukan
b. Nadi: 80x/menit
c. Pernafasan: 20x/menit
d. Suhu: 36,6°C
4. Kepala: konjunctiva anemis (-/-)
5. Leher: pembesaran KGB (-)
6. Dada: paru dan jantung dalam batas normal
7. Abdomen: dalam batas normal
8. Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
B. Status Dermatologik



Pada regio fossa cubiti sinistra tampak plak eritem, batas tegas, disertai skuama putih tipis dan vesikel di atasnya. Kissing lession (+).
IV. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis kontak iritan toksik (Dermatitis Paederus)
V. DIAGNOSIS BANDING
Herpes zooster
Dermatitis kontak alergika
VI. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa
1. Interhistin 2x1
2. Metiprednisolon 1x8mg pagi hari
3. Salep campuran Desoxymetason 5 dan Bactoderm 5, dioleskan 2x sehari
B. Edukasi
1. Mencegah gesekan dengan kulit lain. Tidak menggaruk bagian yang gatal.
2. Tutup jendela dan pintu saat malam hari untuk mencegah serangga masuk ke kamar tidur
3. Gunakan kelambu saat tidur dan periksalah tempat tidur sebelum tidur malam, disertai gunakan lampu tidur yang lebih redup untuk mencegah serangga tertarik masuk ke ruangan.

TINJAUAN PUSTAKA
DERMATITIS KONTAK IRITAN TOKSIK
(DERMATITIS PAEDERUS)
A. DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal (Sularsito & Djuanda, 2011).
Dermatitis kontak iritan adalah peradangan kulit yang disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan yang menimbulkan kelainan klinis efloresensi polimorfik berupa eritema, vesikula, edema, papul, vesikel dan keluhan gatal, perih serta panas. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan hanya beberapa saja (Saraswati, 2013).
Dermatitis yang disebabkan spesifik oleh bahan aktif yang dikandung oleh serangga genus Paederus, yakni pederin, disebut dengan paederus dermatitis atau dermatitis linearis atau blister beetle dermatitis, kumbang paederus memiliki cairan hemolimfe yang mengandung senyawa beracun disebut pederin. Setiap kumbang memiliki jumlah senyawa yang berbeda, produksi pederin pada tubuh kumbang bergantung pada aktifitas endosimbion kumbang dengan bakteri pseudomonas sp, umumnya kumbang betina lebih banyak mengadung pederin dibandingkan kumbang janta, karena kumbang betina memiliki kemampuan memproduksi pederin. (Schiazza, 2015; Saraswati, 2013).
Bagian tubuh yang sering terkena biasanya pada leher dan wajah, lesi yang timbul akibat racun pederin tidak langsung terjadi, lesi biasnaya muncul 1-2 hari setelah terpapar toksin, karena racun pederin memerlukan waktu untuk masuk ke dalam kulit dan menimbulkan peradangan. Pederin merupakan suatu molekul non protein kompleks yang sangat toksin bahkan 12 kali lebih toksin dari racun kobra. Pederin dapat menghambat sintesis protein dan mencegah pembelahan sel (Schiazza, 2015)
B. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis paederus merupakan dermatitis akut yang dapat sembuh dengan sendiri jika tanpa disertai infeksi sekunder. Kumbang tomcat dapat menyerang semua kelompok umur, baik dewasa maupun anak-anak, dan insidennya tergantung aktivitas. Anak-anak sering terkena pada usia 7-12 tahun. Kasus dermatitis paederus cenderung mengalami peningkatan pada musim penghujan, yaitu pada bulan Oktober–April dan cenderung menurun pada musim kering (Simeen et al, 2006). Seseorang kontak dengan tomcat cenderung saat malam hari dan cenderung menghancurkan serangga dengan menepuk pada kulit saat kontak dengan tomcat. Tubuh yang sering terkena pada bagian terbuka seperti leher dan wajah, meskipun tidak menutup kemungkinan terkena pada area tubuh lainnya (IDAI, 2013)
C. ETIOLOGI

Gambar 1. Paederus spp.
Jenis kumbang penjelajah sangat bervariasi, terdapat sekitar 3100 spesies yang tersebar di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Salah satu yang ada di Indonesia adalah tomcat, tomcat menyukai habitat yang lembab sehingga kasus dermatitis paederus cenderung meningkat pada musim penghujan, hal ini dikarenakan terjadi lonjakan populasi tomcat pada musim penghujan. Tomcat merupakan serangga yang bermanfaat pada pertanian, hal ini dikarenakan tomcat sebagai predator alami terhadap hama pada padi sawah. Tomcat memiliki ukuran 7 sampai 10 mm, lebar 0,5 mm, terdapat warna hitam pada kepala, abdomen bawah, dan daerah yang meliputi sayap dan sepertiga segmen abdomen, terdapat warna merah pada toraks. Tomcat termasuk dalam kelas insect, ordo Coleopteran, family Staphylinidae, genus Paederus. (Travis & Shayer 2015)
Kumbang tomcat dewasa aktif pada siang hari dan menyukai cahaya lampu saat malam hari (tomcat tidak menyukai lampu yang mengeluarkan cahaya kuning), hal ini menyebabkan seseorang cenderung sering kontak dengan tomcat saat malam hari. Tomcat tidak mengigit atau menyengat, racun dikeluarkan dari tubuh kumbang karena kumbang tergencet sehingga dapat menyebabkan iritasi pada kulit atau mata, darah kembang mengandung racun yang berbahaya yang disebut pederin (C24H4309), toksisitas racun Pederin 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan racun kobra, dalam bentuk kering racun ini masih bersifat toksik hingga 8 tahun racun.
D. PATOFISIOLOGI
Respon inflamasi pada kulit akibat paparan toksin akan merusak barrier kulit, terjadi perubahan epidermal cellular pada kulit dan mengaktifkan mediator inflamasi tanpa diikuti keterlibatan sel T memori atau immunoglobulin spesifik, pelepasan sitokin terutama berasal dari keratinosit, respon iritasi pada kulit akan menimbulkan sensasi rasa panas pada kulit yang terkena kemudian diikuti oleh erythema, urtika sampai lesi yang melepuh, timbulnya lesi akibat toksin pederin berbeda tiap individu, tergantung banyaknya toksin, lamanya kontak dengan toksin dan sensitivitas individu, lesi muncul pada dermatitis paederus sekitar 12 sampai 36 jam setelah terpapar kemudian lesi dapat mengering dan menjadi krusta dalam waktu 1-2 minggu setelah terpapar, jika racun Pederin mengenai daerah lipatan seperti siku maka dapat ditemukan tanda “kissing lesions”, kasus pederin yang tertelan sangat jarang terjadi namun jika hal ini terjadi dapat menyebabkan keracunan dan dapat terjadi hematuria serta nyeri perut yang hebat (James et al, 2011) .
E. FAKTOR RISIKO
Paederus dermatitis dapat mengenai semua kelompok umur, akan tetapi kondisi seperti berada dekat dengan lingkungan persawahan, hutan, membuka jendela saat menjelang malam menghidupkan lampu putih (Neon) dan menepuk kumbang pada kulit dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya paederus dermatitis.
F. DIAGNOSIS
Pada sebuah studi observasional terhadap 87 pasien dengan diagnosis dermatitis paederus di Irak, ditemukan bahwa keluhan utama paling umum (sebanyak 85%) adalah lesi kulit yang muncul tiba-tiba dengan gambaran menakutkan pasien atau saudaranya. Gejala berupa sensasi tersengat atau terbakar merupakan gejala subjektif yang paling sering ditemukan. Pruritus jarang terjadi, namun dapat ditemukan. Adanya riwayat kontak dengan serangga merupakan temuan klinis yang akan sangat menolong diagnosis, sayangnya karena sifat nokturnal dari Paederus, kontak dengan pasien mayoritas terjadi pada malam hari yaitu ketika pasien tidur sehingga biasanya pasien menyangkal adanya riwayat tersebut.
Reaksi kulit terhadap paederin biasanya ditemukan dalam 24-48 jam setelah kontak dan membutuhkan seminggu atau lebih untuk penyembuhan. Reaksi kulit terhadap pederin beragam tergantung dari konsentrasinya, durasi pajanan dan karakteristik individual. Lesi tipikal biasanya muncul secara mendadak berupa plak eritema yang tersusun secara linear, kemudian pada umumnya muncul vesikel-vesikel yang seringkali berubah menjadi pustul di daerah sentral dari plak tersebut. “Kissing lesions” merupakan reaksi khas yang dapat terjadi apabila toksin paederin menyebar dari permukaan kulit yang biasanya terjadi kontak, seperti daerah-derah fleksura. Pada kasus dermatitis paederus yang ringan dapat hanya ditemukan patch eritema yang berlangsung selama beberapa hari dan sebaliknya pada kasus berat dapat ditemukan lepuh dalam area yang lebih luas diserta gejala-gejala tambahan, seperti demam, arthralgia, neuralgia dan muntah-muntah. Berdasarkan studi 268 kasus dermatitis paederus oleh Huang et al di China, erupsi kulit terjadi secara umum pada daerah yang terbuka, seperti leher (180 kasus, 67,16%), wajah (87 kasus, 32,46%), dan pundak dan ekstremitas atas (72 kasus, 26,87%); daerah lainnya meliputi ekstremitas bawah (38 kasus, 14,18%), dada dan punggung (14 kasus, 5,22%), daerah aksila (2 kasus, 0,75%) dan pudendum (1 kasus, 0,37%).


Gambar 2. Lesi tipikal berbentuk linear pada tungkai bawah kanan (kiri) dan kissing lesions pada fleksura ekstremitas atas (kanan).
Lesi pada mata umum terjadi dan biasanya dikarenakan mengusap mata dengan tangan yang terkontaminasi dengan toksin paederin. Edema, konjungtivitis dan lakrimasi berlebih sering ditemukan dan biasanya disebut “Nairobi Eyes”. Efek dari toksin biasanya hanya sebatas pada konjungtiva dan corneal scarring dan iritis jarang terjadi.
Gambar 3. Edema periorbital, lakrimasi berlebih, dan konjungtivitis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis banding utama dari penyakit ini adalah herpes zoster, herpes simpleks, dan phylophotodermatitis. Pada penderita herpes zoster, karakteristik khas yang sangat membedakan adalah keluhan utama berupa nyeri menjalar, distribusi erupsi sejajar dermatom dan unilateral, berbeda dengan nyeri terbakar atau tersengat yang merupakan gejala subjektif dominan dari dermatitis paederus. Penyakit herpes simpleks yang menyerupai dermatitis paederus bukanlah pada infeksi primernya, melainkan fase rekurensinya. Pada fase rekurensi dapat ditemukan vesikel berkelompok di daerah perioral yaitu daerah vermilion border, terutama daerah 1/3 lateral dari labia inferior. Perbedaan predileksi, susunan lesi yang tidak linear, juga ada tidaknya riwayat infeksi primer dari herpes simpleks berupa gingivostomatitis dapat mengeksklusi diagnosis herpes simpleks rekuren dari diagnosis banding. Phytophotodermatitis sangat mirip dengan dermatitis paederus karena mempunyai gejala yang sama berupa lesi yang tersusun secara linear, area eritema yang tidak simetrik, lepuh-lepuh dan kelainan pigmentasi. Ada tidaknya riwayat kontak dengan zat dari tanaman-tanaman yang memiliki sifat sensitisasi cahaya, seperti limau, seledri, peterseli dan daun ara, merupakan satu-satunya hal yang menolong dalam membedakan kedua diagnosis ini.



Gambar 4. Distribusi dermatomal herpes zoster (atas), herpes simpleks labialis rekuren pada labia inferior (bawah).
Susunan lesi khas berbentuk linear, predileksi pada daerah yang terbuka, ditemukannya kissing lesions, gejala dominan berupa sensasi terbakar atau tersengat dan fitur epidemiologi (kejadian serupa pada daerah tertentu, identifikasi serangga dan kejadian musiman) seharusnya memampukan klinisi untuk sampai pada diagnosis yang benar.
G. PENATALAKSANAAN
Dermatitis paederus merupakan penyakit swasirna atau self-limiting sehingga tidak diperlukan adanya pemberian medikasi-medikasi tertentu untuk dapat mencapai kesembuhan. Penatalaksanaan dermatitis paederus sifatnya hanya untuk meredakan gejala dan menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi sekunder. Kasus ini harus ditangani seperti dermatitis kontak iritan lainnya – menghilangkan iritan dengan mencuci kulit yang bersentuhan dengan serangga dengan air mengalir dan sabun, mengompres kulit dengan cairan antiseptik, seperti pengunaan larutan permanganas kalikus (PK) 0,01% atau povidone iodin 0,5-1% untuk menurunkan resiko infeksi sekunder, diikuti dengan pemberian steroid topikal untuk meredakan peradangan dan juga antibiotik bila terjadi infeksi sekunder. Pemilihan topikal steroid sesuai dengan daerah lesi. Lesi di wajah dapat menggunakan steroid potensi rendah, seperti hidrokortison 1% atau 2,5% krim, di leher dapat menggunakan steroid potensi menengah, seperti betametason valerate 0,1% krim, sedangkan di ekstremitas proksimal dapat menggunakan steroid potensi menengah-tinggi, seperti betametason diproprionate 0,05% krim atau desoximetason 0,25% krim. Contoh pilihan antibiotik topikal yang dapat digunakan antara lain, mupirosin 2% dioleskan 3x/hari, asam fusidat 2% dioleskan 3-4x / hari, gentamisin 0,1% dioleskan 3-4x/hari, kloramfenikol 2% dioleskan 3-4x/hari, atau neomisin dioleskan tipis 2-5x/hari. Pemberian siprofloksasin dengan dosis dua kali 500 mg sehari dapat dipertimbangkan karena hasil dari sebuah studi yang dilakukan di Sierra Leone, dimana ditemukan perbedaan waktu penyembuhan yang bermakna antara pasien penderita dermatitis paederus yang diberikan antibiotik siprofloksasin dan yang tidak diberikan antibiotik.
H. PENCEGAHAN
Untuk mencegah manusia kontak dengan kumbang/pederin, maka tindakan untuk pencegahan antara lain dengan: hindari kontak kumbang tersebut langsung dengan area kulit. Bila kumbang tersebut hinggap di badan kita, cobalah untuk mengusirnya dengan hati-hati (misalnya, meniupnya pergi, mencoba untuk kumbang berjalan ke secarik kertas dan kemudian membuangnya, dll) dan mencuci daerah kulit yang kontak dengan kumbang tersebut.
Jika kita menghancurkan kumbang itu, maka cuci tangan yang kontak dengan kumbang itu, juga pakaian yang mungkin telah terkontaminasi dengan pederin.
Jika kita berpikir bahwa kumbang tersebut kontak/hancur tetapi tidak yakin jika hal ini terjadi (misalnya saat tidur), maka kita perlu segera mandi dan mencuci seprai dan pakaian. Matikan lampu neon atau beralih ke lampu pijar. Menjaga pintu dan jendela tertutup. Periksa sebelum tidur barangkali ada kumbang (terutama pada dinding dan plafon area sekitar lampu). Jika kita melihat ada kumbang, bunuh kumbang tersebut. Alat untuk membunuh kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan buang di tempat sampah.
Sebaiknya menghindari penggencetan kumbang agar racun tidak mengenai kulit, menutup pintu dan menggunakan kasa nyamuk untuk mencegah kumbang ini masuk ke dalam rumah, tidur dengan menggunakan kelambu, memasang jaring pelindung di lampu untuk mencegah kumbang jatuh ke manusia, menyemprot insektisida, dan membersihkan rumah dari tanaman yang tidak terawat.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain hiperpigmentasi pasca inflamasi, infeksi sekunder, dermatitis dengan lepuh luas dan ulkus yang membutuhkan rawat inap.
J. PROGNOSIS
Bila bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Panduan Pencegahan dan Pengendalian Kumbang Paederus sp.
Haddad Jr V. “Sign of the kiss” in dermatitis caused by vesicant beetles (Paederus sp. Or “potós”). An Bras Dermatol. 2014;89(6):996-7.
Indonesian Pediatric Society. 2013. Serangga Tomcat Penyebab Paederus Dermatitis Pada Anak.
Saraswati, A. Hubungan antara Musim dengan Kejadian Dermatitis Venenata di RSUD dr. Moewardi Surakarta Periode 2010-2012. 2013. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Kontak. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. p.158-61.

Mata-PTERIGIUM GRADE II

 
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap, yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan fibrovaskuler konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini berbentuk seperti sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak permbuluh darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi iritasi maka pterigium akan berwarna merah.

Gambar 1 . Arah pertumbuhan pterigium
Pada dasarnya pertumbuhan ini bersifat jinak sehingga tidak memerlukan penanganan yang khusus kecuali jika mengenai daerah pupil yang dapat menurunkan fungsi penglihatan sehingga diperlukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki penglihatan. 1
B. Epidemiologi
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup tinggi yakni 13,1%. Suatu penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dengan peningkatan kadar paparan sinar ultraviolet (UV) di daerah lintang selatan. Dilaporkan laki-laki dua kali lebih sering terkena dibandingkan wanita. Kasus ini jarang ditemui pada usia di bawah 20 tahun. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia, namun rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua. Prevalensi paling tinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun dan insidensi paling tinggi didapatkan pada usia 20-40. 2
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium meliputi: 2
1. Radiasi UV
Faktor risiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan sinar matahari. Sinar UV yang diabsorbsi kornea dan konjungtiva menyebabkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Penelitian di Desa Waai, Kabupaten Maluku pada 147 responden yang memiliki pterigium menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara lama aktivitas di luar rungan dengan angka kejadian pterigium. Responden dari kelompok yang beraktivitas >5 jam di luar ruangan memiliki peluang 1,230 kali lebih berisiko menderita pterigium daripada responden yang beraktivitas ≤ 5 jam di luar ruangan yang terpapar sinar matahari secara langsung 3
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan. Selain itu, terdapat kecenderungan genetik yang berhubungan dengan insidensi yang lebih tinggi pada laki-laki dalam jumlah yang signifikan daripada perempuan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik dari bahan tertentu di udara yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi. Saat ini teori baru mengenai patogenesis dari pterigium juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis factor“. Debu, kelembapan yang rendah, trauma kecil dari partikel tertentu, dry eye, virus papilloma, tinggal di daerah beriklim subtropis-tropis, dan pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu timbulnya pterigium.
D. Etiologi
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma, radang dan degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler konjungtiva yang dapat disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap rokok, debu, cahaya sinar ultraviolet (sinar matahari), kelembapan yang rendah, dan udara yang panas merupakan faktor predisposisi terjadinya pterigium. 1,2
E. Patofisiologi
Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga merupakan akibat dari kelainan lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh genetik. Konjungtiva bulbi selalu mengalami kontak dengan dunia luar, seperti sinar UV, debu, serta udara yang kering akibat cuaca panas yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang berkembang ke kornea. Penebalan abnormal ini dapat mengenai kedua mata (bilateral) karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan faktor-faktor tersebut. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal kemudian melalui punctum lacrimalis dialirkan ke meatus nasi infeirior. Selain itu, daerah nasal juga mendapat paparan sinar UV yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain akibat pantulan sinar UV tidak langsung dari hidung.
UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal stem cell yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala muncul sebagai pertumbuhan konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terigium merupakan manifestasi dari defisiensi limbal stem cell interpalpebral terlokalisasi yang diduga akibat paparan sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah interpalpebral.
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan menimbulkan peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitel fibrovaskuler. Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi elastis dan proliferasi jaringan granulasi vaskuler di bawah epitel yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada daerah yang mengalami degenerasi elastis menunjukkan basophilia dengan pengecatan hematoxylin dan eosin (HE). 1,2

Gambar 2 . Histopatologi Pterigium
F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Subjektif
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak mengalami keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal, mata mudah merah kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu mata ataupun keduanya namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium. Beberapa lainnya datang dengan keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas korneanya dan merasa seperti kelilipan saat berkedip.
2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada bagian puncak, pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak kelabu yang disebut pulau Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan adanya penonjolan daging berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk segitiga berkembang dari konjungtiva interpalpebrae menuju ke kornea. Tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila mengalami iritasi, pterigium akan berwarna merah dan menebal.

Gambar 3. Pterigium
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex, bagian atas pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.2
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut sebagai pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan temporal, maka disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
G. Diagnosis Banding
Pembeda
Pterigium
Pinguekula
Pseudopterigium
Definisi
Jaringan fibrovaskular konjungtiva bulbi berbentuk segitiga
Benjolan pada konjungtiva bulbi
Perlengketan konjungtiba bulbi dengan kornea yang cacat
Warna
Putih kekuningan
Putih-kuning keabu-abuan
Putih kekuningan
Letak
Celah kelopak bagian nasal atau temporal yang meluas ke arah kornea
Celah kelopak mata terutama bagian nasal
Pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya
6♂:♀
♂ > ♀
♂ = ♀
♂ = ♀
Progresif
Sedang
Tidak
Tidak
Reaksi kerusakan permukaan kornea sebelumnya
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Pembuluh darah konjungtiva
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
Sonde
Tidak dapat diselipkan
Tidak dapat diselipkan
Dapat diselipkan di bawah lesi karena tidak melekat pada limbus
Puncak
Ada pulau-pulau Funchs (bercak kelabu)
Tidak ada
Tidak ada (tidak ada head, cap, body)
Histopatologi
Epitel ireguler dan degenerasi hialin dalam stromanya
Degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva
Perlengketan
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1) Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 2% dan 89%, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2) Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2% dan setinggi 40% pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.


Gambar 6. Teknik Autograft Konjungtiva
3) Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episkleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral, endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml): 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1 tetes/ 3 jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
I. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi: 2
1. Mata merah
2. Iritasi
3. Keterlibatan otot ekstraokular menyebabkan diplopia
4. Jaringan parut kronik pada konjungtiva dan kornea
5. Dry eye sindrom
6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
Komplikasi postoperative pterigium 2
1. Reaksi terhadap bahan benang
2. Rekurensi
3. Infeksi
4. Perforasi korneosklera
5. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
6. Korneoscleral dellen
7. Granuloma konjungtiva
8. Epithelial inclusion cysts
9. Conjungtiva scar
10. Adanya jaringan parut di kornea
J. Prognosis
Prognosis penglihatan dan kosmetik eksisi pterigium adalah baik. Penderita dapat beraktivitas normal setelah 48 jam setelah tindakan eksisi. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat dilakukan eksisi ulang dengan grafting.2 Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.
Angka kejadian tumbuh ulang paska eksisi pterigium selama tahun 2010-2011 di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung sebanyak 5,59% dengan tidak ada perbedaan yang mencolok antara kelompok pria dan wanita. Risiko kejadian tumbuh ulang lebih besar pada pasien pterigium yang dilakukan eksisi pada usia muda yaitu 20-29 tahun. Berdasarkan derajat pterigium, kejadian tumbuh ulang lebih banyak terjadi pada pterigium derajat II. Semua yang mengalami tumbuh ulang menggunakan teknik conjunctival graft dengan jahitan. Waktu tumbuh ulang paling cepat terjadi dalam 4-8 minggu paska eksisi pterigium.4
Kejadian tumbuh ulang pterigium pada beberapa teknik pembedahan pterigium di Rumah Sakit Heraklion antara tahun 1998-2015 yang diikuti selama 20+16,3 bulan sekitar 9,6% (11 kasus). Teknik BSE (bare sklera) menimbulkan 16,7% tumbuh ulang (2 kasus) pada 12 pterigium primer, sedangkan 6 dari 68 pterigium primer tumbuh ulang setelah BSE+MMC (bare sklera + Mitomycin-C). Kejadian tumbuh ulang 13% (3 dari 23) pasien yang dioperasi dengan BSE+MMC. Tidak ada kejadian tumbuh ulang pada pasien yang dioperasi dengan teknik CAU (Conjunctival Autograft) dan AMT (Amniotic Membrane Transplantation). 5

BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IL
Usia : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jalan Manggis, Mertoyudan, Kab. Magelang
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Mata kanan terdapat selaput, terasa mengganjal
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli mata RSUD, dengan keluhan utama mata kanannya terdapat selaput dan terasa mengganjal. Keluhan dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Selaput yang mengganjal dirasakan semakin lama, semakin luas sehingga mengganggu penglihatan. Pasien juga mengeluhkan mata sering memerah dan pandangan menjadi kabur. Keluhan mata nyeri, silau, kelopak mata bengkak dan gatal disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat operasi : (+) kista ovarium
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat hipertensi : (+) 3 tahun, minum obat rutin Amlodipin 1x10mg
Riwayat diabetes melitus : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : ibu (+)
Riwayat diabetes melitus : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Aktivitas sehari-hari di rumah.
III. STATUS GENERALIS
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik
OD : Tampak selaput putih kemerahan dari angulus oculi medialis sampai ke limbus kornea
OS : Tenang 

IV. STATUS OFTALMOLOGIS
Pemeriksaan
Oculli dextra (OD)
Oculli sinistra (OS)
Visus jauh
6/18
6/12
Refraksi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Koreksi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Visus dekat
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Proyeksi sinar
Dapat membedakan arah sinar
Dapat membedakan arah sinar
Proyeksi warna
Dapat membedakan warna
Dapat membedakan warna

Pemeriksaan
OD
OS
1. Sekitar mata (supersilia)
Kedudukan alis baik, scar (-)
Kedudukan alis baik, scar (-)
2. Kelopak mata
A. Pasangan
N
N
B. Gerakan
N
N
C. Lebar rima
9 mm
9 mm
D. Kulit
N
N
E. Tepi kelopak
N
N
3. Apparatus Lakrimalis
A. Sekitar glandula lakrimalis
N
N
B. Sekitar saccus lakrimalis
N
N
C. Uji flurosensi
-
-
D. Uji regurgitasi
-
-
E. Tes Anel
-
-
4. Bola Mata
A. Pasangan
N
N
B. Gerakan
N
N
C. Ukuran
N
N
5. TIO
Palpasi: konsistensi kenyal
Palpasi: konsistensi kenyal
6. Konjungtiva
A. Palpebra superior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
B. Forniks
Tenang
Tenang
C. Palpebra inferior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
D. Bulbi
Jaringan fibrovaskular, putih kemerahan, berbentuk sayap, dari angulus oculi medialis melewati limbus kornea 2 mm
Hiperemis (-)
7. Sklera
Ikterik (-), perdarahan (-)
Ikterik (-), perdarahan (-)
8. Kornea
1. Ukuran
Ø 10 mm
Ø 10 mm
2. Kecembungan
N
N
3. Permukaan
N
N
4. Uji Flurosensi
-
-
5. Placido
-
-
9. Camera oculi anterior
A. Ukuran
N
N
B. Isi
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
10. Iris
A. Warna
Coklat
Coklat
B. Bentuk
Bulat
Bulat
11. Pupil
A. Ukuran
Ø 3 mm
Ø 3 mm
B. Bentuk
Bulat
Bulat
C. Tempat
Sentral
Sentral
D. Tepi
Reguler
Reguler
E. Reflek direct
+
+
F. Reflek indirect
+
+
12. Lensa
A. Ada/tidak
Ada
Ada
B. Kejernihan
Jernih
Jernih
C. Letak
Sentral, belakang iris
Sentral, belakang iris
13. Refleks Fundus
Normal
Normal
V. DIAGNOSIS KERJA
OD Pterigium grade II
VI. PENATALAKSANAAN
1. Eksisi pterigium dan graft kornea (26 Februari 2018)
2. Metampiron + Diazepam (Analsik) 2 x 1 kaplet
3. Gatifloxacin (Gaforin) eye drop 2x1 OD
4. Kloramfenikol + Hidrokortison (Cendo mycos) salep mata 2x1 OD
VII. EDUKASI
Lindungi mata dari paparan sinar matahari dengan menggunakan kacamata hitam dan hindari debu yang berlebihan.
VIII. FOLLOW UP
1. 3 Maret 2018 (4 hari post op) 

S: mata kanan terasa mengganjal, nyeri dan pegal
O: VOD: 4/22
VOS: 4/5
Status lokalis mata kanan: hiperemis, berair
A: OD Post eksisi pterigium grade II dan graft konjungtiva
P: Tobramycin + Dexamethasone (Tobroson) eye drop 3x1 OD
Ofloxacin (Floxa) eye drop 3x1 OD
Metampiron + Diazepam (Analsik) 1x1 kaplet (malam)
2. 10 Maret 2018 (11 hari post op) 

S: mata kanan masih terasa mengganjal
O: VOD: 4/7
VOS: 4/7
Status lokalis mata kanan: hiperemis berkurang
A: OD post eksisi pterigium grade II dan graft konjungtiva
P: Tobramycin + Dexamethasone (Tobroson) eye drop 4x1 OD
Sodium Chloride + Kalium Chloride (Cendo liteers) eye drop 3x1 ODS
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad kosmetikum : dubia ad bonam



DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47. 2009
3. Lima, F. & Manuputty, A.G. Hubungan Paparan Sinar Matahari dengan Angka Kejadian Pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2013. Molucca Medika Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 4, Nomor 2, Maret 2014, hlm, 101-109.
4. Miraprahesti, R. 2013. Karakteristik Tumbuh Ulang Pterigium Paska Eksisi di Pusat Mata Nasional, Rumah Sakit Cicendo Bandung Tahun 2010-2011. Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
5. Lubbad A, Giarmoukakis A, Skatharoudi C, Astyrakakis N, Siganos CS (2017) Long Term Results of Pterygium Excision Using Different Surgical Techniques: A Retrospective Study. J Clin Exp Ophthalmol 8: 629. doi:10.4172/2155-9570.1000629

Mata-PRESBIOPIA, MIOPIA

A. PENGALAMAN
Pasien datang ke poli mata RSUD, dengan keluhan utama penglihatan kedua mata kabur. Pasien merasa kesulitan ketika membaca tulisan yang dekat dan jauh. Keluhan dirasakan kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu dan semakin memberat. Penglihatan jauh dikatakan membaik dengan memicingkan matanya. Bila membaca dengan jarak dekat, pasien merasa lebih nyaman saat buku atau koran dijauhkan. Pasien merasa mata kiri lebih kabur daripada mata kanan. Riwayat mata merah (-), nrocos (-), pandangan silau (-), kotoran mata (-). Riwayat memakai kacamata sebelumnya disangkal.
B. MASALAH YANG DIKAJI
1. Bagaimana tatalaksana pada pasien?
2. Apakah edukasi yang tepat untuk pasien?
C. ANALISIS
I. KELAINAN REFRAKSI
Kelainan refraksi adalah keadaan di mana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidak seimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan tepat pada bintik kuning, akan tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan malahan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, astigmat, dan presbiopi.
Gambar 1. Emetrop
II. MEKANISME PENGLIHATAN NORMAL
 
Cahaya masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil merupakan lubang bundar anterior di bagian tengah iris yang mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pupil membesar bila intensitas cahaya kecil (bila berada di tempat gelap), dan apabila berada di tempat terang atau intensitas cahayanya besar, maka pupil akan mengecil. Yang mengatur perubahan pupil tersebut adalah iris. Iris merupakan cincin otot yang berpigmen dan tampak di dalam aqueous humor, karena iris merupakan cincin otot yang berpigmen, maka iris juga berperan dalam menentukan warna mata. Setelah melalui pupil dan iris, maka cahaya sampai ke lensa. Lensa ini berada di antara aqueous humor dan vitreous humor, melekat ke otot–otot siliaris melalui ligamentum suspensorium. Fungsi lensa selain menghasilkan kemampuan refraktif yang bervariasi selama berakomodasi, juga berfungsi untuk memfokuskan cahaya ke retina. Apabila mata memfokuskan pada objek yang dekat, maka otot–otot siliaris akan berkontraksi, sehingga lensa menjadi lebih tebal dan lebih kuat. Dan apabila mata memfokuskan objek yang jauh, maka otot–otot siliaris akan mengendur dan lensa menjadi lebih tipis dan lebih lemah. Bila cahaya sampai ke retina, maka sel–sel batang dan sel–sel kerucut yang merupakan sel–sel yang sensitif terhadap cahaya akan meneruskan sinyal–sinyal cahaya tersebut ke otak melalui saraf optik. Bayangan atau cahaya yang tertangkap oleh retina adalah terbalik, nyata, lebih kecil, tetapi persepsi pada otak terhadap benda tetap tegak, karena otak sudah dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal.
III. PRESBIOPIA
A) Definisi
Presbiopia adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan usia dimana penglihatan kabur ketika melihat objek berjarak dekat. Presbiopia merupakan proses degeneratif mata yang pada umumnya dimulai sekitar usia 40 tahun. Kelainan ini terjadi karena lensa mata mengalami kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk berubah bentuk (IDI, 2014).

 Gambar 2. Presbiopia
B) Epidemiologi
Prevalensi presbiopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering ditemukan di poliklinik mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2014-Juli 2016, yaitu sebanyak 83,6% (2995 pasien). Jenis kelamin perempuan lebih banyak menderita presbiopia daripada laki-laki. Usia terbanyak menderita presbiopia berada pada rentang usia 40-65 tahun. Berdasarkan pekerjaan, presbiopia lebih banyak diderita oleh ibu rumah tangga (Kelangi, 2016).
C) Etiologi
Gangguan daya akomodasi akibat kelelahan otot akomodasi yaitu menurunnya daya kontraksi dari otot siliaris sehingga zonulla zinii tidak dapat mengendur secara sempurna. Gangguan akomodasi juga terjadi karena lensa mata elastisitasnya berkurang pada usia lanjut akibat proses sklerosis yang terjadi pada lensa mata.
D) Klasifikasi
1. Presbiopi Insipien: tahap awal perkembangan presbiopi, dari anamnesis didapati pasien memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien biasanya akan menolak preskripsi kaca mata baca
2. Presbiopi Fungsional: Amplitudo akomodasi yang semakin menurun dan akan didapatkan kelainan ketika diperiksa
3. Presbiopi Absolut: Peningkatan derajat presbiopi dari presbiopi fungsional, dimana proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali
4. Presbiopi Prematur: Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan biasanya berhungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan
5. Presbiopi Nokturnal: Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi gelap disebabkan oleh peningkatan diameter pupil
E) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Keluhan:
1) Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
2) Gejala lainnya, setelah membaca mata terasa lelah, berair, dan sering terasa perih.
3) Membaca dilakukan dengan menjauhkan kertas yang dibaca.
4) Terdapat gangguan pekerjaan terutama pada malam hari dan perlu sinar lebih terang untuk membaca.
b. Faktor Risiko:
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun.
2. Hasil Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan refraksi untuk penglihatan jarak jauh dengan menggunakan Snellen Chart dilakukan terlebih dahulu.
2) Dilakukan refraksi penglihatan jarak dekat dengan menggunakan kartu Jaeger. Lensa sferis positif ditambahkan pada lensa koreksi penglihatan jauh, lalu pasien diminta untuk menyebutkan kalimat hingga kalimat terkecil yang terbaca pada kartu. Target koreksi sebesar 20/30.
F) Penatalaksanaan
Koreksi kacamata lensa positif
USIA
KOREKSI LENSA
40 tahun
+ 1,0 D
45 tahun
+ 1,5 D
50 tahun
+2,0 D
55 tahun
+2,5 D
60 tahun
+3,0 D
G) Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu pasien dan keluarga bahwa presbiopia merupakan kondisi degeneratif yang dialami hampir semua orang dan dapat dikoreksi dengan kacamata.
2. Pasien perlu kontrol setiap tahun, untuk memeriksa apakah terdapat perubahan ukuran lensa koreksi.
IV. MIOPIA
A) Definisi
Miopia adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan ke titik fokus di depan retina.

Gambar 3. Miopia
B) Klasifikasi
Miopia secara klinis:
1. Simpleks: kelainan fundus ringan, <-6,00 D
2. Patologis: disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna atau miopia progresif, adanya progresifitas kelainan fundus yang khas pada pemeriksaan oftalmoskop, >-6D.
Berdasarkan umur:
1. Kongenital: sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak
2. Miopia onset anak-anak: di bawah umur 20 tahun
3. Miopia onset awal dewasa: di antara umur 20 sampai 40 tahun
4. Miopia onset dewasa: di atas umur 40 tahun
Berdasarkan derajat beratnya miopia dibagi menjadi:
1. Miopia ringan < - 3,00 D
2. Miopia sedang - 3,25 s/d - 6,00 D
3. Miopia berat > - 6,00 D
C) Etiologi
Etiologi miopia belum diketahui secara pasti. Ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya miopia seperti alergi, gangguan endokrin, kekurangan makanan, herediter, kerja dekat yang berlebihan dan kekurangan zat kimia (kekurangan kalsium, kekurangan vitamin). Ada dua penyebab yaitu: daya refraksi terlalu kuat atau sumbu mata terlalu panjang.
Miopia yang sering dijumpai adalah miopia aksial. Miopia aksial adalah bayangan jatuh di depan retina dapat terjadi jika bola mata terlalu panjang. Penyebab dari miopia aksial adalah perkembangan yang menyimpang dari normal yang di dapat secara kongenital pada waktu awal kelahiran, yang dinamakan tipe herediter. Bila karena peningkatan kurvatura kornea atau lensa, kelainan ini disebut miopia kurvatura.
Penyebab panjangnya bola mata dapat diakibatkan beberapa keadaan:
1. Tekanan dari otot ekstra okuler selama konvergensi yang berlebihan.
2. Radang, pelunakan lapisan bola mata bersama-sama dengan peningkatan tekanan yang dihasilkan oleh pembuluh darah dari kepala sebagai akibat dari posisi tubuh yang membungkuk.
3. Bentuk dari lingkaran wajah yang lebar yang menyebabkan konvergensi yang berlebihan.
Peningkatan kurvatura kornea dapat ditemukan pada keratokonus yaitu kelainan pada bentuk kornea. Pada penderita katarak (kekeruhan lensa) terjadi miopia karena lensa bertambah cembung atau akibat bertambah padatnya inti lensa.
Miopia dapat ditimbulkan oleh karena indeks bias yang tidak normal, misalnya akibat kadar gula yang tinggi dalam cairan mata (diabetes mellitus) atau kadar protein yang meninggi pada peradangan mata. Miopia bias juga terjadi akibat spasme berkepanjangan dari otot siliaris (spasme akomodatif), misalnya akibat terlalu lama melihat objek yang dekat. Keadaan ini menimbulkan kelainan yang disebut pseudo miopia.
D) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan
Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata cepat lelah, pusing dan mengantuk, cenderung memicingkan mata bila melihat jauh. Tidak terdapat riwayat kelainan sistemik, seperti diabetes mellitus, hipertensi, serta buta senja.
Faktor Risiko
Genetik dan faktor lingkungan meliputi kebiasaan melihat/membaca dekat, kurangnya aktivitas luar rumah, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
E) Penatalaksanaan
Koreksi dengan kacamata lensa sferis negatif terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik.
F) Konseling dan Edukasi
1. Membaca dalam cahaya yang cukup dan tidak membaca dalam jarak terlalu dekat.
2. Kontrol setidaknya satu kali dalam setahun untuk pemeriksaan refraksi, bila ada keluhan.
G) Rujukan
1. Kelainan refraksi yang progresif
2. Kelainan refraksi yang tidak maju dengan koreksi atau tidak ditemukan ukuran lensa yang memberikan perbaikan visus
3. Kelainan yang tidak maju dengan pinhole.
DOKUMENTASI
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Usia : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Grabag, Kab. Magelang
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Penglihatan kabur jauh dan dekat
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli mata RSUD, dengan keluhan utama penglihatan kedua mata kabur. Pasien merasa kesulitan ketika membaca tulisan yang dekat dan jauh. Keluhan dirasakan kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu dan semakin memberat. Penglihatan jauh dikatakan membaik dengan memicingkan matanya. Bila membaca dengan jarak dekat, pasien merasa lebih nyaman saat buku atau koran dijauhkan. Pasien merasa mata kiri lebih kabur daripada mata kanan. Riwayat mata merah (-), nrocos (-), pandangan silau (-), kotoran mata (-). Riwayat memakai kacamata sebelumnya disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan sama : Ibu menggunakan kacamata plus
E. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan aktivitas sehari-hari di rumah
III. STATUS GENERALIS
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Baik
IV. STATUS OFTALMOLOGIS
Pemeriksaan
Oculli dextra (OD)
Oculli sinistra (OS)
Visus Jauh
6/6
6/7,5
Spheris
plano
-0,25 D
Refraksi
Emetropia
Miopia
Koreksi
6/6
6/6
Visus Dekat
Spheris: Addisi +2,50 D
Spheris: Addisi +2,50 D
Refraksi
Presbiopia
Presbiopia
Koreksi
30/30
30/30
Proyeksi sinar
Dapat membedakan arah sinar
Dapat membedakan arah sinar
Proyeksi warna
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Pemeriksaan
OD
OS
1. Sekitar mata (supersilia)
Kedudukan alis baik, scar (-)
Kedudukan alis baik, scar (-)
2. Kelopak mata
A. Pasangan
N
N
B. Gerakan
N
N
C. Lebar rima
9 mm
9 mm
D. Kulit
N
N
E. Tepi kelopak
N
N
3. Apparatus Lakrimalis
A. Sekitar glandula lakrimalis
N
N
B. Sekitar saccus lakrimalis
N
N
C. Uji flurosensi
-
-
D. Uji regurgitasi
-
-
E. Tes Anel
-
-
4. Bola Mata
A. Pasangan
N
N
B. Gerakan
N
N
C. Ukuran
N
N
5. TIO
Palpasi: konsistensi kenyal
Palpasi: konsistensi kenyal
6. Konjungtiva
A. Palpebra superior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
B. Forniks
Tenang
Tenang
C. Palpebra inferior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
D. Bulbi
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
7. Sklera
Ikterik (-), perdarahan(-)
Ikterik (-), perdarahan(-)
8. Kornea
1. Ukuran
Ø 10 mm
Ø 10 mm
2. Kecembungan
N
N
3. Permukaan
N
N
4. Uji Flurosensi
-
-
5. Placido
-
-
9. Camera oculi anterior
A. Ukuran
N
N
B. Isi
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
Jernih, fler (-), hifema (-), hipopion (-)
10. Iris
A. Warna
Coklat
Coklat
B. Bentuk
Bulat
Bulat
11. Pupil
A. Ukuran
Ø 3 mm
Ø 3 mm
B. Bentuk
Bulat
Bulat
C. Tempat
Sentral
Sentral
D. Tepi
Reguler
Reguler
E. Reflek direct
+
+
F. Reflek indirect
+
+
12. Lensa
A. Ada/tidak
Ada
Ada
B. Kejernihan
Jernih
Jernih
C. Letak
Sentral, belakang iris
Sentral, belakang iris
V. DIAGNOSIS
A. Diagnosis Banding
ODS Presbiopia
OS Miopia
B. Diagnosis Kerja
OD Presbiopia
OS Miopia, Presbiopia
VI. PENATALAKSANAAN
A. Diberikan kacamata koreksi yang sesuai
RESEP KACAMATA
Untuk Jauh
Untuk Dekat
90°
90°
Kanan 180°_______|_______ 0°
Kiri 180°_______|_______ 0°
Sph D
Cylinder
Prisma
Sph D
Cylinder
Prisma
D
As
Gr
Bas
D
As
Gr
Bas
Untuk Jauh
-
-0,25
Untuk Dekat
+2,50
+2,25
Distantia pupilaris : 68/66 mm
B. Edukasi
Diberikan edukasi kepada pasien untuk rutin menggunakan kacamata dan kontrol minimal setahun sekali.
VII. PROGNOSIS
OD OS
1. Ad vitam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
2. Ad fungsionam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
3. Ad sanam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
4. Ad kosmetikum Dubia ad bonam Dubia ad bonam




DAFTAR PUSTAKA
1. IDI, 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
2. Ilyas S, Mailangkay H, Taim H, Saman R dan Simarmata M, 2003. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan mahasiswa Kedokteran Edisi Ke-2. Jakarta.
3. Kelangi, W, Rares, L & Sumual, V. 2016. Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2014-Juli 2016. Jurnal Kedokteran Klinik (JKK), Volume 1, No. 1, Desember 2016 (83-91).
4. Schactar, Ronald. 2014. Presbyopia-Cause and Treatment. https://emedicine.medscape.com/article/1219573-overview