Monday, December 10, 2018

TRILOGI HUKUM KESEHATAN

1. INFORMED CONSENT

N Latar Belakang
Perkembangan ilmu dan teknologi sekarang ini berkembang sangat pesat. Hal ini memberikan dampak kuat pada falsafah dan cara berpikir manusia. Manusia sekarang dapat mendapatkan informasi dari mana saja. Jarak dan waktu tidak lagi menjadi penghalang. Hal ini mendorong manusia untuk mengetahui segala hal baru, bahkan asing, dari berbagai bidang, termasuk bidang kedokteran dan perumahsakitan.
Dengan pesatnya informasi dan berkembangnya rasa ingin tahu manusia, perlakuan dokter kepada pasienpun berubah. Dahulu dokter bersifat paternalistik kepada pasiennya, seakan sikap seorang “bapak” terhadap “anak”nya. Namun karena pesatnya perkembangan iptek anak sekarang cenderung ingin tahu dahulu, mengapa dipilih demikian dan mengapa itu yang dipilih, apakah tidak ada pilihan lain, dan pertanyaan keingintahuan yang lain. Maka anak harus diberikan penjelasan, diberikan informasi. Begitu analogi dokter dan pasien sekarang ini. Hak hak pasien untuk mengetahui apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya, juga hak pasien untuk menolak apa yang dianjurkan dokter, sudah ditegakkan. Pasien sebagai manusia berhak menentukan pilihannya ( The right to selfdeternation atau Autonomy). Hal ini yang melatarbelakangi terbentuknya Informed Consent.
N Paternalisme vs Autonomy
ß Paternalisme
Seperti sudah dianalogikan di atas bahwa paternalistik adalah sikap dokter yang menganggap pasien seperti anaknya. Sehingga apapun yang dipilihkan dan dilakukan oleh dokter pasti dianggap yang terbaik bagi pasien. Pasien tidak banyak menuntut dan mengikuti semua perkataan dokter.
ß Autonomi
Autonomi /Otonomi dalam arti tersirat merupakan suatu prinsip akan “privacy” , yaitu kebebasan seseorang untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri (the right to be left alone, Louis Brandeis). Seseorang berhak untuk bertindak, memutuskan, menerima ataupun menolak segala sesuatu atas pilihannya sendiri.
Hubungan terapeutik dokter-pasien saat ini makin kurang akrab. Salah satu penyebabnya adalah dampak teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Akibatnya dalam hubungan dokter-pasien terjadi “depersonalisasi” dan sifatnya pun menjadi “impersonal”. Maksudnya adalah pasien hanya dianggap sebagai suatu nomor, suatu penyakit, suatu kasus, dan tidak dianggap sebagai seorang manusia seutuhnya ( wholistic). Di tambah pula sifat komsumerisme, hedonisme, materialisme dan juga faktor-faktor lain yang menggoyahkan sendi dasar hubungan tradisional dokter-pasien yang akrab.
Faden dan Beauchamp telah mengadakan analisis dan memberi gambar berikut:
N Apakah Informed Consent ?
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun 1989 istilah Informed Consent diterjemahkan menjasi Persetujuan Tindakan Medik (PTM). Peraturan ini berlaku sejak tanggal 4 September 1989. Peraturan ini mengatur tentang persetujuan pasien dalam tindakan medik, yaitu persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan akan tindakan medik yang akan dilakukan dokter terhadap pasien.
Maka sejak berlakunya Pemenkes tersebut, jika seorang dokter akan melakukan suatu tindakan kepada pasien, terlebih dahulu harus memberikan penjelasan (informasi) mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, risikonya, manfaatnya, alternatif lain, dan hal-hal yang mungkin terjadi apabila tidak dilakukan tindakan. Informasi ini harus diberikan secara jelas dengan bahasa yang dapat dimengerti pasien serta memperhitungkan tingkat pendidikan dan intelektualnya. Jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan, maka dokter boleh melakukan tindakan. Terus?
Akan timbul pertanyaan-pertanyaan.
1. Jika sudah ada penjelasan dari dokter dan Informed Consent tetapi dokter melakukan kelalaian (negligence), apakah dokter tidak bisa dituntut karena sudah ada persetujuan yang ditanda-tangani pasien?
ß Jawab : Dokter tetap bisa dituntut karena pasien hanya memberikan izinnya untuk dilakukan tindakan yang tertera di Informed Consent, yang seharusnya dilakukan dokter berdasarkan standard profesi medik yang berlaku (hati hati, teliti, dan wajar). Dokter harusnya menyadari bahwa secarik kertas yang telah ditandatangani oleh pasien tidak dapat membebaskan dirinya dari segala tanggung jawab hukum dan tuntutan jika kelak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Lain halnya jika pada suatu tindakan timbul komplikasi yang tidak terduga sebelumnya yang terjadi di luar kelalaian dokter. Dokter sudah bertindak sesuai dengan standar profesi dokter, namun timbul reaksi berlebihan yang tidak wajar pada pasien. Hal semacam ini tidak dapat diperhitungkan atau diketahui lebih dulu oleh dokter ( unexpected risk), maka dokter tidak dapat disalahkan.
2. Bagaimana dengan tindakan medik yang bukan pembedahan, tidak invasif (perlakuan penusukan atau pemasukan alat kedalam tubuh), atau tidak mengandung resiko tinggi?
ß Jawab : di dalam peraturan permenkes sudah jelas disebutkan bahwa tindakan tindakan yang sudah diketahui umum dan yang bukan pembedahan, tidak invasif, atau tidak mengandung risiko tinggi harus tetap diberikan penjelasan terlebih dahulu. Misalnya, pemeriksaan radiologi dengan kontras, penyinaran dengan x-ray, katerisasi jantung, pengambilan darah untuk apa dsb.
Informasi yang diberikan harus diberikan dengan iktikhad baik, secara jujur dan tidak bersifat menakut nakuti atau memaksa. Berdasarkan KUH Perdata pasal 1321: Suatu persetujuan tidak mempunyai nilai hukum jika diberikan karena kekhilafan (dwaling), ancaman kekerasan (geweld), tipuan ( bedrog).
Informasi juga harus diberikan oleh dokter secara langsung tidak boleh diberikan oleh perawat, agar informasi yang diterima pasien tidak keliru dan tidak khilaf.
Informasi harus diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak, kecuali jika pasien menolaknya atau jika malah memperburuk keadaan pasien, maka dokter memiliki “therapeutic privilage” untuk tidak memberitahukan ke pasien namun dapat juga diberitahukan ke anggota keluarga/wali pasien.
N Dasar Informed Consent
ß Hubungan dokter-pasien yang berdasarkan pada kepercayaan
ß Hak otonomi (menentukan sendiri) atas diri pasien
ß Adanya hubungan perjanjian antara dokter-pasien
N Tujuan Informed Consent
ß Melindungi pasien dari segala tindakan medik yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien.
ß Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tak terduga dan bersifat negatif.
N Informed Consent dalam Praktik Sekarang
Bagaimana Informed Consent di dalam praktiknya sekarang? Tampak bahwa PTM yang ditandatangani oleh pasien atau anggota keluarganya hanya dianggap sebagai suatu keharusan legalitis-formil-administratif belaka. Namun anggapan ini harus cepat cepat dihilangkan dan harus dipraktikkan sebagaimana mestiya.
Beberapa alasan mendesak untuk segera dimulainya praktik informed consent:
Berlakuknya Permenkes No.585/89 tentang PTM, maka hal tersebut menjadi kewajiban hukum bagi para dokter. Jika timbul tuntutan karena dokter tidak memberikan informasi terlebih dahulu kepada pasien, maka kedudukan dokter secara yuridis lemah di depan pengadilan.
Hukum kedokteran di luar negeri sudah mengalami perkembangan pesat, termasuk juga lembaga informed consent.
Perlunya mempersiapkan diri dan mengetahui tentang hukum kedokteran dan kebiasaan kebiasaan umum yang berlaku di kehidupan dunia kedokteran modern.
Berkaitan dengan paternalisme dan autonomi yang sudah dibahas di atas, secara teoritis yuridis dianggap bahwa kedudukan pasien dan dokter di dalam hubungan terapeutik sederajat, berada dalam kedudukan seimbang. Namun jika dibandingkan dengan kenyataan tidaklah demikian. Sebagaimana dikatakan Faden and Beauchamp. Dokter kedudukannya lebih kuat karena :
ß Seorang dokter mempunyai ilmu pengetahuan tentang kedokteran
ß Seorang dokter tidak bergantung kepada pasien
ß Seorang dokter umumnya dalam keadaan sehat
ß Seorang dokter tidak di bawah tekanan mental
ß Seoang dokter berada dalam keadaan bebas
Pasien kedudukannya lebih lemah, karena:
ß Pasien umumnya tidak berpengetahuan ilmu kedokteran
ß Pasien tidak berdaya, bergantung kepada dokter (dependency)
ß Pasien berada dalam keadaan sakit
ß Pasien berada di bawah tekanan psikis, cemas, ketakutan
ß Pasien berasa dalam keadaan tidak bebas karena penyakitnya.
Jika dibandingkan nampaknya ada ketidakseimbangan di dalam perjanjian terapeutik tersebut. Maka oleh hukum kepada dokter dibebankan kewajiban untuk mengadakan keseimbangan dengan memberikan informasi kepada pasien. Informasi tersebut meliputi:

ß Tindakan yang akan dilakukan
ß Manfaat tindakan
ß Risiko risiko yang inhern dengan tindakan tersebut
ß Alternatif terapi lain
ß Akibat jika tidak dilakukan tindakan
ß Dan keterangan lain yang diperlukan

Namun jika ditinjau secara realistik, otonomi 100% tidak mungkin dicapai karena ketimpangan pengetahuan dan keadaan pasien. Seperti dikatakan Brody (1985) “greater autonomy is a goal; complete autonomy is an unreachable (perhaps) even undesirable ideal”
N Bentuk informed consent
Informed consent dapat berbentuk :

ß Pernyataan (express)
ó Lisan (oral)
ó Tertulis (written)
ß Tersirat (implied or tacit consent)
ó Keadaan biasa (normal)
ó Keadaan gawat darurat (emergency)

Implied Consent
Seperti yang sudah dibahas atas tentang pemeriksaan medik yang bukan pembedahan, tidak invasif, dan tidak mengandung risiko tinggi, dalam hal-hal tersebut tidak perlu dimintakan form informed consent terlebih dahulu. Hukum diadakan bukan untuk mempersulit, namun untuk memudahkan segala sesuatu. Tidak semua informed consent diberikan dengan pernyataan tertulis karena tidak praktis dan dalam praktik sehari hari tidak mungkin dilaksanakan karena akan menghabiskan waktu.
Dalam hal-hal tertentu pasien dapat dianggap telah memberikan persetujuan yang dapat ditarik kesimpulan dari sikap atau tindakan ( implied consent). Misalnya, seorang pasien datang berobat. Untuk mengetahui penyakitnya sudah lazim dan diketahui umum bahwa akan dilakukan pemeriksaan badan, pemeriksaan pernapasan dengan stetoskop, pengukuran tensi, pengambilan darah di laboratorium, dan sebagainya. Hukum menganggap bahwa hal hal yang sudah lazim diketahui pasien tentang apa yang akan dilakukan dokter, pasien sudah dianggap mengetahui karena sudah menjadi general known tentang tindakan yang akan dilakukan dokter.
Emergency
Jika seorang dokter menghadapi pasien dalam keadaan emergency maka akan merujuk pada Permenkes No.585/1989 Pasal 11, seorang pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar atau pingsan dan tidak didampingi keluarga terdekatnya dan secara medik berada di dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan diambilnya tindakan medik dengan segera untuk kepentingan keselamataannya, maka tidak diperlukan persetujuan dari siapapun. Dimaksudkan dalam pasal ini bahwa untuk menyelamatkan jiwa atau anggota tubuh (life and limb saving) yang tidak sadar dan tidak ada waktu untuk menunggu keluarga pasien, maka dokter diberi wewenang untuk melakukan tindakan segera. Bahkan jika tidak segera diberi pertolongan darurat dan diambil tindakan, dokter dapat dituntut karena kelalaian (negligence) atau penelantaran (abandonment).
Namun masih terdapat satu persoalan yang masih belum diantur dalam peraturan. Apabila pasien masih dalam keadaan sadar dan tidak memberikan izinnya untuk dilakukan tidakan, sedangkan keadaan dirinya harus mendapatkan tindakan dengan segera, apa yang harus dilakukan oleh dokter? Jika melakukan tindakan tanpa izin pasien yang masih sadar dan dapat menentukan pilihan dilarang oleh Undang-Undang. Namun jika tidak segera dilakukan, pasien tidak akan selamat. Hal ini masih merupakan dilema yang belum ada pemecahan karena belum diatur dalam perundang-undagan.di luar negeri, kasus semacam ini diatasi dengan membuat suatu peraturan yang dikenal ”good samaritan law”, di mana tindakan dokter atau orang lain yang dilakukan untuk menolong jiwa seseorang dilindungi oleh undang-undang. Tindakan yang dilakukan tentunya harus berdasarkan standar profesi.
Volenti Non Fit Inura
Masih terdapat satu doktrin yang perlu untuk disinggung, yaitu doktrin volenti non fit inura atau asumption of risk. Doktrin yang memakai asumsi bahwa sudah diketahui terdapat risiko oleh orang yang bersangkutan, namun dia tetap bersedia menanggung segala risiko. Ajaran ini berdasarkn pikiran bahwa barangsiapa sudah mengetahui adanya suatu risiko dan secara suka rela bersedia menanggung risiko tersebut, maka jika kemudian risiko itu benar benar timbul, dia tidak dapat menuntut.
Misalnya terhadap kasus pasien yang hendak “pulang paksa”. Pasien dan keluarganya sudah dijelaskan akan bahaya, risiko dan kemungkinan kemungkinan apabila pasien akan pulang, namun pasien tetap bersikukuh untuk pulang. Maka dalam kasus semacam ini doktrin volenti non fit inura dapat diterapkan dengan menandatangani suatu surta pernyataan oleh pasien atau keluarga terdekatnya, bahwa ia akan menanggung segala risiko yang timbul.

2. REKAM MEDIK (Medical Record)

Memasuki unsur kedua dari trilogi hukum kesehatan, rekam medik atau medical record. Dahulu masalah medical records tidak begitu diperhatikan. Pencatatan data medik di tempat praktik dokter hanya dengan mempergunakan Kartu Pasien (pacient card) atau catatan rumah sakit (status). Namun semua berubah saat negara api menyerang. Namun semua berubah. Pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran, pertambahan penduduk, materialisme dan hedonisme, semua itu mempengaruhi cara berpikir masyarakat juga memberikan dampak pada hubungan dokter-pasien yang semula bersifat paternalistik menjadi impersonal. Pasien sekarang tak segan-segan menuntut dokter apabila dianggap telah melakukan kelalaian. Maka hal ini diatur dalamPermenkes No. 749a Tahun 1989 tentang medical record.
Data data dalam medical records bersifat rahasia ( confidential). Karena hubungan dokter-pasien bersifat khusus dan segala sesuatu yang dipercayakan kepada dokter harus dilindungi terhadap pengungkapan lebih lanjut.
Sejak berlakunya permenkes, pelaksanaan membuat rekam medik atau catatan data data pasien sudah merupakan suatu keharusan atau kewajiban hukum. Dokter dan rumah sakit harus lebih memperhatikan dilaksanakannnya pecatatan rekam medik dengan baik. Karena di pengadilan, berkas rekam medik yang teratur, rapi, jelas, lengkap dan dibuat secara kronologis akan menjadi bukti kuat ( primafacie proof).
Catatan pada rekam medik harus jelas dan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh staf profesi yang merawat pasien. Suatu catatan yang meragukan (ambiguous) karena tidak jelas adalah lebih buruk daripada tidak ada catatan sama sekali. Karena hali ini menunjukkan ketidakmampuan rumah sakit atau staf profesi untuk mengadakan komunikasi dengan jelas.
Rekam medik setidak-tidaknya memuat syarat syarat minimum sebagai berikut:

ß Data indentifikasi
ß Riwayat penyakit
ß Laporan pemeriksaan fisik
ß Insturksi diagnosis dan terapatik
ß Bukti informed consent
ß Observasi klinik
ß Laporan hasil prosedur dan tes
ß Berakhirnya perawatan rumah sakit
ß Tindakan medis

Rekam medik yang lengkap memuat 4 macam data:
Data pribadi (personal)

1) Nama
2) KTP/Identitas
3) Tempat dan tangga lahir
4) Jenis kelamin
5) Status perkawinan
6) Alamat sekarang
7) Keluarga terdekat
8) Pekerjaan
9) Nama dokter
10) Keterangan lain yang diperlukan untuk identifikasi

Data finansial

1) Nama/Alamat majikan/perusahaan
2) Perusahaan asuransi yang menanggung
3) Tipe asuransi
4) Nomor polis

Data sosial

1) Kewarganegaraan/kebangsaan
2) Keturunan
3) Hubungan keluarga
4) Penghidupan
5) Kegiatan masyarakat
6) Data lain tentang kedudukan sosial pasien

Data medik
Rekam klinis dari pasien, suatu riwayat pengobatan yang berkesinambungan yang diberikan kepada pasien selama dia penjalani pengobatan. Data-data tersebut memuat:

1) Hasil hasil pemeriksaan fisik
2) Riwayat penyakit
3) Pengobatan yang diberikan
4) Progress report
5) Instruksi dokter
6) Laporan laboratorium klinik
7) Laporan-laporan: konsultasi, anestesi, operasi, formulir informed consent, catatan perawat dan laporan/catatan lain yang terjadi dan diberikan selama pasien menjalani pengobatan.

Rekam medik sebenarnya sangat berguna untuk beberapa keperluan, seperti:
1) Dasar pemeliharaan dan pengobatan pasien
2) Bahan pembuktian dalam perkara hukum
3) Bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan
4) Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
5) Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan

3. RAHASIA KEDOKTERAN

Akhirnya kita memasuki unsur trilogi hukum kesehatan yang terakhir. Rahasia kedokteran diatur di dalam norma norma etik. Norma norma etik merupakan “self imposed regulation” yang diaati atau tidaknya tergantung kepada pelaku. Sanksi etik dapat dijatuhkan oleh organisasi.
Dasar yuridis yang menyangkut Rahasia Kedokteran terdapat pada :
a. Berdasarkan sifat dari profesi itu sendiri
ß Hoge Raad 21 April 1913
ß Arrodissementsrechtbank Haaarlem 11 Desember 1984 tentang larangan mengungkapkan rahasia kedokteran
b. Hukum perdata (hukum perjanjian)
ß Perjanjian terapeutik antara dokter-hukum
ß Pasal 1909 tentang hak menyimpan rahasia (verschoningsrecht)
ß Pasal 1365 tentang perbuatan yang melawan hukum
c. Hukum pidana
ß Pasal 322 tentang wajib menyimpan rahasia
ß Pasal 224 tentang panggilan menghadap sebagai saksi ahli
d. Hukum Acara Pidana (KUHAP)
ß Pasal 170 tentang wajib menyimpan rahasia
ß Pasal 179 tentang wajib memberikan keterangan sebagai ahli kedokteran kehakiman, atau sebagai dokter
e. Hukum Acara Perdata
ß Reglemen Indonesia: pasal 146 ayat 3
ß Reglemen Luar Jawa: pasal 174
f. Hukum Administrasi
ß Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1946 yang memperluas jangkauan wajib simpan rahasia kedokteran terhadap tenaga kesehatan lainnya.
g. Konvensi Internasional
ß United Nations Declaration of Human Rights
ß Declaration of Lisbon tentang hak rahasia atas diri pribadi
Rahasia kedokteran adalah rahasia di bidang kedokteran dan bukan rahasia dokter. Dokter hanya diwajibkan berdasarkan profesinya untuk menyimpan rahasia yang dipercayakan kepadanya, seperti juga profesi lain di mana unsur kepercayaan merupakan sesuatu yang mutlak. Masih banyak dokter yang beranggapan bahwa rahasia itu adalah rahasia dokter, milik dokter bukan milik pasien. Dianggap bahwa dokter berwenang untuk memutuskan boleh tidaknya mengungkapkan rahasia tersebut kepada pihak lain. Namun sesungguhnya rahasia adalah milik pasien. Dokter hanya dititipi rahasia oleh pasien agar digunakan secara bijak dalam pengobatan terhadapnya.
Atas dasar tersebut dapat dibuat skema
Yang
Tersangkut
Pemilik
Rahasia
Hak diberi izin
Berkas
Medical Record
Isi
Medical Record
Pasien
+
+
-
+
Dokter
-
-
-
+
Rumah Sakit
-
-
+
-
Apakah berkas Rekam medik boleh diberikan kepada pengacara pasien?
Jawab : Tidak! Berkas itu adalah milik rumah sakit dan harus tetap berada dan disimpan di rumah sakit. Karena berkas tersebut penting bagi riwayat penyakit pasien. Apabila memang sangat diperlukan data berkas rekam medik tersebut, yang boleh diserahkan adalah fotokopi rekam medik dan bukan berkas aslinya. Tentunya dengan seizin dan sepengetahuan pasien.
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 13Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang seorang penderita, bahkan setelah penderita itu meninggal.”
Dari peraturan dan yurisprudensi:
1. Permenkes 749a tentang Rekam Medik pasal 10:
ß Berkas rekam medik milik sarana pelayanan kesehatan
ß Isi rekam medik milik pasien
2. Wallace v. University Hospitals of Cleveland, Ohlo 1959
Penggugat meminta kepada pengadilan untuk memerintahkan rumah sakit agar memberikan hak akses kepada pasien untuk memeriksa medical recordsnya.
3. Hof Amsterdam, 6-8 1987
Pengadilan berpendapat bahwa pasien mempunyai hak akses terhadap berkas miliknya
4. Hof’s-Gravenhage. 27 Desember 1945, NJ 1946 429
Rahasia profesi bertujuan untuk melindungi pasien; tidak ada keberatan bahkan apabila pasien sudah membebaskan dokter dari kewajiban untuk menyimpan rahasianya.
5. Rechtbank Assen, 12 Oktober 1954, NJ 1955, 207
Rahasia profesi tidak bertujuan untuk mempersukan pasien dalam hal pelaksanaan hak hak-nya.
6. Pyramid Life Insurance Co. V. Masonle Hospital Associatiion
Jika pasien sudah keluar dari rumah sakit, dia berhak atas informasi terhadap rekam mediknya.

No comments:

Post a Comment